Suara.com - Ketika Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus lalu, banyak warga yang hidupnya berubah. Selama setahun terakhir, puluhan ribu warga Afghan telah dievakuasi dari negara mereka, banyak sekolah menengah atas khusus perempuan diperintahkan untuk ditutup, dan kemiskinan meningkat.
Namun, untuk pertama kalinya dalam lebih dari empat dekade, Afghanistan tidak lagi dirundung aksi kekerasan dan korupsi berkurang secara signifikan.
Koresponden BBC, Secunder Kermani, berada di Afghanistan saat pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban dari Amerika Serikat pada Agustus 2021. Dia kini kembali ke negara itu untuk bertemu dengan sejumlah narasumber yang dia jumpai tahun lalu.
Penembak jitu Taliban jadi direktur di pemda
Ketika tahun lalu Taliban merangsek ke berbagai wilayah Afghanistan di tengah persiapan pasukan negara-negara Barat untuk hengkang, kami berjumpa seorang petempur Taliban bernama Ainudeen di Distrik Balkh, bagian utara Afghanistan.
Baca Juga: AS Dan Taliban Gelar Perundingan Di Uzbekistan
Tatapannya dingin dan menusuk ketika kami berbincang.
“Kami melakukan yang terbaik agar tidak melukai warga sipil. Tapi ini pertempuran dan manusia akan mati,” kata Ainudeen ketika saya bertanya bagaimana dia bisa membenarkan aksi kekerasan.
“Kami tidak akan menerima apapun di Afghanistan kecuali sistem Islam,“ lanjutnya.
Saat itu, perbincangan kami singkat karena pertempuran masih berlangsung dan ada ancaman serangan udara yang dilancarkan militer Afghanistan.
Baca juga:
Baca Juga: Misi Rahasia untuk Menyelamatkan Orang-orang LGBT dari Ancaman Taliban
- Berkunjung ke sekolah rahasia bagi anak perempuan di Afghanistan: 'Pendidikan selamatkan kami dari kegelapan'
- Murid perempuan Afghanistan batal sekolah - 'Apakah Islam mengajarkan untuk menyakiti perempuan seperti ini?'
- 'Afghanistan saat ini adalah ancaman yang lebih besar untuk dunia dibanding 2001'
Beberapa bulan kemudian, manakala Taliban telah membentuk pemerintahan, saya kembali menjumpai Ainudeen yang tengah bersiap menyantap sepiring ikan goreng di tepi Sungai Amu Darya yang membelah Afghanistan dan Uzbekistan.
Kepada saya, Ainudeen mengaku merupakan seorang penembak jitu Taliban. Berdasarkan perkiraannya, dia telah membunuh puluhan personel militer Afghanistan dan telah mengalami cedera sebanyak 10 kali.
Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, dia diangkat sebagai Direktur Pertanahan dan Pembangunan Kota di Provinsi Balkh. Saat saya bertemu dengannya pada hari-hari awal pembentukan pemerintahan Taliban, saya bertanya apakah dia merindukan “jihad“ yang dia lama perjuangkan. “Ya,“ jawabnya dengan lugas.
Kini, setahun kemudian, Ainudeen duduk di belakang meja kayu dengan bendera Emirat Islam berwarna putih dan hitam di sebelahnya. Dia mengaku pentingnya jabatan yang dia emban.
“Dulu kami berperang melawan musuh kami dengan senjata api, alhamdulillah kami mengalahkan mereka. Kini kami berusaha melayani rakyat dengan pena kami,” ujarnya.
Ainudeen mengaku dulu bahagia saat bertempur, tapi sekarang dirinya juga gembira.
Tetapi beberapa mantan petempur Taliban lain yang dulu juga berada di garis depan pertempuran mengaku mereka agak bosan dengan peran kantoran.
Sebagian besar bawahan Ainudeen dipekerjakan saat kekuasaan pemerintahan sebelumnya.
Namun di kota lain kami mendengar keluhan sejumlah warga bahwa pekerjaan mereka diambil para mantan petempur Taliban.
Saya bertanya kepada Ainudeen apakah dia mumpuni untuk mengemban jabatan saat ini.
“Kami menerima pendidikan militer dan modern. Meskipun kami berasal dari latar belakang militer dan kini bekerja di bidang ini, Anda bisa membandingkan hasilnya dengan pemerintahan sebelumnya dan lihat siapa yang memberikan hasil lebih baik.“
Bagaimanapun, dia mengaku jika dibandingkan dengan pertempuran gerilya, “tata kelola pemerintahan lebih sulit daripada bertempur…bertempur gampang karena tanggung jawabnya kurang.“
Tantangan Ainudeen adalah tantangan bagi Taliban secara keseluruhan lantaran kelompok ini sedang bertransisi dari pemberontak ke penguasa.
Desa di garis depan bersyukur atas keamanan yang lebih baik
Setahun lalu, pengeboman di kota-kota utama Afghanistan menjadi sorotan media internasional. Tapi sebagian besar pertempuran justru berlangsung di kawasan pedesaan yang menjadi garis depan.
Saat itu orang-orang awam terjebak baku tembak antara Taliban dan militer Afghanistan yang disokong pasukan internasional.
Kami berkunjung ke Desa Padkhwab di Provinsi Logar, sebelah tenggara Kabul, sesaat setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Para warga di sana kala itu antusias menunjukkan kepada kami bekas-bekas pertempuran. Namun, semuanya sudah berbeda beberapa pekan lalu.
“Situasi sangat buruk waktu itu. Kami tidak bisa melakukan apapun, bahkan tidak bisa ke warung atau pasar. Sekarang alhamdulillah kami bisa pergi ke mana saja,” ujar Samiullah, seorang pembuat ubin.
