Suara.com - Indonesia dan China sepakat untuk meningkatkan perdagangan bilateral dan memperluas kerja sama di sejumlah bidang, seperti pertanian dan ketahanan pangan, setelah Presiden Joko Widodo dan Presiden Xi Jinping bertemu di Beijing, Selasa kemarin (26/07).
Kedua pemimpin negara percaya hubungan strategis mereka signifikan dan memiliki pengaruh global, seperti dikatakan Kementerian Luar Negeri China usai pertemuan Presiden Jokowi, Presiden Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang.
"[China dan Indonesia] telah bertindak secara proaktif dengan rasa tanggung jawab yang kuat untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional," menurut isi pernyataan bersama kedua negara.
Kunjungan pemimpin negara ke China sangat jarang terjadi sejak pandemi COVID-19. Terkahir kali China menerima kunjungan pemimpin negara adalah saat Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Olimpiade Musim Dingin.
Baca Juga: Presiden Jokowi Bahas Akses Pasar CPO Hingga Produk Turunan Porang dengan Pemerintah China
'Tak ada yang mengejutkan'
Hubungan China dengan negara-negara besar, seperti Australia dan Amerika Serikat, sedang memanas begitu pula dengan pengaruh China di Laut China Selatan yang menjadi sorotan dunia internasional.
Bahkan saat berkunjung ke Jakarta pekan lalu, petinggi militer Amerika Serikat, Jenderal Mark Milley mengatakan jumlah pesawat dan kapal China yang dipergoki oleh Amerika Serikat dan sekutu lainnya di kawasan Pasifik sudah meningkat tajam.
Jenderal Mark Milley mengatakan pengaruh China di udara dan laut "semakin agresif".
Dr David Engel, Kepala Program Indonesia dari Australian Strategic Policy Institute mengatakan kunjungan Presiden Jokowi ke China tidak mengejutkan.
"Saya tidak berpikir ada orang yang terlalu khawatir jika Presiden Jokowi ingin pergi ke sana [China] dan saya bayangkan mencari lebih banyak dukungan untuk rencana pembangunan Indonesia," ujar Dr Engel.
Baca Juga: China Beli Satu Juta Ton Kelapa Sawit Indonesia, Erick Thohir Sebut Mitra Strategis
"Tak ada yang mengejutkan dari kunjungan itu," ujarnya.
Menurut Dr Engel Indonesia memiliki "kepentingan besar dalam hubungan ekonomi yang kuat dengan China."
Dr Randy Wirasta Nandyatama, peneliti dan akademisi dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menilai kunjungan ke China tak lepas dari karakter Presiden Jokowi yang "pragmatis" untuk kepentingan dan kebutuhan Indonesia saat ini.
"Yang pertama adalah akses bahan pangan, seperti akses gandum, mengingat ketegangan politik dunia yang menyebabkan inflasi dan harga yang tinggi," ujar Dr Randy.
Namun menurutnya, langkah ini juga "kalah strategis" dibandingkan dengan India yang mendapat keuntungan lebih banyak.
Misalnya, saat Indonesia mendekati Rusia dan Ukraina, yang mendapat kontrak minyak dan gandum adalah India.
Dukungan untuk proyek ibu kota negara baru?
Hal kedua yang bisa dilihat dari lawatan-lawatan Jokowi menurut Dr Randy adalah kebutuhan terkait ibu kota negara baru (IKN).
"Misalnya setelah Jokowi ke pertemuan G7, ke Ukraina dan Rusia, ia pulang lewat Timur Tengah, mampir [bertemu dengan pemerintah Unit Emirat Arab]. Itu yang ada di mejanya, kebutuhan uang untuk membiayai untuk IKN."
"Jadi mungkin dalam pertemuan dengan China dan Jepang, dugaan saya lebih ke urusan IKN," katanya seraya merujuk pada peran China dalam pembangunan ibu kota baru di Mesir yang sudah berlangsung sejak 2015.
"Dan nyatanya sampai saat ini, di dunia ini, yang punya ketertarikan dan setidaknya punya bukti nyata untuk berinvestasi di pembangunan proyek infrastruktur ibu kota ya China," ujarnya.
Pendekatan Indonesia ke China terkait IKN menurut Dr Randy bisa dipahami dalam konteks "balancing power" setelah di awal pembangunan IKN, Indonesia lebih banyak menggandeng negara Timur Tengah.
"Supaya Indonesia tidak terlalu bergantung kepada salah satu pihak saja yang pasti berisiko."
Alasan pragmatis ini juga dilihat oleh Dr Engel di balik kepergian Jokowi ke Jepang dan Korea usai lawatannya ke China.
Menurutnya, Jepang dan Korea Selatan adalah investor utama dan mitra pembangunan di Indonesia dan berperan penting bagi pengembangan pertahanan dan keamanan.
Selain itu, Dr Engel juga melihat alasan "simbolis" yang mencerminkan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan menegaskan bahwa Indonesia tidak memihak negara mana pun.
Hal ini terlihat saat Presiden Jokowi yang tidak hanya mengunjungi Ukraina, tapi juga mengunjungi Rusia di tengah kedua negara sedang bertikai.
Indonesia adalah salah satu mitra dagang terbesar China, dengan jumlah impor produk China dari Indonesia di semester pertama tahun 2022 melonjak 34,2 persen, terbesar setelah Rusia.
Dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing, China menyatakan komitmennya untuk mengimpor tambahan satu juta ton minyak sawit mentah dari Indonesia.