Suara.com - Ketua DPR RI Puan Maharani menceritakan momen mencekam detik-detik terjadinya tragedi kerusuhan dua puluh tujuh Juli atau Kudatuli. Tragedi itu diketahui menjadi salah satu sejarah kelam di dunia politik Indonesia.
Melansir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, tragedi Kudatuli terjadi di kantor DPP PDI Jalan Diponogero pada 27 Juli 1996. Lokasi yang menjadi tempat pendukung Megawati Soekarnoputri berkumpul itu diambil paksa oleh massa dari PDI kubu Soerjadi.
Puan Maharani pun masih mengingat peristiwa pertumpahan darah yang meninggalkan kesan mendalam baginya. Kala itu, putri Megawati ini masih duduk di bangku kuliah dan kerap menemani ibunya melakukan aktivitas politik.
Tak terkecuali saat peristiwa Kudatuli terjadi. Puan menceritakan saat itu ia bersama Megawati sudah bersiap berangkat ke kantor DPP PDI. Namun, tiba-tiba ia dihubungi mengenai situasi panas di DPP PDI Jalan Diponegoro.
“Ibu saya bilang, ayo siap siap kita ke Diponegoro (kantor DPP PDI). Saya sudah siap tiba-tiba ditelepon lagi,” kata Puan Maharani.
Megawati kemudian diberitahu jika situasi di Diponegoro sudah semakin genting. Megawati bersama suami, Taufik Kiemas dan putrinya pun diminta menunggu di rumah mereka.
Dari rumah di Kebagusan, mereka terus memantau situasi di kantor DPP PDI dari jauh. Selang berapa lama, Puan mengingat keluarganya diberitahu adanya penyerangan hingga pembakaran di kantor tersebut.
“Menit per menit itu semuanya kan report ke ibu saya. Sekarang ada beberapa truk yang mendekati DPP Diponegoro. Semua sudah turun berpakaian hitam-hitam," cerita Puan.
"Sampai akhirnya terjadi peristiwa penyerangan, penyerbuan, pembakaran dan sebagainya,” lanjutnya.
Baca Juga: Kenang Tragedi Kudatuli, PDIP Gelar Tabur Bunga Di Kantor DPP Pagi Ini
Tidak berapa lama, rumah Megawati mulai didatangi korban-korban kerusuhan tersebut. Puan menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana banyak orang dibawa ke rumahnya dalam keadaan luka parah.
Orang-orang yang terluka itu rupanya merupakan korban dari upaya pengambilalihan paksa kantor DPP PDI. Puan menggambarkan situasi rumahnya yang sudah mirip tempat pengungsian.
“Rumah (Megawati) sudah kayak tempat pengungsian,” kenang Puan.
Situasi itu pun diakui Puan membuatnya panik. Apalagi, mereka berdatangan dengan kondisi luka-luka. Para korban itu pun awalnya juga hanya diberi pengobatan seadanya dengan peralatan PPPK yang ada di rumah Kebagusan.
Meski demikian, Puan bersyukur sejumlah dokter yang menjadi simpatisan turut membantu menolong korban dan mengobati luka-luka mereka.
“Akhirnya ada simpatisan yang dokter datang kesitu ngobatin mereka,” ucap Puan.
Di tengah kekacauan itu, Puan ternyata diberi tugas khusus. Saat ayah dan ibunya sibuk urusan politik, Puan mengemban tugas untuk menyiapkan makanan bagi para korban dan simpatisan yang berkumpul di rumah Megawati.
Puan mengakui awalnya ia merasa kebingungan saat mendapatkan tugas tersebut. Pasalnya, ia harus memasak dengan cepat untuk orang banyak dengan peralatan seadanya.
“Masak apa yang cepat untuk orang sebanyak ini. Kita kan punya peralatan kecil,” lanjutnya.
Akhirnya, Puan meminta asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk memasak nasi dan sayur sop. Menu itu dipilih Puan karena selain bisa mengenyangkan, juga bisa dibagi ke banyak orang.
Puan sendiri bersyukur tak lama setelah asisten rumah tangga memasak, banyak bantuan makanan yang datang ke rumahnya. Ia pun mengenang kebaikan orang-orang yang turut membantu simpatisan PDI kala itu.
“Alhamdulilah tanpa diminta banyak orang yang nyumbang. Dari siapa-siapa saya juga enggak tahu. Ada beras, pisang, tempe, tahu dan sebagainya. Di tengah kesusahan kita masih banyak orang baik yang mau datang untuk menolong,” kenang Puan.
Para simpatisan pendukung Megawati itu terus berkumpul di rumah Kebagusan sampai situasi politik yang memanas mulai mereda. Puan yang kala itu kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, mengaku sempat kesulitan untuk kuliah.
"Saya masih kuliah waktu itu mau keluar rumah aja susah," katanya.
Terlepas dari itu, Puan tetap membantu perjuangan ibunya dengan sekuat tenaga, namun tetap bertanggungjawab dengan pendidikan yang dijalaninya.
Terakhir, Puan hanya menyebut peristiwa Kudatuli itu memiliki peran besar dalam menggembleng dan membentuk dirinya hingga sekarang bisa terjun di dunia politik dan menjadi Ketua DPR.
"Kalau orang yang enggak tau dipikir Puan itu enak aja, enggak pernah susah hidupnya, cucunya Soekarno anaknya Megawati, dua-duanya pernah jadi presiden. Tapi ini sekelumit cerita yang orang juga banyak tidak tahu," tandasnya.