Suara.com - Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sejak akhir Juli, puluhan ribu orang terdampak bencana banjir yang menjadi bencana tahunan dan melanda sejumlah kawasan tengah dan timur Indonesia.
Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, salah satu wilayan rawan banjir, air merendam hampir 3.000 rumah, menelan dua korban meninggal, serta berdampak terhadap 15.000 jiwa.
Pakar kebencanaan menilai kepala daerah tak punya rencana strategis untuk mengantisipasi dampak La Lina, karena banjir ini selalu berulang dalam beberapa tahun terakhir dan diperkirakan makin intens ke depannya.
Sementara itu, sejumlah pemerintah daerah mengklaim sudah melakukan langkah mitigasi, dan mengatakan banjir merupakan tanggung jawab semua instansi.
Baca Juga:
- La Nina mengancam Indonesia, berpotensi sebabkan banjir dan ancam ketahanan pangan
- 2050, Jakarta Utara tenggelam: Semua yang perlu Anda ketahui
- Banjir Kalsel: Warga Dayak Meratus 'paling terdampak', desa yang diterjang longsor dan banjir tak bisa diakses
Di salah satu wilayah rentan, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sejumlah warga mengatakan air banjir merendam rumah mereka.
Salah seorang warga, Saiful Bahri mengatakan banjir akhir pekan lalu merendam rumahnya setinggi dua meter. Saat itu, ia tak membayangkan, air bandang tiba-tiba menyusup ke dalam rumah.
Saya nggak ada prediksi atau catatan khusus banjir-banjir ini, karena memang tergantung curah hujan juga, dan air di hilir sungai dan di hulu karena tidak ada penampungan di hilir, kata pria 40 tahun ini.
Banjir kali ini salah satu yang paling besar dialami Yuliana Masita, warga Kapuas Hulu yang tinggal di wilayah Putussibau hampir 20 tahun.
Baca Juga: Seoul Dilanda Banjir karena Hujan Lebat: Kendaraan hingga Kereta Bawah Tanah Terendam
Dari rumah itu kita naikkan panggung [rumah] satu meter. Ternyata satu meter masih saja dihantam banjir setengah meter, katanya.
Saiful dan Yuliana merupakan bagian dari lebih 15.000 warga yang terdampak banjir di Kapuas Hulu.
Berdasarkan catatan BPBD setempat, banjir yang terjadi akhir pekan kemarin merendam hampir 3.000 rumah, dan dua orang dilaporkan meninggal.
Wilayah ini juga dihantam banjir bandang dan langganan banjir hampir tiap tahun di tengah curah hujan yang tinggi, termasuk karena bangunan yang berada di dataran rendah.
Menurut Profesor Henny Herawati dari Universitas Tanjungpura Pontianak, banjir yang berulang karena tidak ada daerah resapan.
Guru Besar Teknik Sipil yang meneliti tentang mitigasi bencana di Kalbar ini juga menilai Pemkab Kapuas Hulu tak punya perhatian terhadap banjir tahunan ini. Perubahan tata guna lahan, fungsi lahan, maka daerah resapan yang ada [jadi] berkurang, katanya.
Membuat daerah resapan Kabupaten Kapuas Hulu diakui Prof Henny tidaklah mudah dan butuh biaya besar karena area terbuka umumnya lahan gambut.
Tapi hal ini bisa dimasukkan dalam rencana jangka panjang sebagai langkah menekan risiko banjir.
Dalam waktu dekat ini masyarakatnya harus tangguh terhadap bencana yang terjadi, kata Prof Henny.
Namun, ia melihat sejauh ini belum ada program adaptasi banjir untuk masyarakat terkait dengan banjir, apalagi membuat area resapan baru.
Nanti pas kejadian kayak kebakaran jenggot, habis gitu baru ngeh. Kelemahan kita itu adalah dalam hal, kayaknya di mana-mana, habis kejadian kan lupa. Ingatnya pas kejadian, tambah Prof Henny.
Baca juga:
- Perubahan iklim: Pesisir Indonesia terancam tenggelam, puluhan juta jiwa akan terdampak
- Banjir rob Jawa Tengah: Pemerintah segera bangun tanggul, tapi peneliti sebut penurunan muka tanah penyebab utama banjir
- Banjir di Kalsel 'dipicu' berkurangnya area hutan primer dan sekunder
Sementara, Kepala BPBD Kapuas Hulu, Gunawan mengaku langkah mitigasi sudah dilakukan, karena tiap kali prediksi hujan besar, selalu mengeluarkan peringatkan pada warga.
