Suara.com - Dalam menyambut datangnya 1 Suro terdapat beberapa tradisi yang akan dilakukan oleh masyarakat Jawa. Salah satunya arak-arakan kebo bule sebagai tradisi kirab malam 1 Suro yang diadakan di Keraton Surakarta pada Jumat (29/7/2022) malam nanti. Asal usul kebo bule pun banyak dipertanyakan.
Seperti yang telah diketahui, Tahun Baru Islam 2022 atau 1 Muharram 1444 Hijriah akan jatuh pada Sabtu (30/7/2022) besok. Sejumlah daerah saat ini mulai mempersiapkan tradisi yang biasa dilaksanakan pada 1 Suro. Termasuk Keraton Surakarta yang akan kembali menggelar tradisi kirab malam 1 Suro, setelah sebelumnya ditiadakan selama dua tahun akibar pandemi Covid-19.
Pengageng Parentah Keraton Solo Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo mengungkapkan, meskipun ada kerbau yang sempat terjangkit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), namun tetap akan diikutkan dalam arak-arakan setelah sebelumnya dikarantina.
"Supaya upacara kirab malam 1 Suro tetap terlaksana dan tata caranya kembali seperti biasanya, maka harus ada karantina. Sebagian kerbau yang nanti akan dipersiapkan untuk kirab sudah dikarantina," kata Dipo dalam konferensi pers, pada Kamis (28/7/2022).
Baca Juga: Apakah Malam 1 Suro Sama dengan Malam 1 Muharram? Ini Letak Perbedaannya
Dipo mengatakan, nantinya akan ada 5 ekor kebo bule Keraton Surakarta yang ikut dalam tradisi arak-arakan kirab malam satu suro.
Asal Usul Kebo Bule
Keraton Kasunan Surakarta dalam menyambut pergantian Tahun Baru Islam atau satu Soro akan mengadakan tradisi kirab menyusuri jalanan kota solo. Tradisi ini sendiri sudah dilakukan sejak ratusan tahun serta dilaksanakan secara turun temurun.
Dalam kirab satu suro tersebut, ribuan orang akan turut berpartisipasi, mulai dari Raja beserta para abdi dalem hingga masyarakat umum. Kirab malam satu suro memiliki tujuan sebagai refleksi dari kesalahan di masa lampau dan lembaran baru dengan harapan supaya kesalahan tersebut tidak akan diulangi lagi.
Salah satu ikon yang paling khas dalam tradisi kirab malam satu suro di Keraton Surakarta yaitu Kebo (Kerbau) Bule, yakni sebagai cucuk lampah (pengawal) kirab, keturunan dari Kebo Kyai Slamet.
Baca Juga: 4 Beda Malam 1 Suro dan 1 Muharram, Walau Dirayakan di Hari yang Sama
Kerbau Bule milik Keraton Kasunanan Surakarta ini bukanlah sembarang kerbau biasa, karena hewan yang satu ini termasuk pusaka penting milik keraton. Leluhur dari kebo bule merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih berada di Kartasura yang berjarak sekitar 10 kilometer dari arah barat keraton yang sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur atau nenek moyang kerbau dengan warna kulit khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) tersebut, merupakan hadiah pemberian dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.
Menariknya kerbau bule dalam tradisi kirab diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat dia pulang mengungsi dari Pondok Tegalsari ketika kala itu terjadi pemberontakan pecinan yang berhasil membakar Istana Kartasura.
Namun, hingga saat ini, pihak keraton Kasunan tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet tersebut.
Konon, pada saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, sekitar tahun 1725, para leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas. Kemudian perjalanannya diikuti para abdi dalem dari keraton, hingga akhirnya mereka berhenti di tempat yang kini dijadikan sebagai Keraton Kasunanan Surakarta. Berjarak sekitar 500 meter dari arah selatan Kantor Balai Kota Solo.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, Kebo Bule Kyai Slamet ini bukan lagi dianggap sebagau hewan yang asing. Saat mengikuti kirab pada malam satu suro, warga yang berpartisipasi biasanya akan berusaha menyentuh kebo bule.
Bahkan, kotoran kebo bule sering dinanti-nanti oleh mereka. Jika kotorannya jatuh di jalan, mereka akan berebut mengambilnya untuk dibawa pulang dengan keyakinan akan memberikan berkah dan keselamatan.
Untuk rute kirab malam 1 Suro, sama seperti tahun-tahun sebelumnya yakni dimulai dari Kori Kamandungan-Supit Urang-Gladag-Jalan Mayor Sunaryo-Kapten Mulyadi-Veteran-Yos Sudarso-Slamet Riyadi dan kembali ke keraton.
Kenapa Disebut Kebo Bule Kyai Slamet?
Peran kebo bule Kyai Slamet sendiri menjadi sebagai simbol kekuatan yang praktis dan digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian dari orang-orang Jawa.
Kyai Slamet merupakan sebuah kunjungan Raja. Secara harfiah, kunjungi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.
Kenapa Dikeramatkan?
Sejak lama, kerbau bule ini memang dikeramatkan oleh warga Solo karena menjadi salah satu pusaka Keraton Solo. Biasanya, kerbau-kerbau tersebut hanya akan dikeluarkan oleh pihak Keraton pada perayaan-perayaan tertentu, terutama pada Kirab Malam Satu Syuro.
Tradisi Malam 1 Suro
Selain kirab kebo bule di Solo, terdapat sejumlah tradisi malam 1 Suro di antaranya yaitu:
1. Mubeng Benteng
Keraton Yogyakarta juga memiliki tradisi unik pada malam 1 Suro yaitu Mubeng Beteng. Tradisi Mubeng Beteng atau disebut dengan Lampah Mubeng adalah sebuah tradisi yang dilakukan dengan cara mengelilingi Kompleks Keraton Yogyakarta. Selama berkeliling, pada abdi dalem dan sejumlah masyarakat akan melakukannya tanpa berbicara, bersuara, makan, minum atau merokok.
2. Upacara Tobat
Upacara Tobat adalah perayaan yang dilakukan oleh warga Bengkulu untuk menyambut datangnya Tahun baru Islam. Upacara ini dilakukan sebagai tanda untuk mengenang kepahlawanan dan meninggalnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali Abu Thalib. Selain itu, upacara ini juga dipengaruhi dari upacara Karbala di Iran.
3. Ledung Suro
Ledeng Suro menjadi tradisi malam 1 Suro yang dilakukan di Magetan, Jawa Timur. Tradisi ini disebut juga dengan ritual Ngalub Berkah Bolu Rahayu yang dipercaya masyarakat setempat dapat membawa berkah. Ledug Suro dilaksanakan mulai dari satu minggu sebelum Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa.
Demikian tadi ulasan mengenai asal usul kebo bule yang dikramatkan oleh warga Surakarta. Semoga bermanfaat!
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari