Suara.com - Kepada para mahasiswanya di jurusan musik, Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, Profesor Andrew Weintraub mewanti-wanti agar mereka menapakkan kaki langsung di Indonesia sehingga lebih mengenal sejarah dan budaya terkait musik khas negara itu.
Pesan itu dia sampaikan bukan tanpa landasan, setidaknya dari pengalamannya sendiri.
Mahasiswa-mahasiswanya yang mengambil mata kuliah dangdut tampak terpikat ketika pertama kali mendengarkannya. Namun bagaimana respons mereka jika misalnya mempertimbangkan campuran lirik yang meratap dan melankolis sementara ada juga irama riang yang membuat orang ingin bergoyang?
"Ada sesuatu yang aneh dan mereka ingin tahu lebih banyak tentang musik itu," jelasnya.
Baca Juga: Rayakan HUT RI ke-77, Begini Gaya 5 Keluarga Selebriti dengan Busana Nuansa Merah Putih
Sayangnya, tidak semua mahasiswanya merasa seperti itu "karena belum mengalami musiknya dan mungkin karena mereka belum tahu Indonesia di mana atau siapa yang menyanyi."
"Jadi mereka tidak punya hubungan dengan Indonesia. Itu kelemahan. Jadi sebagai profesor saya ingin membuat semacam jembatan antara Indonesia dan mahasiswa di universitas supaya mereka lebih tahu tentang Indonesia, dan melalui dangdut akan tahu lebih banyak tentang Indonesia. Itu tujuan saya," kata Profesor Andrew Weintraub dari Jurusan Musik, Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat (AS).
Jembatan itu diwujudkan dalam bentuk kuliah plus praktik di kampus. Mahasiswa juga dapat membaca hasil-hasil penelitiannya. Dangdut stories adalah salah satu yang kondang.
Ini merupakan hasil penelitiannya tentang raja dangdut Rhoma Irama, sekaligus melacak sejarah dangdut, kenaikan statusnya dari musik populer kalangan bawah menjadi musik yang punya peran penting dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi.
Namun berapa banyak mahasiswa yang benar-benar menekuni dangdut?
Baca Juga: Semarakan HUT RI ke-77, RSUI Lakukan Simulasi Evakuasi Vertical Rescue
Dalam satu semester, terdapat sekitar 300 mahasiswa Universitas Pittsburgh yang mengenal dangdut sebagai bagian dari materi kuliah di jurusan etnomusikologi.
"Tapi dalam kuliah praktiknya - karena saya juga punya satu kuliah gamelan dan musik Indonesia - mungkin hanya 15 orang per semester. Praktiknya mereka bisa nyanyi satu lagu misalnya, bisa melakukan pertunjukkan sedikit. Jadi tidak begitu banyak. Tapi itu baru satu universitas," ungkap guru besar etnomusikologi yang kerap dijuluki profesor dangdut itu.
Di luar kegiatan perkuliahan, Profesor Andrew mendirikan band Dangdut Cowboys dan kerap manggung di konser serta acara-acara perwakilan Indonesia di AS.
Pengamat dangdut minim, penulis dangdut pertama di Barat
Menurut seorang wartawan senior bidang seni, Indonesianis seperti Andrew Weintraub mempunyai peran penting dalam menyebarkan musik Indonesia.
"Dia melihat dangdut dan Indonesianya ini seksi. Jadi eksotis. Mereka tertarik dengan hal-hal yang eksotis untuk diungkapkan dan mereka melakukannya dengan baik," kata Idrus Fahmi Shahab.
Meskipun menjadi musik paling populer di Indonesia, dangdut seolah ditinggalkan sendiri.
"Dia berkembang, bahkan naik kelas dari kelas bawah menjadi kelas menengah ke atas dengan daya penetrasinya yang luar biasa. Tapi pengamat dangdut itu minim sekali di Indonesia, apalagi yang menuliskan hasil pengamatannya. Jadi kita beruntung sekali punya Indonesianis seperti Andrew Weintraub," imbuhnya.
Andrew Weintraub baru menekuni musik dangdut sesudah menjadi guru besar. Hal ini dikarenakan ketika masih kuliah mengambil musik dunia, pihak universitas di AS pada tahun 1980-an belum mengizinkannya meneliti musik populer, melainkan harus memilih obyek penelitian yang berbau tradisional atau klasik. Jadi dia menulis skripsi terkait seni Sunda mulai dari gelar S1 hingga S3.
Tapi sebenarnya waktu tiba pertama kali di Indonesia pada 1984, Andrew Weintraub menyaksikan betapa lagu-lagu Rhoma Irama yang menggelegar disetel di warung kopi, rumah penduduk, acara hajatan hingga panggung kampanye.
Ketika itu dangdut sudah mulai berkembang pesat, eranya dangdut klasik yang dimotori oleh Rhoma Irama. Bukan sekadar musik populer, Weintraub juga memandang dangdut mempunyai pesan sosial yang mudah diserap masyarakat. Mewakili aspirasi kelas bawah, syair-syairnya sangat merakyat tapi kemudian bisa diterima kelas menengah.
