Anak di India yang Lahir Akibat Pemerkosaan Bantu Ibu Perjuangkan Keadilan

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 13 Agustus 2022 | 18:48 WIB
Anak di India yang Lahir Akibat Pemerkosaan Bantu Ibu Perjuangkan Keadilan
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anant Zanane BBC Hindi

Hampir tiga dekade setelah seorang perempuan di India diperkosa berulang kali, dia kini berjuang demi mendapatkan keadilan - dan yang membantunya dalam perjuangannya adalah putra yang lahir dari kekerasan yang dia alami.

Perempuan dari negara bagian Uttar Pradesh itu diperkosa selama enam bulan oleh dua laki-laki ketika dia berusia 12 tahun.

Putranya, yang diserahkan untuk diadopsi namun kembali kepadanya 13 tahun kemudian, mendorongnya untuk menuntut keadilan dari para penyerangnya.

Baca Juga: Pasar Unik di India Jual Pria untuk Jadi Suami Idaman, Tergantung Latar Belakang

Sepuluh hari yang lalu, polisi menangkap salah satu tersangka dalam kasus itu dan pada hari Rabu, pria kedua juga telah ditahan.

“Insiden ini sudah lama sekali tetapi luka yang timbul akibatnya belum sembuh,” kata perempuan itu kepada BBC. “Kejadian itu telah membuat hidup saya terhenti dan saya mengingat momen itu lagi dan lagi.”

Di India, ribuan kasus pelecehan seksual terhadap anak dilaporkan setiap tahun. Pada 2020 – tahun terakhir catatan resmi data kasus kejahatan – 47.000 kasus terdaftar terkait Undang-Undang Perlindungan Anak dari Pelanggaran Seksual.

Para pegiat mengatakan lebih banyak kasus tidak dilaporkan karena anak-anak terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi pada mereka atau terlalu takut untuk berbicara. Keluarga juga sering enggan melaporkan pelecehan tersebut karena stigma atau jika pelakunya diketahui.

Baca juga:

Baca Juga: India Denda Warga Tak Pakai Masker Serta Deretan Berita Kanal Kesehatan Populer Lainnya

'Mereka menanamkan ketakutan di hati saya'

Korban pemerkosaan di Uttar Pradesh itu, yang namanya tidak dapat diungkapkan sesuai hukum India, mengatakan pemerkosaan itu terjadi pada 1994 di kota Shahjahanpur. Terduga, Mohammed Razi dan saudaranya Naqi Hasan, adalah tetangga korban. Mereka melompati pagar tembok rumah korban dan menyerang korban saat dia sendirian di rumah.

Korban baru diketahui hamil ketika kondisi kesehatannya mulai memburuk dan saudara perempuannya membawanya ke dokter. Dokter yang menanganinya tidak merekomendasikan aborsi karena kondisi kesehatan korban yang lemah dan usianya yang masih muda.

Setelah melahirkan, bayi korban diserahkan untuk diadopsi.

“Saya telah sangat menderita untuk anak ini tetapi saya bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk melihat wajahnya. Ketika saya bertanya kepada ibu saya, dia berkata, ‘kamu sekarang akan mendapatkan kesempatan baru dalam hidup’.”

Korban dan keluarganya tidak mengajukan pengaduan ke polisi karena korban mengatakan dia hidup dalam ketakutan atas penyerangnya.

“Mereka mengancam akan membunuh keluarga saya dan membakar rumah kami jika saya memberi tahu orang tentang pemerkosaan itu,” katanya. “Mimpi saya waktu kecil adalah untuk menjadi seorang polisi, tetapi karena kedua orang itu, mimpi saya hancur. Saya ketinggalan di sekolah. Saya tidak bisa belajar.”

Korban dan keluarganya kemudian pindah ke distrik Rampur untuk meninggalkan kenangan traumatis yang tertanam di tempat tinggal mereka sebelumnya.

Pada tahun 2000, korban menikah dan melahirkan anak keduanya. Dia mengatakan dia berharap hidup barunya itu akan membantunya melupakan masa lalunya. Tetapi enam tahun setelah menikah, suaminya mengetahui tentang pemerkosaan dan menyalahkannya atas kejadian itu.

Dia dan putranya diusir oleh suaminya sehingga terpaksa pindah dan tinggal bersama saudara perempuannya.

Seorang putra yang mencari kebenaran

Putra korban, yang diserahkan untuk diadopsi, juga menghadapi banyak diskriminasi karena identitasnya.

Ibu angkat anak itu mengatakan bahwa sang anak mendengar para tetangga mengatakan bahwa orang tuanya bukan orang tua yang sebenarnya. Dari situ, anak itu mengetahui bahwa dia diadopsi.

