Suara.com - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia sekaligus founder KlinikDigital.org, Devie Rahmawati mengingatkan, warganet waspada terhadap tsunami informasi terkait kasus penembakan Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir Jdi media sosial.
Dia meminta warganet terus mengawal kasus kematian Brigadir J itu berdasar data.
Menurut Devie, informasi yang beredar di media sosial terkait kasus penembakan Brigadir J di kediaman Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo begitu deras bergerak seperti tsunami. Viralnya kasus ini juga menurutnya, berawal dari berbagai opini yang sengkarut.
“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut. Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” kata Devie kepada wartawan, Selasa (16/7/2022).
Baca Juga: Dalih Sibuk Belum buat Laporan Polisi, Ahok Putuskan Nasib Pengacara Brigadir J Pekan Depan
Devie menyebut proses pengawalan kasus Brigadir J dengan merujuk pada data atau informasi dari pihak atau ahli yang bekompeten di bidangnya penting dilakukan untuk menjaga diri dari terpaan tsunami informasi di media sosial.
“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data obyektif,” katanya.
Di sisi lain, Devie tak memungkiri derasnya informasi di lini masa media sosial juga memiliki dampak positif dan membangun. Namun, tak jarang menurutnya juga menimbulkan bencana karena diwarnai banyak prasangka atau asumsi.
“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” katanya.
Di dunia digital, lanjut Devie, watak manusia Indonesia juga mengalami perubahan: dari yang dikenal ramah menjadi marah dan yang tenang menjadi berang. Watak baru manusia Indonesia di dunia digital ini kemudian disebut Devie kerap bertemu dengan fenomena cancel culture.
Baca Juga: Pengacara Brigadir J Ogah Minta Maaf, Ahok Pikir-pikir Laporkan Kamaruddin Ke Polisi Atau Tidak
“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” imbuh dia.