Oleh karena itulah, dia memutuskan melakukan penelitian begitu tidak terikat ketentuan apa yang menjadi objek penelitian, yakni sesudah menjadi profesor.
"Waktu itu belum ada skripsi atau buku tentang dangdut. Jadi saya yang pertama kali di negara Barat yang menulis tentang dangdut sebagai obyek penelitian," akunya dalam wawancara jarak jauh dengan BBC News Indonesia.
"Mahasiswa dan juga kolega saya harus tahu tentang musik terpopuler di Indonesia pada waktu itu. Karena itu, saya tidak belajar musik hanya karena senang mendengarkan musik dangdut pada waktu itu," tambah profesor etnomusikologi di Universitas Pittsburgh tersebut.
Kini dia pun berharap akan tumbuh Indonesianis-Indonesianis muda yang menekuni musik Indonesia.
Mungkin saja harapan itu bisa terwujud dengan adanya mahasiswa-mahasiswa yang melakukan penelitian. Salah seorang mahasiswanya, Hannah Standiford saat ini memfokuskan penelitiannya pada musik keroncong untuk gelar Phd di Universitas Pittsburgh.
Hannah sedang menungggu perizinan untuk keperluan penelitian di Indonesia. Penelitian untuk disertasinya ini disokong oleh Fulbright-Hays Doctoral Dissertation Research Award.
Keroncong di Amerika
Hannah berkenalan dengan keroncong pada 2014 lewat YouTube menjelang keberangkatannya ke Institut Seni Indonesia Surakarta untuk belajar gamelan dalam program Darmasiswa. Itu adalah beasiswa pemerintah Indonesia yang ditawarkan kepada siswa asing dari negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia untuk belajar bahasa, seni dan budaya.
"Saya dengar keroncong dan saya sangat tertarik karena dulu saya main guitar. Itu fokus S1 saya. Jadi saya sudah bisa main alat musik petik," ungkapnya.
Baca juga:
- Bagaimana para Indonesianis memandang negara yang menjadi fokus penelitian mereka?
- Indonesianis yang jadi rujukan di masa Orde Baru, bagaimana kiprah mereka sekarang?
- Dari Amerika, musisi perempuan bentuk grup keroncong dan pentas di Solo
Sekembalinya dari Solo, dia lantas membentuk grup keroncong yang diberi nama Rumput atas kerja sama dengan dosen etnomusikologi Universitas Richmond, Dr. Andy McGraw.
Universitas yang berada di Negara Bagian Virginia tersebut juga mempunyai kelompok gamelan Raga Kusama.
Dengan beasiswa pemerintah Amerika Serikat, Fulbright Student Research Fellowship, Hannah kembali ke Solo untuk mendalami keroncong pada 2017. Dia menggandrungi langgam Jawa yang menurutnya sangat istimewa.
"Waktu saya di Solo, itu dianggap sebagai pusat keroncong di Indonesia. Jadi ada latihan setiap malam, ada pertunjukan, banyak acara keroncong," kenang Hannah dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar.
Apa yang menjadi daya tariknya?
"Karena suasana sangat intim. Biasanya kalau ada latihan, bisa duduk lesehan, ada teh, ada camilan dan juga suasana musiknya santai," ujarnya sambil tertawa renyah.
Kata wartawan senior bidang seni, Idrus Fahmi Shahab, sosok seperti Hannah Standiford dan Profesor Andrew Weintraub, sebagaimana Indonesianis pada umumnya, bisa memainkan peran penting dalam membukakan mata orang tentang Indonesia.
"Para Indonesianis menawarkan sesuatu, membukakan mata orang-orang" dan sehingga kontribusinya cukup signifikan "mereka menyediakan suatu pandangan, suatu studi teoritas yang bisa menjelaskan fenomena ini apa."
Hannah sendiri juga berharap kiprahnya lebih jauh dapat berkontribusi positif bagi hubungan antar masyarakat Indonesia dan AS.
"Karena Indonesia itu negara yang sangat besar tapi mungkin kebanyakan orang Amerika Serikat tidak bisa ke sana, tidak bisa ketemu sama orang Indonesia dan belajar langsung.
"Jadi mungkin dalam kolaborasi-kolaborasi saya dengan seniman Indonesia dan peneliti Indonesia mungkin kesadaran tentang Indonesia, budaya, sejarah bisa naik di Amerika Serikat lewat musik," ujarnya.
Selagi merampungkan disertasinya, Hannah merangkap sebagai asisten dosen. Adapun cita-citanya nanti adalah menjadi dosen etnomusikologi.
"Sejauh ini saya sangat beruntung bisa berpartisipasi dalam begitu banyak pertukaran budaya, baik dalam belajar bermain musik maupun dalam penelitian. Saya berharap ini terus berlanjut dan semoga ada lebih banyak kesempatan untuk kerja sama seniman dan peneliti dari Indonesia untuk kolaborasi," katanya mengakhiri wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Tulisan ini adalah bagian dari seri laporan khusus HUT RI ke-77 tentang Indonesianis. Baca tulisan-tulisan lainnya seri ini di BBC News Indonesia.