Suara.com - Jelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-77 tahun ini, BBC Indonesia berbincang dengan sejumlah veteran di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tentang pengalaman mereka dan mengapa tak semua veteran perang bergabung menjadi anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Jalan Abdullah Dg Sirua yang terletak di Kecamatan Panakukkang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dipayungi pepohonan rindang yang meneduhkan dari terik matahari.
Saban hari, masyarakat lalu-lalang di jalan tersebut, dengan motor dan mobil, maupun berjalan kaki. Tapi tak semuanya tahu siapa Abdullah Dg Sirua, yang namanya diabadikan sebagai nama jalan itu.
Dia adalah seorang pejuang di masa perang. Pada 1942, ia angkat senjata menentang penjajah Jepang dan Belanda bersama sang ayah, Yusuf Dg Ngawing.
Baca Juga: DPRD Subang Gelar Sidang Istimewa Pidato Kenegaraan Presiden HUT RI Ke-77
"Masyarakat menjadikan namanya [sebagai nama jalan]," kata Abdullah Dg Sirua, cucunya, yang diberi nama sama seperti sang kakek.
Abdullah sendiri tak pernah bertemu kakeknya, yang meninggal dunia pada 1979. Namun sebelum mangkat, sang kakek memberi wasiat supaya namanya diberikan kepada cucu laki-lakinya.
"Ibu saya mual-mual dan terlihat oleh kakek. Dia bertanya, apakah ibu hamil, jika iya dan anaknya laki-laki, berikan nama saya," ujar Abdullah menirukan sang kakek, menurut cerita dari ibunya.
Meski seorang veteran perang, Abdullah Dg Sirua tidak masuk sebagai anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Dia lebih memilih menjadi pensiunan Departemen Agama.
"Karena setiap orang [hanya bisa terima pensiun] satu, jadi dia pilih gaji pensiun dari Departemen Agama," ujar Abdullah.
Baca Juga: Sri Mulyani Patok Pendapatan Negara Rp 2.443 Triliun di 2023
LVRI adalah organisasi yang menghimpun para veteran di Indonesia. Menurut data organisasi ini, per 2022 ada 116.285 orang yang tercatat sebagai anggota LVRI di seluruh Indonesia.
LVRI Sulselbar, menurut data LVRI pusat, tercatat memiliki jumlah anggota terbesar ketiga di Indonesia, di belakang Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sejak diresmikan pada 20 Februari 1976, anggota LVRI Sulselbar berjumlah lebih dari 13.000 orang, yang tersebar di 27 cabang kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Namun data ini tak mencerminkan jumlah veteran seluruhnya, pasalnya diperkirakan banyak veteran perang yang belum tercatat sebagai anggota.
Penyebabnya, menurut Ketua LVRI Sulselbar Kolonel Jacob Pakilaran, akses tempat tinggal yang jauh dari tempat pendaftaran dan ada veteran yang mau bergabung tetapi tidak tahu cara mendaftar akibat buta huruf.
Padahal, LVRI dibentuk agar para pejuang yang turut andil dalam memerdekakan Indonesia dapat berkumpul dalam satu wadah dan dapat diberikan penghargaan.
"Ada yang malas, seperti untuk apa ini. Mereka tidak sempat, jauh, dan tidak tahu bagaimana caranya," ungkap Jacob.
Kekurangan dana operasional
Pusat organisasi ini berada di Jakarta, yakni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LVRI yang membawahi 34 provinsi di Indonesia.
Syarat yang harus dipenuhi jika ingin bergabung dalam organisasi LVRI ini adalah memiliki penghargaan berupa sertifikat tanda kehormatan dari pemerintah dan Kementerian Pertahanan.
"Ada veteran bukan tentara, yaitu PKRI. Dia bukan tentara tapi dia ikut berjuang," ujar Jacob yang tahun ini berusia 77 tahun.
Bagi yang bergabung dengan LVRI, ada tunjangan yang diberikan negara, meski jumlahnya tidak sama, menurut golongan dan masa bakti para pejuang.
Jacob, yang pernah berjuang di melawan Portugis di Timor Timur saat masih berusia 30 tahun pada tahun 1976, mendapat tunjangan Rp1,8 juta setiap bulan.
