Suara.com - Sebanyak 25 anggota Polri, termasuk Irjen Pol Ferdy Sambo diduga melakukan pelanggaran etik terkait kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Ahmad Ali mengatakan, tak menutup kemungkinan pelanggaran etik tersebut nantinya berujung pada pelanggaran pidana.
"Kalau kemudian upaya pengusutan pelanggaran etik yang sedang dilakukan internal, saya pastikan itu akan berujung pada pidana," kata Ali kepada wartawan, Mingu (7/8/2022).
Bahkan, Ali meyakini pelanggaran pidana tersebut sudah pasti terjadi. Hanya saja polisi perlu mengumpulkan alat bukti yang cukup lebih terlebih dahulu, baik lewat keterangan saksi-saksi maupun bukti lainnya.
Baca Juga: Ustaz Derry Sulaiman Berikan Nasihat ke Fredy Sambo
Dengan alat bukti yang cukup, menurut Ali, nantinya Polri bisa melanjutkan untuk penetapan tersangka. Tetapi selama belum ada alat bukti, penetapan tersangka sesorang tidak bisa didasarkan hanya dari keinginan publik semata.
"Jadi sangat tergantung penemuan alat bukti dalam pemeriksaan," ujar Ali.
Ali menegaskan bahwa pemeriksaan dugaan pelanggaran etik tersebut jangan sampai mengesampingkan ranah pidana. Menurut dia, kedua hal tersebut bisa berjalan beriringan.
"Dalam perjalanan pengusutan kasus etik ditemukan alat bukti pidana ya dia kan bisa diusut secara bersamaan," tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Ferdy Sambo diduga melanggar prosedur penanganan tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J atau Brigadir Yosua Hutabarat. Adapun pelanggaran prosedural yang dilakukan bisa mencakup tidak profesional penanganan TKP hingga pengambilan CCTV.
Menanggapi indikasi adanya pengambilan CCTV, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa tindakan tersebut bisa masuk terhadap pelanggaran etik anggota Polri, sekaligus menjadi pelanggaran pidana.
"Bisa masuk dua-duanya. Hukum firmal itu kan kristalisasi dari moral dan etika," kata Mahfud kepada wartawan, Minggu (7/8).
Mahfud menegaskan bahwa tindakan pengambilan CCTV bisa masuk ke ranah pidana lantaran merupakan tindakan menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan atau obstraction of justice.
"Jadi pengambilan cctv itu bisa melanggar etik karena tidak cermat atau tidak profesional dan sekaligus bisa pelanggaran pidana karena obstraction of justice dan lain-lain," ujar Mahfud.
Sebelumnya, Mahfud menyampaikan bahwa apa yang menjadi pertanyaan orang-orang ialah mengapa Ferdy Sambo ditahan di Provos yang seolah-olah mengindikasikan bahwa Ferdy hanya diperiksa dalam pelanggaran etik.
Mahfud meluruskan bahwa menurut hukum pelanggaran etik dan pelanggaran pidana itu bisa sama-sama berjalan dan tidak harus saling menunggu. "Serta tidak bisa saling meniadakan," ucap Mahfud.
Dengan demikian, lanjutnya, ketika seseorang dijatuhi sanksi etik, bukan berarti dugaan pidananya dikesampingkan. Pelanggaran etik akan tetap diproses, begitu pula dengan pelanggaran pidana yang juga akan tetap diproses secara sejajar.
"Contohnya, dulu kasus Pak Akil Mochtar (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) di MK. Ketika yang bersangkutan ditahan karena sangkaan korupsi setelah di-OTT (operasi tangkap tangan), maka tanpa menunggu selesainya proses pidana pelanggaran etiknya diproses dan dia diberhentikan dulu dari jabatannya sebagai hakim MK melalui sanksi etik," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan bahwa hal tersebut mempermudah pemeriksaan pidana karena yang bersangkutan tidak bisa turut membantu merampungkan di Mahkamah Konstitusi. "Dia tidak bisa cawe-cawe di MK," ucap Mahfud.
Beberapa lama setelah sanksi etik dijatuhkan, barulah dijatuhi hukuman pidana. Menkopolhukam ini menjelaskan bahwa pemeriksaan pidana itu lebih rumit, sehingga lebih lama daripada pemeriksaan pelanggaran etik.
Oleh karena itu, ia meminta kepada publik untuk tidak perlu khawatir karena penyelesaian masalah etika ini akan mempermudah pencepatan pemeriksaan pidana apabila memang ada dugaan dan sangkaan tentang itu. "Publik tidak perlu khawatir, penyelesaian masalah etika ini malah akan mempermudah pencepatan pemeriksaan pidana," kata Mahfud.