Orang tua angkat anak laki-laki itu kemudian mengembalikannya kedapa ibunya. Itu terjadi 13 tahun setelah ibu dan anak pertama kali dipisahkan.

Tetapi anak itu terus ingin mengetahui identitas ayahnya. Dia tidak memiliki marga – di India, biasanya nama itu diambil dari nama ayah – dan karena itu, anak-anak di sekolah mengejeknya.

Dia terus menerus menanyakan soal ayahnya kepada ibunya, namun tidak pernah mendapatkan jawaban. Hal itu membuat dia kesal. Dia pun mengatakan kepadanya ibunya bahwa dia “tidak bisa menjalani hidup tanpa identitas” dan mengancam akan bunuh diri jika identitas ayanya tidak diungkap.

Awalnya, ibunya memarahi dia, namun akhirnya mengalah dan mengungkapkan yang sebenarnya.

Anak itu bukannya terkejut, dia langsung mendukung ibunya untuk “berjuang dalam perang ini dan memberi pelajaran kepada para penyerangnya.”

“Jika Ibu berbicara tentang apa yang terjadi, mungkin lebih banyak orang akan melakukan hal yang sama. Itu akan memperkuat kasus ini dan para penyerang itu akan dihukum. Ini akan menyampaikan pesan kepada publik bahwa tidak ada yang bisa diselamatkan setalah melakukan kejahatan.”

Perjuangan mencari keadilan

Dengan dukungan putranya, perempuan itu mengunjungi kembali Shahjahanpur pada tahun 2020. Namun di sana, dia menghadapi kesulitan mengajukan kasusnya melawan para penyerangnya.

Polisi menolak untuk mendaftarkan pengaduannya karena insiden itu sudah terlalu lama. Dia kemudian menghubungi seorang pengacara. Pengacara awalnya juga enggan untuk mengambil kasus itu, mengingat kejadiannya sudah hampir tiga dekade yang lalu.  

Lingkungan tempat tinggal korban ketika dia masih kecil itu kini telah berubah total – dia bahkan tidak dapat menemukan rumah lamanya dan para terduga pelaku juga tidak dapat dilacak.

“Bagaimana Anda membuktikkan di mana Anda tinggal tiga dekade lalu dan bahwa tempat itu adalah lokasi di mana Anda diperkosa?” tanya pengacaranya.

“Saya katakan padanya, kami akan membawa bukti jika Anda mau menangani kasus kami,” kata perempuan itu.

Pengacara itu mengajukan banding di pengadilan dan atas perintah hakim kepala Shahjahanpur, kasus tersebut akhirnya terdaftar pada Maret 2021.

Perempuan itu mengatakan polisi memintanya untuk menemukan para terduga pelaku kejahatan.

"Saya menemukan mereka dan berbicara dengan mereka di telepon. Mereka mengenali saya dan bertanya mengapa saya belum mati," kata perempuan itu. "Saya berkata, sekarang giliranmu untuk mati."

Barang bukti dan penangkapan

Meskipun para pelaku yang dituduh itu telah terlacak, tidak ada bukti yang menghubungkan mereka dengan kejahatan tersebut.

Polisi mengatakan bahwa bukti sekarang datang berupa tes DNA yang diambil pada bulan Februari.

Inspektur Senior Polisi Shahjahanpur, S Anand mengatakan kepada BBC, "Kasus ini benar-benar tidak terduga. Ketika perempuan itu maju dan mengajukan kasus, kami cukup terkejut. Tapi kami mencoba menelusuri dan mengambil sampel DNA putranya."

Inspektur Dharmendra Kumar Gupta, yang telah menyelidiki kasus ini selama setahun terakhir, mengatakan, "Kami kemudian mengumpulkan sampel DNA dari tersangka dan mengujinya. Salah satunya cocok dengan sampel DNA putranya."

Pada tanggal 31 Juli, salah satu terduga pelaku ditangkap dan pada hari Rabu, polisi mengatakan bahwa mereka juga telah menahan orang kedua. Dua orang tersebut belum mengomentari tuduhan terhadap mereka.

Perempuan itu mengatakan dia ingin ceritanya menginspirasi orang lain untuk maju dan melaporkan kejahatan yang mereka alami. "Orang-orang duduk diam. Saya juga duduk diam dan berpikir ini sudah nasib saya. Tapi tidak ada hal seperti itu. Kita harus pergi ke polisi sehingga tidak ada orang lain yang harus menanggung apa yang kita telah kita tanggung ini."

Adapun putranya mengatakan dia senang bahwa para pelaku itu telah ditangkap.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI