Suara.com - Amnesty Internasional Indonesia (AII) menilai Papua sedang mengalami krisis kebebasan berekspresi dan berkumpul. Hal itu diindikasikan dengan penangkapan yang dilakukan polisi terhadap dua aktivis Petisi Rakyat Papua (PRP) Jefri Wenda dan Ruben Wekla saat berunjuk rasa menolak daerah otonomi baru (DOB) pada Jumat (29/7/2022) kemarin.
Keduanya dilaporkan ditangkap oleh Polresta Jayapura.
“Sampai kapan pihak berwenang akan terus me-represi dan melanggar kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai masyarakat di Papua?” kata Direktur AII, Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya Sabtu (30/7/2022).
Menurut Usman penangkapan terhadap para demonstran telah terjadi berulang. Kepolisan di Jayapura dinilainya tidak mendengarkan perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo.
Baca Juga: Ribuan Pasukan Siaga di Jayapura, Antisipasi Demo Petisi Rakyat Papua
"Aparat seperti tidak peduli dengan arahan dan pernyataan dari Kapolri ataupun Presiden bahwa kebebasan berekspresi harus dilindungi dan difasilitasi,” tegasnya.
"Bahkan tokoh agama senior seperti Pendeta Benny Giay pun dihalang-halangi untuk menyampaikan aspirasinya di kantor DPR Papua. Sementara aktivis-aktivis gerakan Petisi Rakyat Papua seperti Jefri Wenda dan Ruben Wekla ditangkap pada dini hari tanpa alasan yang jelas,” sambungnya.
Kepada Kapolda Papua dan Kapolri, Usman mendesak agar aparatnya yang mengekang kebebasan masyarakat sipil diberikan tindakan tegas.
"Dan memastikan bahwa segenap jajarannya mengerti bahwa berunjuk rasa secara damai adalah hak semua warga, termasuk warga Papua,” tegasnya.
Dikatakan Usman, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum.
"Dalam instrumen hak asasi manusia internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945, serta pada Pasal 14 dan 25 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," jelasnya.
Bahkan hal itu tertuang dalam Komite HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Komentar Umum Nomor 37 terhadap Pasal 21 ICCPR tentang hak untuk berkumpul secara damai.
"Sebuah kegiatan berkumpul hanya boleh dibubarkan dalam kasus-kasus tertentu. Pembubaran boleh dilakukan saat sebuah kegiatan tersebut sudah tidak lagi damai, atau jika ada bukti jelas adanya ancaman nyata terjadinya kekerasan yang tidak bisa ditanggapi dengan tindakan yang lebih proporsional seperti penangkapan terarah, tapi dalam semua kasus, aparat penegak hukum harus mengikuti aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan," paparnya.