Suara.com - Sepertinya setiap orang di Australia sekarang seakan-akan bicara dengan bahasa yang berbeda saat membahas masalah COVID-19.
Sebagian orang mungkin masih mengenakan masker N95 dan mengikuti perkembangan kasus baru setiap hari di tempat mereka bermukim, serta berusaha keras untuk menghindari tempat umum agar tidak tertular COVID.
Namun, tidak sedikit yang tampak tidak peduli.
Sebelumnya, kebijakan penanganan pandemi Australia dari pemerintah, baik di tingkat federal maupun di negara bagian, pada umumnya dianggap konsisten dan sesuai dengan masukan dari para pakar.
Baca Juga: FAO dan Australia Beri Indonesia Bantuan untuk Penanganan PMK, Tim Ahli Jalankan Misi Darurat
Tetapi kini pemerintah Australia seperti mengalami kesulitan membuat warga mengikuti petunjuk paling mendasar seperti menggunakan masker di kendaraan umum.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi di Australia sekarang ini?
Kesehatan publik yang semakin kompleks
Dr Amalie Dyda adalah epidemiolog penyakit menular dari University of Queensland di Brisbane.
Dia mengatakan pada umumnya pesan kesehatan publik yang disampaikan oleh pemerintah Australia cukup konsisten dalam hal seperti vaksinasi dan pentingnya penggunaan masker meski kadang kebijakan tersebut harus diubah tergantung pada perkembangan terbaru.
Namun, salah satu kesulitan yang paling mendasar saat ini adalah mengkomunikasikan alasan di balik kebijakan yang mereka ambil, meskipun kerap kali hal-hal itu terlihat tidak sejalan dengan semangat nasihat kesehatan dari para pakar.
Baca Juga: Oposisi Australia Terus Mendesak Penutupan Perbatasan dengan Indonesia
"Sebagai pakar kesehatan publik kami memberikan pandangan dari sudut kesehatan publik, tetapi pemerintah dalam tugasnya harus juga memperhatikan faktor lain," katanya.
Ketika kemungkinan memberantas COVID ke titik nol masih bisa dicapai, pesan yang ada sederhana: gunakan masker di tempat umum, isolasi selama dua minggu kalau positif, hindari tempat-tempat yang terpapar kasus.
Namun, ketika varian Delta menyebar dengan cepat, harapan Australia untuk memberantas virus ke titik terhempas.
Bahkan, negara bagian yang sebelumnya melakukan kebijakan sangat ketat pun harus menyerah dan mengubah kebijakan menjadi "hidup bersama COVID."
Saat target vaksinasi yang tinggi kemudian tercapai, kebijakan kemudian berubah termasuk meningkatkan kegiatan ekonomi dengan secara bertahap mengurangi aturan-aturan pembatasan COVID, sehingga tidak akan melumpuhkan sistem layanan kesehatan.
Di sinilah kemudian kebijakan pemerintah mulai kadang terlihat tidak konsisten, yang sebelumnya 'ikuti aturan supaya Anda akan selamat' kini sesekali mendorong warga untuk mengambil kesempatan dalam kebebasan beraktivitas, termasuk aktivitas ekonomi yang baru.
Akibatnya, saat angka kasus semakin melonjak, pemerintah menghadapi kekurangan tenaga kerja dan hambatan dalam distribusi produk, sehingga aturan mengenai isolasi dikurangi, definis kontak erat diubah, dan keharus vaksinasi dicabut.
Dr Dyda mengatakan kebijakan kesehatan pemerintah Australia mengenai bahaya COVID menjadi kurang efektif setelah kebijakan resmi pemerintah tidak lagi diberlakukan yang menunjukkan bahwa masalah tersebut kini sekarang kelihatan tidak lagi serius.
"Dari sisi kebijakan kesehatan publik, sejauh ini saya kira pesannya sudah jelas, yakni menyangkut masker, vaksinasi, dan larangan keluar rumah kalau sakit," katanya.
