Suara.com - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya menyatakan keberadaan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah bisa diterapkan oleh aparat penegak hukum, kendati belum ada aturan turunan.
Hal itu ditegaskannya menyusul masih adanya kasus-kasus kekerasan seksual, terutama kepada wanita dan anak. Keberadaan dan penerapan UU TPKS diharapkan dapat mengantisipasi dan membuat efek jera.
"Baik delik dan hukum acara pidananya sudah bisa langsung dieksekusi tanpa peraturan turunan, baik peraturan pemerintah atau pun Perpresnya UU TPKS sudah bisa digunakan aparat penegak hukum khususnya dalam dua ranah yang menjadi kekuatannya itu satu delik-deliknya, kedua hukum acaranya sendiri," kata Willy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Termasuk dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak. Willy berujar bahwa UU TPKS memiliki kelebihan di mana hukum acara bisa digunakan oleh undang-undang sejenis.
Baca Juga: Tiga Bulan Usai Disahkan, Ini Sejumlah Hambatan Penerapan UU TPKS
"Hukum acaranya bisa digunakan oleh undang-undang sejeni. UU Penghapusan Kekerasan pada Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang itu sudah bisa menggunakan hukum acara UU TPKS," kata Willy.
Willy kemudian menyoroti masih adanya kasus-kasus kekerasan seksual. Padahal secara hukum, UU TPKS telah mengatur tentang aspek mitigasi atau pencegahan.
Tetapi, diakui Willy, lahirnya undang-undang tidak otomatis membuat kesadaran di tengah publik atau masyarakat Indonesia.
"Jadi ada tidak hanya gap, tapi lebih tepatnya lack of, patah. Dia belum tentu sebangun antara kesadaran publik dengan undang-undang," ujarnya.
Padahal pemerintah maupun DPR sudah menunjukan political will untuk menangani persoalan kekerasan seksual, satu di antaranya melahirkan UU TPKS. Karena itu kekinian yang menjadi pekerjaan rumah bersama ialah membangun kesadaran publik.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Sekolah Marak Terjadi, Pemerintah Kebut Buat Aturan Turunan UU TPKS
"Bagaimana membangun sebuah kesadaran di publik, culture di publik butuh waktu yang sangat panjang dan memakan intensitas. Nah itu pekerjaan itu basisnya narasi dan literasi," katanya.