Suara.com - Ombudsman RI menemukan maladministrasi dalam laporan akhir pemeriksaan terkait dugaan maladministrasi proses penunjukkan penjabat kepala daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Awalnya, dugaan laporan maladministrasi itu dilaporkan oleh Kontras, Perludem dan ICW.
"Ada maladministrasi berlapis yang kita temukan," ujar anggota Ombudsman RI, Robert Endi Na Jaweng dalam diskusi Penunjukan PJ Kepala Daerah Pasca Rekomendasi Ombudsman secara virtual, Kamis (4/8/2022).
Robert lantas menerangkan satu persatu maladministrasi yang dilakukan Kemendagri. Pertama yakni, penundaan berlarut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan terlapor.
"Penundaan berlarut dalam artian, tidak segera diberikan tanggapan atas permintaan informasi dan keberatan yang disampaikan oleh pihak pelapor. Dalam hal ini tiga lembaga yang menjadi pelapor ke Ombudsman," ujar Robert
Baca Juga: Bantah Guru Paksa Siswi Muslimah Pakai Jilbab, Kepala SMPN 46 Jakarta Ungkap Kronologinya
Kedua, kata Robert yakni maladministrasi penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Khususnya pengangkatan yang berasal dari unsur TNI dan polisi aktif.
"Dalam proses pemeriksaan kami, tentu yang diperiksa ini tidak hanya pihak Kemendagri, tetapi juga unsur polisi kemudian TNI dan berbagai pihak. Kami mendapatkan keterangan yang sangat jelas, bahwa proses pengangkatan ini ternyata memang tidak melibatkan mereka, tidak diberitahukan apalagi mendapatkan persetujuan," ucap Robert.
Robert menuturkan jika mengacu kepada UU TNI, UU Polri dan UU ASN, bahwa prinsipnya tentara dan polisi itu hanya bekerja di lingkungan profesi tentara dan polisi. Ombudsman menilai para TNI dan polisi hanya bekerja di 10 kantor atau bidang yang berkaitan dengan urusan keamanan.
"Jika kemudian mereka bekerja di luar ini perintahnya adalah termasuk kaitan dengan undang-undang ASN mereka itu harus pensiun dini intinya adalah bukan mereka ya dalam ikatan jabatan dinas aktif," papar Robert.
Oleh karena itu, Ombudsman menilai ada upaya penyimpangan prosedur.
Baca Juga: Fakta-Fakta Kucing Oren
"Ketika tadi proses pengangkatan tidak melibatkan tidak diberitahu apalagi mendapatkan persetujuan tentara dan polisi dan kemudian ketika ternyata yang diangkat penjabat itu masih merupakan pejabat yang terikat dalam jabatan dinas aktif, maka ini akan disebut minimal dua ini ini akan penyimpangan prosedur, ini temuan kedua," jelasnya.
Kemudian maladministrasi yang ketiga ditemukan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai momentum untuk penataan regulasi turunan, yakni pengabaian kewajiban hukum. Robert menuturkan dalam hal ini, pihaknya juga berkonsultasi dengan pakar dan MK.
"MK menyampaikan membacanya memang harus dalam kerangka satu kesatuan. Pertimbangan itu tidak dianggap sebagai suatu opsional, pertimbangan sama mengikat dengan amar putusan yang kita tangkap," tuturnya.
Tindakan Ombudsman
Setelah menemukan adanya tiga maladministrasi yang dilakukan Kemendagri, Robert mengatakan kalau Ombudsman akan melakukan tindakan korektif. Pertama ialah menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan terlapor.
Poin kedua, Ombudsman memperbaiki proses pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif
"Opsi satu adalah yang sudah terlanjur diangkat, harus diberhentikan, tapi kita melihat ini sesuatu yang terlalu jauh, yang sudah diangkat diberhentikan," papar dia.
"Opsi kedua yang kami sampaikan, karena dia sudah berada di sana, sudah di posisi penjabat, maka segera untuk memproses pensiun dininya itu kan pilihan, yang paling mungkin yang paling realistis, itu mungkin yang sebenarnya kita tunggu selama kurang lebih 30 hari ke depan," sambungnya.
Tindakan korektif ketiga yakni Ombudsman menyiapkan naskah usulan pembentukan PP terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Pj kepala daerah
"Kami tidak saja, apa yang dimintakan oleh MK untuk dibuat peraturan tapi juga jenis peraturan atau bentuk payung hukumnya itu juga harus tepat. Ombudsman melihat bukan Permendagri, tapi PP peraturan pemerintah penting," katanya.
Tiga LSM Laporkan Mendagri
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melaporkan Menteri Dalam Negeri ke Ombudsman RI pada Jumat (3/6/2022).
Laporan tersebut terkait adanya dugaan maladministrasi proses penentuan Penjabat Kepala Daerah yang tidak diselenggarakan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Staf Divisi Hukum Kontras, Adelita Kasih menyampaikan, pihak Kemendari melakukan penyimpangan prosedur dan pengambilan kewajiban hukum dalam proses penentuan Penjabat Kepala Daerah. Dalam hal ini, ada sejumlah hal yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil.
"Proses ini kami nilai maladministrasi karena adanya penyimpangan prosedur dan pengambilan kewajiban hukum yang dilakukan pihak Menteri Dalam Negeri," ucap Adelita di kantor Ombudsman RI, Jumat.
Sorotan pertama, mengenai adanya tata kelola yang tidak transparan, akuntabel, dan partisipatif. Kedua, soal penunjukan perwira TNI/Polri aktif sebagai Penjabat kepala daerah.
Sorotan ketiga adalah potensi konflik kepentingan dalam penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu. Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga menilai, penunjukan Penjabat Daerah melanggar asas profesionalitas
"Sebagai bagian tak terpisahkan dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) karena menduduki dua jabatan sekaligus secara aktif," sambungnya.