"Kalau yang PKRI, yang bukan pensiunan itu kurang lebih Rp3 juta, termasuk kalau nanti dia meninggal istrinya dapat tunjangan setengahnya dari itu," kata Jacob.
Bagi Jacob, dengan kondisi sekarang ini, uang tunjangan Rp1,8 juta tidak cukup untuk hidup sehari-hari.
Ditambah lagi, para veteran yang tergabung dalam LVRI harus patungan Rp25.000 per anggota setiap kali ada acara, karena pemerintah daerah tidak memberi mereka dana operasional.
"Kami ini bisa beli kertas, bisa beli itu, iuran anggota. Tapi tidak semua membayar. Ada yang sadar, ada yang tidak. Itu dipakai untuk operasional," ungkap Jacob.
'Yang ada saja dicukupkan'
Simon Siulang menyapa rekan-rekannya yang hadir dalam rapat persiapan memperingati Hari Veteran Nasional di Kantor LVRI Sulselbar, Makassar, Rabu 3 Agustus 2022.
Seragam veteran yang dia kenakan terlihat sudah mulai lusuh.
Simon adalah pensiunan tentara, yang pernah berjuang sejak tahun 1961 di Seko dan pernah mengawal para jenderal saat pecah Partai Komunis Indonesia (PKI) di Magelang tahun 1965.
Di sana, kenang Simon, dia ditugaskan untuk berjaga di belakang dapur.
"Datang orang pakai sarung lima, saya tahu itu pakai jerigen lima liter. Saya buang tembakan dia mundur, terbakar dapur kalau bukan karena saya," kisahnya.
Atas aksinya ini, Presiden Soekarno memberinya penghargaan. "Prajurit tauladan, tertulis di situ," ujar Simon sambil memperlihatkan penghargaan yang dikeluarkan dari tas lorengnya.
Selain di Magelang, pria kelahiran Kabupaten Toraja, 6 April 1942 ini juga pernah berjuang di Irian Barat pada tahun 1967 dan terakhir dikirim ke Timor Timur tahun 1975 hingga 1976.
Atas perjuangannya itu, dia diberikan Piagam Tanda Kehormatan Veteran Pembela Kemerdekaan Republik Indonesia (Seroja).
Karena mengantongi banyak penghargaan, Simon setiap bulan mendapatkan tunjangan lebih tinggi dari rekan-rekannya. "Saya Rp2,7 juta," kata dia.
Andi Makkaraja, adalah veteran lain yang menjadi anggota LVRI Sulselbar. Dia adalah seorang Veteran Pembela Seroja yang pernah berjuang melawan bangsa Portugis di Timor Timur.
"Menghadapi bangsa Portugis, karena pada waktu itu Timor Leste masih masuk Indonesia. Dia mau ambil atau menguasai, kita pertahankan," kata Andi.
Andi berangkat ke Timor Timur saat usianya masih 21 tahun. Karena belum beristri, gaji Andi pada saat itu Rp14.000 yang dikirimkan ke kesatuan setiap bulan.
"Saya hanya sembilan bulan [bertugas]. Yang berangkat belakangan itu tidak masuk kategori veteran," tutur Andi Makkaraja sembari memperbaiki posisi duduknya.
Setelah berjuang, Andi Makkaraja bersama rekannya kemudian dikembalikan ke kesatuan Brimob di Kompi 36 Polda Sulselra, Makassar, untuk melanjutkan kembali tugas-tugasnya sebagai Brimob.
Rekam jejaknya di Timor Timur membuat dirinya dengan cepat naik pangkat menjadi perwira.
"Saya masih bujang sudah perwira, naik pangkat lagi satu tingkat dan dapat penghargaan," kata dia.
Kini setelah pensiun, Andi bergabung dalam organisasi LVRI Sulselbar, dan menerima tunjangan Rp1,8 juta per bulan.
"Kalau bicara cukup, relatif. Tergantung penggunaanya karena manusia di dunia ini, kecil, sedang, besar, tidak cukup. Jadi bagaimana yang ada itu dicukupkan," katanya sambil tertawa lepas.
-
Wartawan di Makassar Muh Aidil berkontribusi pada laporan ini.