"Yang tidak ada adalah kebijakan resmi untuk mendukung hal-hal tersebut."
Tindakan tidak lagi konsisten dengan pernyataan
Professor Stephen Duckett mantan Sekretaris Departemen Kesehatan Australia mengatakan masa transisi 'hidup bersama COVID' yang terjadi menjelang pemilu Australia bulan Mei lalu membuat pesan-pesan soal COVID menjadi isu politik.
Politisi yang mendukung pelonggaran pembatasan lebih suka menngirimkan pesan bahwa penanganan ini ada pada tanggung jawab masing-masing warga, sementara politisi yang setuju dengan pembatasan, tidak juga mau terbuka mengatakannya.
"Partai Buruh (yang sekarang menjadi pemerintah yang berkuasa) tidak mau membicarakannya karena ketika mereka menyebut COVID, media miliki Rupert Murdoch (yang mendukung Partai Koalisi) akan segera mengatakan Partai Buruh adalah partai pendukung lockdown," kata Professor Duckett.
"Sejak mereka terpilih, sulit bagi Partai Buruh untuk mengatakan: kami ingin memperketat lagi beberapa kelonggaran yang sudah dicabut."
Menurut Professor Duckett, situasi yang sama juga terjadi di negara bagian meski rumah sakit penuh dan para staf rumah sakit kecewa karena "'pemerintah tidak melakukan apa pun untuk membantu mereka."
Baik pemerintah negara bagian Queensland dan Victoria baru-baru ini mengeluarkan seruan kepada anak-anak yang kembali ke sekolah untuk mengenakan masker namun menegaskan bahwa kebijakan mereka tidak berubah.
Dan Menteri Utama negara bagian ACT, Andrew Barr, minggu lalu mengatakan tidak ada lagi kebijakan tersisa yang bisa digunakan untuk menghentikan penyebaran COVID di kalangan warga.
"Peluang agar mereka yang berusia 20 tahunan untuk mendapatkan vaksin hampir tidak ada lagi," katanya kepada harian The Canberra Times.
Kalau masker penting mengapa tidak diwajibkan?
Professor Duckett mengatakan di saat kasus tinggi dan membuat sistem layanan kesehatan di rumah sakit kewalahan, fakta bahwa pembatasan telah melonggar sejak awal pandemi telah menciptakan kebingungan mengenai kebijakan apa yang ada sekarang ini.
"Apa yang kita lihat dengan mata dan kita dengar lewat telinga tidak konsisten," kata Professor Duckett.
"Sebelumnya pesannya adalah disarankan untuk menggunakan masker. Sekarang 'sangat dianjurkan'. Dan mungkin sebentar lagi 'sangat sangat dianjurkan'.
"Kita sudah melihat bahwa bahasa yang digunakan semakin kuat namun tidak ada hal lain yang dilakukan untuk memperkuatnya."
Dia mengatakan pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan dengan kembali melakukan kebijakan lebih ketat meski akan ada ongkos politik dan sebagian warga tidak mendukungnya.
"Yang tidak kita ketahui 12 bulan lalu adalah betapa cepatnya kita bisa terinfeksi lagi, dan setiap kali kita kena COVID-19 semakin besar kemungkinan kita terkena long COVID," katanya.
"Tentu saja kalau situasi berubah, peraturan juga mesti berubah."
Dr Dyda setuju bahwa pengetatan pembatasan dan penerapan beberapa pembatasan tambahan adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan politisi untuk memastikan pesan mereka dianggap serius.
"Literatur menunjukkan bahwa satu-satunya hal yang bekerja adalah kewajiban atau keharusan dari pemerintah, baik dalam konteks pandemi dan konteks yang lain," katanya.
"Dari sudut pandang kesehatan publik, kita cenderung untuk tidak mau menerapkan aturan wajib yang dimandatkan kecuali ada alasan yang sangat kuat."
"Sekarang mungkin hal tersebut diperlukan lagi."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.