Suara.com - Pemerintah didesak untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP nO. 15/2022 Tentang Penerimaan Negara dari Royalti Ekspor Batu Bara. Desakan ini muncul dari Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto.
Menurut Mulyanto, pemerintah perlu memaksimalkan penerimaan negara dari ekspor batu bara.
“PP ini perlu direvisi,” kata Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Menurut dia, revisi ini diperlukan karena PP yang berlaku sekarang masih kurang adaptif dengan perubahan Harga Batu Bara Acuan (HBA), sehingga nilai pendapatan negara tidak dapat maksimal.
Baca Juga: Biaya Pembangunan Kereta Cepat Bengkak, DPR Ogah Talangi Pakai APBN
Saat ini, lanjutnya, PP hanya mengatur 5 layer HBA, serta semakin tinggi harga HBA maka persentase pajaknya semakin tinggi, dari rentang persentase pajak 14 persen sampai 28 persen. Contohnya, ketika HBA di atas 100 dolar AS/ton, maka pajaknya menjadi 28 persen.
“Jadi menurut saya untuk mengoptimalkan penerimaan negara, maka royalti progresif untuk ekspor batu bara yang berlaku efektif bulan Mei 2022 ini harus konsisten dijalankan," kata politisi PKS itu.
Ia berpendapat penegakan dalam penerapan royalti yang bersifat progresif akan lebih realistis dibandingkan dengan hanya berupa pengenaan pajak ekspor batu bara.
Mulyanto mengusulkan jenjang royalti progresif ekspor batubara ini ditambah 2 layer lagi sehingga jadi 6 layer. Penambahan itu, ujar dia, yakni untuk HBA di atas 200 dolar AS/ton dikenakan royalti 33 persen, serta untuk HBA di atas 300 dolar/ton dikenakan royalti 38 persen.
Ia menilai bahwa PP No. 15/2022 yang terbit bulan April 2022 ini kelihatannya tidak mengantisipasi HBA yang mencapai setinggi seperti sekarang ini.
Baca Juga: Anggota DPR: Jangan Melupakan Proses Pemulihan Istri Ferdy Sambo sebagai Korban TPKS
Mulyanto menambahkan sejak awal tahun 2022, HBA ini terus naik dari 158 dolar AS/ton pada Januari menjadi sebesar 319 dolar/ton untuk Juli 2022.
Sebagaimana diwartakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor mineral dan batu bara (minerba) hingga 1 Agustus mencapai Rp87,72 triliun dan telah melampaui target 2022 sebesar Rp42,36 triliun atau 207 persen.
“Kalau total akumulasi dengan yang lalu itu hampir Rp300 triliun lebih. Sementara ada kelemahan di utang sekitar Rp5 triliun yang bertambah lagi karena ada Perpres Nomor 15 Tahun 2022 mengenai royalti,” kata Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Yose Rizal dalam Webinar Digitalisasi Sebagai Sarana Pencegahan Korupsi, Cegah Korupsi Komoditas dan Optimalisasi PNBP, Rabu (3/8).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi PNBP minerba memang selalu melebihi target sejak 2018. Tercatat realisasi pada 2018 mencapai Rp49,62 triliun dari target Rp32,1 triliun. Lalu pada 2019 realisasi mencapai Rp44,92 triliun dari target Rp43,27 triliun.
Kemudian pada 2020, target PNBP ditetapkan pada Rp31,41 triliun dan mencapai Rp34,6 triliun. Begitu juga pada 2021 dengan realisasi yang mencapai Rp74,9 triliun dari target Rp39,1 triliun.
Guna meningkatkan PNBP sektor minerba, Kementerian ESDM menetapkan sejumlah kebijakan yang salah satunya dilakukan melalui penguatan pengawasan penerimaan negara melalui pemanfaatan data pembayaran PNBP melalui integrasi e-PNBP Minerba dengan aplikasi SIMPONI dan automatic blocking system aplikasi e-PNBP. [ANTARA]