"Ketika di Muzdalifah, kita dapat tempat seluas 83.825 meter persegi, jadi setiap orang dijatah 0,9 meter persegi atau 90 sentimeter. Karena itu, di Muzdalifah, sifatnya sirkulatif. Ketika lewat tengah malam, jemaah keluar masuk. Ini untuk menyiasati sempitnya tempat," kata Subhan.
Sayang, siasat ini tidak bisa dilakukan saat puncak haji di Mina. Pasalnya, jemaah berada di Mina selama 4 hari berturut-turut. Dengan kuota saat ini, kita mendapatkan tempat seluas 111.390 meter persegi di Mina. Jadi per orangnya mendapatkan jatah masing-masing 1,2 meter persegi.
Jatah Kuota 46 Persen
Subhan mengatakan itu merupakan angka yang didapatkan dengan kuota 46 persen. Jika kembali ke kuota normal dengan tempat yang didapatkan seperti ini, Subhan menilai porsi untuk jemaah pun bakal semakin sempit.
"Pilihannya: kita pingin longgar dengan mengurangi jemaah atau kita ingin mempercepat antrean dengan tambah kuota tapi dengan risiko jemaah berdesakan," terang Subhan.
Subhan pun mengambil contoh ketika Arab Saudi memperluas Mina, jemaah kemungkinan ditempatkan di Mina jadid atau area bayang-bayang. Wilayah itu masuk muzdalifah
Alhasil, ketika jemaah haji menunaikan mabit atau menginap di Muzdalifah di malam hari sepulangnya dari Arafah, keesokan paginya bisa berubah di Mina.
"Ini jadi problem syar'i. Untung, pembimbing kita cepat mencari solusi, meski bukan permanen. Agar mabitnya sah, sore hari menjelang terbenam matahari, jemaah diajak jalan ke Moasseim untuk lempar jumrah. Alhasil, pagi-pagi sudah mabit di Mina yang asli," kata Subhan.
Menurut Subhan, inilah yang menjadi masalah alasan kuota tidak ditambah. Problem wilayah sya'ri di Masyair itu sudah dibatasi. Ketika diperluas sedikit, itu menjadi persoalan.
Baca Juga: Sisa 3 Kloter Jamaah Haji Asal Lampung yang Belum Pulang ke Tanah Air
"Banyak jemaah yang merasa ibadahnya tidak sah karena tidak mabit di Mina yang asli," tutup Subhan.