Masalah transisinya, dan segala macam itu kita sudah menyiapkan langkah-langkahnya. Sudah kita peringatkan terkait peringatan dini kepada semua kecamatan yang ada di semua Kapuas Hulu, katanya.
Mental saya syok
Di Sulawesi Tengah, Kabupaten Parigi Moutong, banjir juga merendam empat wilayah yang berdampak terhadap 1.800 jiwa, akhir Juli.
Dalam bencana meluapnya air sungai ini, BPBD setempat mencatat tiga orang meninggal, dan empat lainnya hilang terseret arus.
Empat orang dinyatakan hilang dengan rincian satu bayi, dua orang wanita dan satu orang lansia, ungkap laporan BNPB.
Ilwanto, 40 tahun, warga yang terdampak oleh banjir mengatakan ini merupakan banjir terbesar sejak tahun 1988.
Mental saya syok, katanya.
Area saya tidak kena dulu itu. Pasca banjir 1988, sungai diluruskan. Itu sudah dinyatakan aman. Mau pindah ke mana [sekarang], sudah tidak ada lahan, tambah Ilwanto yang berharap rumahnya bisa direlokasi.
Sementara itu, Sekretaris Kabupaten Parigi Moutong, Sulfinasran, mengatakan banjir ini sebagai tanggung jawab semua instansi mulai dari pusat hingga daerah.
Semua institusi punya andil. Pada saat seperti ini semua institusi punya andil. Kalau tidak punya andil, bencana itu kan mematikan seluruh ekonomi masyarakat. Jadi semua institusi punya andil, katanya.
Banjir di tengah musim panas
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan terjadinya La Nina Juli lalu di mana suhu terasa lebih dingin dan curah hujan tinggi.
Fenomena ini masih terjadi di musim kemarau yang menyebabkan sejumlah wilayah di Indonesia tetap diguyur hujan.
Dalam proyeksinya, BMKG juga melaporkan curah hujan di Indonesia tahun ini akan lebih tinggi dari normalnya.
Pengamat tata kota dan wilayah dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan "curah hujan semakin lama semakin ekstrem Penanganan banjir di kita itu kurang ekstrem. Masih biasa-biasa saja.
Selain curah hujan tinggi, Yayat menilai banjir yang terus berulang dari tahun ke tahun di sejumlah wilayah Indonesia disebabkan alokasi anggaran yang terbatas, pengendalian ruang hijau yang tergerus kepentingan investasi, dan kemauan kepala daerah untuk menangani bencana.
"Sanksi bagi perusak alam, perusak daerah sungai, atau merubah peruntukan itu sangat tidak maksimal. Karena kewenangan itu ada di kepala daerah.
"Jadi persoalannya bukan strukturnya, dalam arti membuat bendungan, membuat waduk, membuat tanggul tapi pada persoalan non-strukturnya; pada konsep pengawasan [perizinan], kata Yayat.
Banjir di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah baru-baru ini merupakan rangkaian dari puluhan bencana serupa dalam satu bulan terakhir yang berdampak terhadap puluhan ribu jiwa.
Dalam sepuluh hari saja, berdasarkan laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), banjir di Indonesia sudah meliputi wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau dan Gorontalo.
Menurut Wakil Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, Suprayoga Hadi, banyak kepala daerah tak memiliki rencana penanggulangan bencana daerah (RPBD), atau tak mengimplementasikannya.
Dalam hal teknis, RPBD ini terkait dengan rencana pembangunan infrastruktur.
"Masih banyak kepala-kepala daerah ini, belum terlalu paham dan terlalu concern terhadap kebencanaan ini. Bangun ini, bangun itu, dan sebagainya infrastruktur tapi tidak dikaitkan bagaimana dengan risiko bencana yang akan terjadi, kata Suprayoga.
Dalam laporan tahunannya, BNPB mencatat lebih dari 90% bencana alam di Indonesia terkait dengan hidrometeorologi atau siklus air dan hujan yang disebabkan cuaca serta iklim. Sampai 8 Agustus 2022, lembaga ini mencatat setidaknya terjadi 862 bencana banjir di Indonesia.
Sementara, Kementerian Keuangan melaporkan secara umum bencana alam di Indonesia membuat kerugian negara Rp22 triliun tiap tahun, yang sebagian besar disumbang bencana banjir.
Sejumlah pakar memperkirakan bencana banjir akan makin intens ke depannya, akibat perubahan iklim.
Wartawan Muhammad Iqbal di Sulawesi Tengah dan Aseanty Pahlevi di Kalimantan Barat ikut berkontribusi dalam artikel ini.