Suara.com - Ingatan Robert Craig tentang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada ternak yang melanda bagian utara Inggris dua dekade lalu masih melekat kuat dan terasa menyakitkan.
"Ingatan itu masih membuat saya merinding sampai sekarang," kata Robert.
"Saat itu saya tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut bisa memengaruhi kita dalam jangka panjang," tambah peternak sapi perah ini.
Peringatan: Cerita ini berisi gambar yang mungkin membuat beberapa pembaca merasa sedih
Pada bulan Februari 2001, Robert Craig dan keluarganya tinggal di Cumbria, salah satu daerah yang paling parah terkena dampak wabah PMK, yang menyebabkan pembantaian massal sapi, babi dan domba.
Baca Juga: Pemerintah Optimistis PMK Tak Lagi Merebak Mulai Akhir Tahun
"Saya ingat berada di ladang, sedang menyebarkan pupuk, dan melihat mereka mengumpulkan domba-domba dengan truk yang siap di pintu gerbang," katanya kepada podcast ABC News Daily.
"Bagi saya, melihat mereka mengumpulkan domba yang baru lahir dan Anda tahu ke mana mereka akan dibawa, itu sangat mengerikan. Benar-benar mengerikan."
Robert mengatakan dia ingat saat dia mengikuti penyebaran wabah PMK di peta dan melihat saat penyakit itu semakin dekat ke peternakannya sendiri.
"Ada rasa putus asa yang nyata. Saat itu, sulit rasanya untuk bisa melihat bagaimana semuanya dapat kembali normal seperti semula karena begitu banyak ternak yang diambil," katanya.
Selama 11 bulan, lebih dari 6 juta sapi, domba dan babi disembelih dalam upaya untuk mengekang penyebaran penyakit, meskipun hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut yang terinfeksi.
Baca Juga: Masyarakat Diminta Tak Ragu Konsumsi Daging, PMK Tak Menular Pada Manusia
Total jumlah yang terkonfirmasi di seluruh Inggris adalah 2.000 kasus.
"Saya juga tidak tahu apakah pemusnahan itu ada gunanya. Ada sedikit kepanikan saat itu," kata Robert Craig.
"Itu seperti, memusnahkan ternak sebanyak mungkin untuk mencoba dan memperlambat wabah, supaya kita berada selangkah di depannya karena PMK sudah sangat tidak terkendali."
"Saya tidak tahu apakah mereka bahkan mengetes domba-domba yang dibawa pergi ini."
Robert Craig adalah salah satu peternak yang beruntung karena hewannya selamat, tetapi komunitasnya sangat menderita.
"Pada satu titik, hampir semua tetangga kami menyerah," katanya.
"Seluruh wilayah kami hampir mati, seperti tidak ada ternak sama sekali."
Dokter hewan Australia Bill Sykes adalah salah satu dokter yang dikerahkan ke Inggris saat itu untuk membantu karena memiliki latar belakang pengendalian penyakit nasional dan penyembelihan hewan.
Bill ingat bagaimana para pekerja rumah potong hewan mencoba dengan tenang untuk mendapatkan kepercayaan dari para anak sapi yang berumur kurang dari satu bulan sebelum disembelih.
"Strateginya adalah dengan memasukkan jari ke dalam mulut anak sapi itu sehingga ia akan dengan senang hati mengisapnya, dan ketika sedang mengisap, ia ditembak dengan pistol ternak, dan demikian seterusnya."
Tapi baginya, pemusnahan anak domba yang baru lahir melalui suntikan mematikan sangat menghancurkan hatinya.
"Mereka menjadi lemas di tangan Anda, kemudian Anda meletakkannya dan Anda akan mengambil yang berikutnya," katanya.
"Dan kebetulan saya menyukai domba-domba kecil. Saya merasa itu sangat, sangat sulit."
Australia mengukur kesiapannya menghadapi wabah PMK
Belum ada wabah penyakit di Australia selama lebih dari satu abad, tetapi kasus yang terdeteksi di Indonesia pada bulan Mei telah membuat Pemerintah Australia sangat waspada, dan para peternak khawatir jika penyakit itu mendarat di Australia.
PMK menyebar dengan cepat di antara hewan berkuku belah termasuk sapi, domba, babi dan kambing. Penyakit ini serius dan sangat menular.
Bill Sykes, yang juga mantan petugas dokter hewan regional di Departemen Pertanian Victoria dan mantan anggota parlemen Nasional, sangat marah melihat laporan pelanggaran undang-undang biosekuriti Australia.
PMK dapat terbawa di daging dan barang-barang hewani, dan dalam satu kasus baru-baru ini, seorang backpacker yang kembali dari Indonesia membawa daging yang dilarang.
Penumpang ini didenda $2.664 (sekitar Rp26 juta) setelah terdeteksi membawa daging sosis dan croissant ham yang tidak dilaporkan di bandara Darwin.
"Benar-benar bodoh. Bodoh, ceroboh, apa lah itu namanya, tapi situasi seperti itulah yang bisa terjadi," kata Bill.
Penyakit mulut dan kuku juga dapat menyebar di partikel udara antara hewan yang terletak berdekatan, melalui air yang terkontaminasi dan pada pakaian dan alas kaki.
Risiko wabah penyakit mulut dan kuku di Australia telah meningkat menjadi sekitar 12 persen setelah penyebaran baru-baru ini di Indonesia dan pulau wisata populernya, Bali.
Pemerintah Australia telah memperkenalkan berbagai langkah untuk menekan risiko penyakit mulut dan kuku memasuki negara itu.
Langkah-langkah biosekuriti telah ditingkatkan di bandara, termasuk memasang alas kaki disinfektan sitrat dan meningkatkan pengawasan terhadap produk daging yang masuk ke negara itu.
Menteri Pertanian Murray Watt juga mengumumkan gugus tugas baru yang dibentuk untuk berfokus pada cara terbaik mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi wabah.
Pemerintah juga mempertimbangkan saran yang merekomendasikan orang yang kembali dari Indonesia menghindari pertanian Australia selama lima hingga tujuh hari.
Jika ada satu kasus positif di Australia, ekspor ternak akan segera dihentikan dan rencana darurat veteriner nasional yang disebut AUSVETPLAN akan diberlakukan.
"Karena kami sangat bergantung pada pasar ekspor kami, sekitar 60 hingga 70 persen daging merah kami pergi ke luar negeri, dan jika pasar tersebut akan segera ditutup, akan membutuhkan waktu lama untuk membangun kembali pasar tersebut. Dampak ekonominya sangat besar," kata Bill.
Ia mengatakan Australia sudah berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengendalikan wabah berkat kemampuan untuk melacak pergerakan ternak, serta iklim yang lebih hangat dan lebih kering yang mengurangi penyebaran penyakit yang terbawa angin.
Dan masih ada pelajaran yang bisa diambil dari Inggris untuk menghindari pemusnahan begitu banyak ternak.
"Pelajarannya adalah bahwa kami akan mengadopsi strategi yang berbeda dengan Inggris dan mudah-mudahan bisa mengandalkan penilaian risiko berkualitas tinggi dan penyembelihan yang lebih tepat sasaran."
Robert Craig mengatakan pelajaran terbesar dari wabah Inggris adalah menyadari bahwa petani memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi ternak mereka sendiri.
"Anda harus sangat menjaga keamanan hayati Anda sendiri dan membatasi orang untuk datang dan pergi," katanya.
"Karena begitu Anda ketinggalan, sangat sulit untuk berada di depan lagi dan mengendalikannya kembali."
Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Hellena Souisa dari ABC News.