Di desa-desa seperti Padkhwab, nilai-nilai Taliban lebih dekat dengan warga setempat ketimbang di perkotaan. Bahkan pada masa kekuasaan pemerintahan sebelumnya, kaum perempuan di desa-desa tersebut menutupi wajah mereka di tempat umum dan jarang pergi ke pasar setempat.
Ketika kami kembali ke sana pekan lalu, beberapa lubang peluru di sejumlah bangunan di pasar telah ditutup dan warga mengucapkan syukur atas kondisi yang lebih aman.
“Sebelumnya banyak orang, khususnya petani yang terluka dan tewas, banyak penjaga warung yang ditembak,” kata Gul Mohammad, seorang penjahit.
Meski demikian, ekonomi Afghanistan merosot sejak AS menarik pasukannya. Hal ini terjadi karena bantuan asing, yang mencapai 75% dari anggaran belanja publik, dipangkas dan bank-bank internasional banyak menghentikan proses transfer—takut akan melanggar aturan rangkaian sanksi yang diterapkan AS dan negara-negara Barat.
Berbagai diplomat Barat berulang kali mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan menindas yang diberlakukan Taliban terhadap kaum perempuan membuat bantuan apapun yang ditujukan ke rakyat Afghanistan harus melompati pemerintahan Taliban.
Akibatnya, banyak keluarga yang sebelumnya masuk kategori kelas menengah di kawasan perkotaan mengalami penurunan penghasilan secara drastis. Gaji para pekerja sektor publik pun tidak dibayarkan selama berbulan-bulan dan upah mereka dipangkas.
Mereka yang sebelumnya hidup dari upah harian dan mengalami kesulitan menafkahi keluarga mereka, sekarang jauh lebih sukar.
Di Padkhwab, kenaikan harga sembako secara pesat dan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi keluhan umum.
”Ekonomi telah hancur, tiada pekerjaan. Semua orang hanya mengandalkan kerabat di luar negeri,“ kata Samiullah
“Masyarakat tidak bisa membeli tepung terigu, jangankan daging atau buah,“ timpal Gul Mohammad.
Walau demikian, Samiullah berkata ”benar bahwa dulu lebih banyak uang, tapi kami menghadapi banyak penindasan.” Dia merujuk pada kehadiran pasukan Afghanistan di desanya yang dia tuduh merundung warga.
Kritik terbuka terhadap Taliban semakin jarang di Afghanistan, tapi bagi beberapa kalangan, kemenangan mereka membantu hidup mereka menjadi lebih baik.
Namun, bagi sebagian lainnya, merasa negara yang mereka bangun kini lenyap di depan mata dan mereka amat risau apa yang menggantikannya.
YouTuber masih membuat video dan mendorong batasan
Manakala petempur Taliban mulai memasuki Kabul tahun lalu, banyak penduduk ketakutan. Selama bertahun-tahun kelompok itu melakukan pengeboman bunuh diri dan pembunuhan yang ditargetkan secara spesifik.
Tapi Roeena - seorang perempuan muda yang membuat konten ringan di YouTube - memutuskan untuk keluar dan berbicara dengan mereka.
"Hak laki-laki dan perempuan sama," katanya kepada BBC dengan nada menantang Agustus 2021 lalu. Saat itu dia masih bimbang, apakah akan terus membuat konten atau tidak.
Setahun berlalu, kebimbangan itu masih berlanjut - tidak hanya bagi Roeena, tetapi juga bagi banyak penduduk Afghanistan lainnya.
Baca juga:
- Buku harian rahasia perempuan Afghanistan setelah Taliban berkuasa
- Perempuan Afghanistan harus pakai cadar: 'Hati saya hancur ketika orang-orang di jalan meminta saya menutupi wajah'
- Para perempuan jadi korban gempa Afghanistan 'lebih menderita' karena dokter perempuan sangat terbatas
Ada kekecewaan di antara sebagian besar warga Afghanistan - dan bahkan di dalam jajaran Taliban - atas keputusan pimpinan yang memerintahkan sekolah menengah khusus perempuan ditutup di sebagian besar wilayah.
Padahal gadis-gadis muda sempat diizinkan bersekolah dan kelas-kelas di kampus dipisahkan berdasarkan gender - yang memungkinkan para siswi melanjutkan studi mereka.
Tetapi tokoh-tokoh berpengaruh dan garis keras dalam kepemimpinan Taliban tampaknya enggan mengizinkan gadis remaja kembali ke sekolah sehingga kemajuan hak-hak perempuan yang dibuat selama 20 tahun terakhir tampak buyar.
Begitu pula perempuan yang bekerja di pekerjaan sektor publik - selain sektor pendidikan atau kesehatan - telah diberitahu untuk tidak kembali ke kantor. Namun, perempuan yang bekerja di perusahaan swasta, yang jumlahnya relatif lebih kecil, dapat melanjutkan pekerjaan mereka.
Roeena masih membuat konten video, mendorong batas, membiarkan wajahnya terbuka, tetapi membungkus jilbab lebih erat di wajahnya.
Ketika dia bepergian di sekitar Kabul, dia berpakaian lebih konservatif yakni abaya hitam yang longgar dan masker wajah.
Taliban telah menetapkan bahwa kaum perempuan harus menutupi wajah mereka di depan umum. Tetapi penegakan hukum untuk saat ini tampaknya lemah, dan masih sangat umum di kota-kota besar untuk melihat wanita hanya menutupi rambut mereka.
Berbicara tentang seperti kehidupan sekarang, Roeena memilih kata-katanya dengan hati-hati apabila berbicara soal Taliban.
"Perempuan dan gadis-gadis mengenakan jilbab, mereka harus diberikan semua kebebasan yang dijamin oleh Islam. Hak-hak mereka tidak boleh dirampas, mereka harus diizinkan bekerja dan belajar."