Namun demikian, Sahnan menyebut ditengah ambisi kemegahan pembangunan kawasan KEK, dibangun diatas lahan milk warga yang teradministrasikan di dalam empat desa. Yakni Desa Kuta, Sengkol, Sukadana dan Mertak, yang selanjutnya secara sepihak oleh megara ditetapkan menjadi “Hak Penggunaan Lahan (HPL)" yang diberikan kepada PT ITDC.
Kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian skema pembebasan lahan yang sarat dengan intimidasi dan manipulasi, sehingga menyisakan setidaknya tiga masalah utama yaitu salah bayar, dibayar sebagian, dan tidak dibayar sama sekali.
Sahnan menyebut sebagai upaya untuk menyelesaikan serangkaian masalah sengketa lahan yang masih tersisa, Pemerintah telah membentuk satuan tugas (Satgas) penyelesaian sengketa lahan Mandalika. Namun kata dia, hingga dua kali ganti pimpinan, Satgas tidak jua menunjukkan hasil yang baik dan adil bagi warga
Bahkan kata dia, sejak pasca pertemuan pada tanggal 7 Juli, 2022 lalu yang dikoordinasikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang digelar di Kantor Gubernur Provinsi NTB, kembali dibentuk untuk ketiga kalinya.
"Satgas penyelesaian sengketa dengan tupoksi yang sama, kemudian selanjutnya disusul dengan pertemuan yang Kembali di Gelar di Jakarta, di Kantor Mengkopolhukan RI pada tanggal 3 Agustus lalu, masih dengan rekomendasi yang sama, yakni "Verifikasi" lahan yang masih belum terselesaikan," tutur Sahnan.
Masalahnya kata Sahnan, selain klaim PT ITDC yang menyatakan bahwa semuanya sudah “clean and clear", subjek dan objek sengketa lahan yang belum terselesaikan berdasarkan data yang dimiliki oleh Satgas, belum mencakup seluruh warga dan sampai saat ini belum mendapatkan ganti rugi atas lahannya.
Sementara kata dia, yang terdaftar dalam data Satgas sekalipun, terus didorong untuk melakukan gugatan kepada pengadilan. Pasalnya yang selama ini dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan dan koordinasi yang dijalankan oleh pemerintah melalui satgas yang telah dibentuk, hanya melibatkan sebagian warga yang memiliki pendamping hukum saja.
"Sementara warga yang tidak melakukan gugatan ke Pengadilan dan tidak memiliki kuasa hukum, tidak dilibatkan sama-sekali," tutur Sahnan.
Lebih lanjut, Sahnan menjelaskan skema lainnya yang saat ini dilakukan oleh PT. ITDC yakni mendatangi warga satu-persatu atau house to house dan hanya menawarkan sejumlah kompensasi. Nilainya berkisar Rp. 3 juta, 10 juta hingga Rp. 45 juta yang mencakup ganti rugi lahan, tempat tinggal dan, tanaman.
Baca Juga: Banyak Peluang Kerja Baru di Era Digitalisasi
"Tentu saja tawaran tawaran tersebut merupakan tawaran yang sangat tidak adil dan tidak bertanggungjawab," ungkap Sahnan.