Suara.com - Sebanyak 10 kasus diskriminasi guru terhadap siswa terungkap terjadi sepanjang tahun 2020 sampai 2022 di DKI Jakarta. Akan tetapi, Jakarta Utara dikecualikan dalam hal ini karena tidak ditemukan kasus dalam daerah tersebut.
Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Utara, Sri Rahayu Asih Subekti mengatakan bahwa tak ada kasus diskriminasi karena pihaknya rutin melakukan pengawasan terhadap kegiatan di sekolah termasuk para guru dan siswa. Menurutnya sangat penting mengedepankan keterbukaan dalam berkomunikasi agar tak terjadi tindakan diskriminasi.
"Jadi semua pergerakan di sekolah kita ajak ngobrol semua terkait dengan profil pelajar Pancasila. Jadi kegotongroyongan, kebhinekaan itu kita tekankan untuk diutarakan dan ternyata tidak ada satupun (kasus diskriminasi)," ujar Asih saat dikonfirmasi, Senin (15/8/2022).
Menurutnya, sekolah perlu mengadakan berbagai program yang memberikan rasa kebersamaan dan keberagaman umat beragama. Misalnya dengan mengenalkan rumah ibadah tiap agama kepada semua siswa yang berbeda kepercayaan.
Baca Juga: Pegawai Alfamart di Intervensi Pengutil, Netizen: Gaji Mereka Banyak Potongan Jika Barang Hilang
"Bahkan tadi saya ke SMPN 122, itu ada pelajar yang Hindu, Kristen, Budha itu mereka sama-sama berkarya di rumah ibadah muslim. Itu ada lomba-lomba 17 Agustus mereka bikin konten kebhinekaaan dan tempatnya kebetulan di musala," ucapnya.
Asih menyatakan kalau para guru dan tenaga pengajar di sekolah juga harus mematuhi SKB tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut serta Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 178 Tahun 2014 tentang penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri.
Para guru memang tak boleh memaksa siswa dalam menggunakan pakaian yang bertentangan dengan kepercayaan agamanya atau mengenai pemaksaan penggunaan hijab.
"Karena kami kan sudah punya role dari Permendikbud dan Pergub yang terkait juga dengan seragam dan lain-lain. Jadi intinya kita terbuka kalo ada maasalah apapun dibicarakan," ucapnya.
Sub Koordinator Humas dan Kerja Sama Antarlembaga Disdik DKI Jakarta Taga Radja Gah mengatakan, pihak sekolah memang harus menjamin tumbuh berkembangnya anak dalam pendidikan beragama. Bahkan, para guru akan diberi sanksi tegas jika memang melakukan pemaksaan terhadap sesuatu yang ia percaya.
Baca Juga: Pasien Terkonfirmasi Covid-19 di Kaltim Bertambah 27 Orang
“Untuk sanksi tegas nantinya juga berlaku bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI khususnya di bidang pendidikan,” ucapny.
Menurutnya, kasus yang sudah terbukti terjadi pelanggaran sudah ditindaklanjuti dengan penjatuhan hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan untuk kasus terbaru saat ini masih didalami oleh tim, namun dipastikan anak-anak tetap bersekolah.
Taga menjelaskan, ada dua regulasi yang mengatur soal penggunaan seragam dan atribut di sekolah. Aturan itu adalah Permendikbud Nomor 45 tahun 2014 tentang Seragam Sekolah dan Pergub DKI Jakarta Nomor 178 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah.
Taga menyebut kebijakan itu sudah disosialisasikan Disdik DKI Jakarta melalui Surat Edaran Nomor 83/SE/2015 tentang Pakaian Dinas Bagi Pendidik, Tenaga Pendidik dan Pakaian Seragam Sekolah dan Olahraga bagi Peserta Didik. Dalam aturan itu, kata Taga, tidak ada pasal yang mewajibkan para pelajar untuk memakai atribut keagamaan di sekolah.
“Jadi tidak ada pasal yang menyebutkan kata wajib, tapi dapat disesuaikan dengan agama, keyakinan, dan keterpanggilan peserta didik yang bersangkutan,” ucapnya.
Dia menambahkan, edukasi tentang keberagaman dan sikap saling menghargai diberikan kepada 2.008 sekolah negeri dan 6.837 sekolah swasta. Sasarannya adalah 41.658 guru di sekolah negeri dan 52.404 di sekolah swasta.
“Edukasi ini juga diberikan kepada 935.457 peserta didik di sekolah negeri dan 718.829 peserta didik di sekolah swasta. Ini tentunya, mempunyai tantangan tersendiri dan dengan adanya masukan, serta pengaduan masyarakat tentu akan kami tindaklanjuti,” pungkasnya.