Suara.com - Cukup lama Ling Ling, pemilik restoran A'la Indo di Sydney, Australia, bertahan untuk tidak menaikkan harga makanannya, meski laju inflasi sudah berlangsung sejak awal tahun 2022.
"Kami takut-takut untuk naikin harga, jangan sampai konsumen lari," ujarnya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.
Laporan terbaru menyebutkan laju inflasi di Australia hingga periode Juni 2022 telah mencapai 6,1 persen, atau tertinggi dalam 21 tahun.
Tak ada pilihan lain, Ling Ling mengatakan ia berencana untuk menaikkan harga makanan di restorannya akhir pekan ini.
"Ini harus karena kita juga sudah enggak kuat," kata Ling Ling.
"Terlebih lagi karena sebelumnya kami juga harus menaikkan rate gaji karyawan, karena tenaga kerja sangat susah didapat saat ini," tambahnya.
Saat perbatasan Australia masih ditutup akibat pandemi COVID-19, banyak sektor di Australia kekurangan tenaga kerja sehingga harus menaikkan upah. Bahkan sejumlah restoran mengaku harus bersaing satu sama lain demi mendapat pekerja.
Setelah perbatasan dibuka kembali, lowongan pekerjaan menjadi lebih banyak namun pencari pekerja punya lebih banyak pilihan untuk mencari upah yang lebih tinggi,
"Sulit kalau kita tidak naikin rate, karena untuk tawaran gaji di restoran Indonesia pasti kalah dengan tawaran gaji di restoran Western," jelas Ling Ling.
Baca Juga: Kunker ke New York, Sandiaga Uno Mampir Makan di Restoran Indonesia
Tapi jika tidak dapat menawarkan upah lebih tinggi, Ling Ling mengatakan sejumlah restoran memutuskan untuk tidak membuka dine-in karena mengalami kekurangan staf.
"Ada resto yang terpaksa tutup, serta ada yang hanya buka empat hari dalam seminggu," ujarnya.
Mencari cara kreatif untuk bertahan
Di Melbourne, salah satu restoran Indonesia sudah lebih dulu memutuskan menaikkan harga makanannya karena kenaikan harga bahan pangan.
"Dampaknya terasa banget pada restoran kami. Mulai awal 2022 setelah pandemi, itu kenaikan harga-harga mulai terasa," ujar Misniarti Darudoyo, pemilik restoran Dapur Indo di Melbourne.
Ia menyebutkan kenaikan bahan makanan yang paling berdampak pada usaha restorannya yaitu harga daging dan 'seafood'.
"Bumbu-bumbu yang kebanyakan impor juga sudah naik, begitu pula sayuran yang datangnya dari Queensland. Memang setiap musim dingin harga sayuran selalu naik. Tapi kali ini naiknya benar-benar tinggi banget," jelas Misniarti.
"Harga makanan di restoran kami terpaksa kami naikkan kira-kira sejak tiga bulan lalu," ujarnya.
"Konsumen memang mengeluh, kok harganya naik, tapi kita ngasih penjelasan, dan mereka bisa lihat sendiri di pasar bagaimana kondisi harga-harga saat ini," jelasnya.
"Kenaikan harga di kami itu maksimum 20 persen, jadi misalnya tadinya harga satu menu 15 dolar sekarang menjadi 18 dolar," ujar Misniarti.
Ia mengatakan ia sudah mencoba bertahan dengan menciptakan menu-menu yang bisa mempertahankan harga, tapi merasa upayanya tidak akan cukup untuk mempertahankan bisnisnya.
Misniarti menyebutkan pengusaha restoran juga tidak mungkin mengurangi porsi menunya demi menyesuaikan kenaikan harga bahan dan bumbu.
"Jadi mau enggak mau mau kita harus kreatif, bagaimana caranya tetap bisa bertahan, yaitu dengan melayani catering yang kita antar," jelas Misniarti.
Apalagi sekarang ini, katanya, banyak orang yang mencoba buka usaha restoran baru dengan menu-menu baru atau bisnis rumahan yang juga menawarkan 'catering'.
"Itu semua bersaing dengan kita. Cost mereka jauh dari cost kita," katanya.
Melihat adanya penurunan konsumen
Baik Ling Ling maupun Misniarti mengakui adanya penurunan jumlah konsumen di restoran-restoran Indonesia saat ini akibat konsumen yang memilih untuk mengurangi makan di luar.
"Kedatangan customer juga ada penurunan, mereka lebih saving karena masyarakat Indonesia di sini lagi gencar-gencarnya beli rumah dan sekarang interest rate lagi naik," ujar Ling Ling.
"Jadi saya, suami dan staf restoran diskusi, mau tidak mau kita harus naikin harga. Tapi kita naikin cuma 1 dolar, enggak sampai 10 persen. Itu pun takut-takut," kata Ling Ling.
Mengurangi makan di luar adalah salah satu pilihan Triantie Nini, seorang warga asal Indonesia.
"Kenaikan harga lumayan berasa akhir-akhir ini. Apalagi kita family yang punya anak," katanya.
"Dari segi makanan kita tidak bisa menguranginya karena anak butuh makanan bergizi. Nappy [popok] juga 'kan naik, tapi tetap tak bisa dikurangin juga budget-nya," katanya.
"Nah memang jadinya makan di luar atau entertainment yang lebih dikurangi," ujar Nini.
Ia menyebutkan, untuk sekali makan siang saat ini biasanya mereka akan menghabiskan $60 - 70 bersama suami dan anak balita mereka.
"Kalau ke restoran Indonesia atau Malaysia, harganya tidak jauh beda, sekitar 40 - 50 dolar."
Meski mengakui memasak sendiri sendiri lebih murah, namun Nini mengatakan harga bahan makanan seperti daging ayam sudah naik di toko halal langganannya.
"Kami menghabiskan sekitar 1.600 - 2.000 dolar per bulan untuk makan," kata Nini yang sudah empat tahun tinggal di Australia.
Dhamar Haryadi, seorang warga asal Indonesia yang tinggal di Kota Brisbane juga merasa jika ingin memasak sendiri, harga bahan-bahan makanan saat ini juga sudah mahal.
"Harga telur selusin pada empat bulan yang lalu masih bisa dapat 3 dolar, sekarang paling murah 3,89 dolar," tambahnya.
Menurut pengamatan Misniarti, bagi keluarga muda dengan dua orang tua yang sama-sama bekerja, membeli makanan di restoran masih lebih efisien secara biaya dan waktu ketimbang memasak sendiri.
"Lebih menguntungkan bagi mereka untuk beli makanan jadi atau catering daripada masak sendiri," katanya.
Laporan ABC News menyatakan laju inflasi pada beberapa komponen barang akan mengalami perlambatan.
"Penurunan harga minyak mentah baru-baru ini menunjukkan inflasi bahan bakar otomotif akan melambat tajam pada kuartal mendatang," kata ekonom Marcel Thieliant dari Capital Economics.
"Begitu pula penurunan harga pangan global menunjukkan bahwa inflasi pangan sudah mencapai puncaknya dalam waktu dekat [dan tidak akan naik lagi[," jelasnya.
Simak artikel ABC Indonesia lainnya di sini.