Suara.com - Kaum Yahudi di Indonesia yang teguh memegang kanon Torah, tak seberuntung saudara-saudaranya yang juga berakar pada tradisi Abrahamik. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas spiritualnya agar terhindar bala, meski tetap mencoba meretas jalan pengakuan.
TIDAK ada nada sambung saat saya mengontak nomor telepon seluler perempuan itu. Detik berikutnya terdengar suara operator, "Nomor yang anda hubungi tidak terdaftar, silakan periksa kembali nomor tujuan anda.”
Saya mencoba cara lain, menghubunginya melalui surat elektronik. Dulu, kami berdua lebih terbiasa berbicara melalui cara ini. Tapi, berhari-hari setelah surel terkirim, tak pula ada balasan.
Sempat berpikir untuk mendatangi apartemen tempat kami bertemu tiga tahun silam, tapi akan susah menembus penjaga kalau tak ada janji lebih dulu.
Baca Juga: Jalan Sunyi Agama Baha'i
Rasa penasaran saya akhirnya terjawab pada Juni 2022. Seorang pengajar bahasa Ibrani di Jakarta mengatakan, perempuan itu tak lagi tinggal di Indonesia.
“Eli sudah aliyah, memenuhi panggilan untuk kembali ke tanah perjanjian, Yerusalem,” kata lelaki bereo itu ketika saya temui.
Nama perempuan yang saya cari adalah Elisheva Dinar Prasasti Wiriaatmadja. Eli seperti perempuan Indonesia lainnya: berkulit sawo matang, rambut sebahu, dengan pembawaan tenang.
Bedanya Eli dengan perempuan-perempuan lain yang saya kenal adalah, dia berdarah Yahudi dan kembali ke kepercayaan buyutnya menjalani 613 mitzvot secara puritan sebagai kaum ortodoks.
Sinagoge tersembunyi
Baca Juga: Kami Bertemu Penghayat Sapta Darma, Komunitas yang Dicap Penyembah Semar
MENDUNG menggantung di langit Jakarta, Minggu 7 April 2019. Elisheva yang sudah lama menunggu di dalam unit apartemen, akhirnya turun ke lobi.
Jalanan di barat Jakarta macet sehabis hujan deras tak henti-henti mengguyur sejak sore. Alhasil, saya datang terlambat 20 menit dari perjanjian, pukul 18.20 WIB.
Eli tersenyum ramah, “Hai, Erick ya ? Kita langsung ke atas saja ya.”
Saat hendak masuk ke sebuah flat di lantai duapuluh enam, Eli menyentuh benda berisi gulungan kertas yang tertempel di samping pintu. Puntalan itu berisi kertas yang tertoreh ayat-ayat doa.
Secara tradisi, setiap Yahudi ortodoks harus menyentuh gulungan yang disebut Mezuzah itu kalau hendak masuk ke dalam rumah sesamanya.
“Ini basecamp kami, Yahudi ortodoks di Jakarta. Kami juga terkadang sembahyang di sini.”
Ruang utama flat berisi rak-rak berwarna putih yang menempel di dinding. Sejumlah peralatan ibadah Sabat terjejer di atas rak.
Menorah atau kandil lilin bercabang dari logam yang digunakan saat makan-makan dan berdoa, Cawan Eliyahu buat memulai Sabat, Kipah—kopiah khas orang Yahudi—dan beberapa ornamen lain diletakkan di rak tersebut.
Sabat adalah hari tanpa bekerja dan bebas dari aktivitas, yang dimulai dari Jumat menjelang matahari terbenam hingga Sabtu menjelang malam.
Sejumlah kitab Torah juga tersusun rapi di rak. Begitu pula kain putih dan kain hitam yang terdapat bordir tulisan berbahasa Ibrani.
“Kita makan dulu sebelum wawancara,” ajak Eli.
Roti, keju, cokelat, dan beberapa makanan kosher sudah terhidang di meja ruang utama. Kosher adalah makanan yang sudah diberkati atau halal dalam tradisi Yahudi.
Sebelum makan, Eli mencuci tangan di wastafel menggunakan cawan dari logam. Bagi seorang Yahudi Ortodoks, mencuci tangan sebagai simbol penyucian memunyai aturan khusus.
Tidak boleh dua telapak tangan bersentuhan, sehingga Eli membasuh telapak tangannya satu per satu secara bergantian memakai air dari cawan.
Saat mencuci tangan ia melafalkan doa. Kemudian sebelum makan roti, ia juga mengucapkan doa dalam bahasa Ibrani.
“Baruch atah Adonai, Eloheinu melech ha-olam, hamotzi lechem min ha-aretz (Kami memuji Engkau, Allah yang Kekal, yang berdaulat atas alam semesta, yang menghasilkan roti dari bumi),” rapal Eli.
“Apa ini bisa disebut sinagoge?” kata saya sembari makan.
“Ya, satu unit apartemen sudah bisa disebut sinagoge, kalau digunakan untuk berkumpul dan beribadah,” jawab Eli.
Flat tempat kami bertemu sangat sunyi. Apartemen itu tergolong mewah, sehingga privasi penghuninya sangat terjaga.
Tapi, semua Yahudi ortodoks baik yang tinggal di Jakarta atau dari daerah, bisa setiap saat singgah di flat untuk makan atau beribadah, kata Eli.
“Kenapa begitu? Apa tidak bisa bertemu di rumah biasa atau restoran privat?“
“Yahudi ortodoks tidak bisa makan sembarangan. Semua harus kosher atau halal. Ya sulit didapat. Karenanya kami bikin basecamp ini, supaya Yahudi traveler datang ke Jakarta, tak susah makan atau beribadah.“
Meski begitu, beberapa tahun ke belakang, saudara-saudara seimannya sudah jarang beribadah di sinagoge itu.
Sebab, jumlah mereka yang sedikit. Supaya bisa menggelar sembahayang hari Sabat, minimal harus ada 10 jemaah laki-laki.
“Lalu, sentimen anti-Yahudi di Indonesia semakin kuat, jadi mereka takut ketahuan,” Eli mengaku.
“Pernah ketahuan begitu?“
Maka, berceritalah Eli tentang perundungan oleh kelompok intoleran saat Yahudi ortodoks di Indonesia merayakan Pesach di Hotel Pullman Jakarta, April 2016.
Pesach kala itu tak hanya dihadiri orang-orang Yahudi setempat, tapi juga Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken.
“Acaranya hanya makan malam, tak ada doa atau ibadah. Ada ulama Islam juga yang datang. Tapi setelah kejadian itu, kami jarang merayakan Peasch atau hari raya lain di Jakarta.“
Sejak peristiwa itu, Eli dan Yahudi ortodoks lain memilih menggelar acara keagamaan di Bali atau di luar negeri seperti Singapura, Bangkok Thailand, Hong Kong, dan Amerika Serikat.
“Rata-rata kami berlatar belakang ekonomi yang cukup, jadi bisa mudah ke luar negeri.”
“Di Bali di daerah mana?”
“Ada, tapi ya rahasia bagi kami, tertutup.”
Susah cari makanan halal
“KAMI tidak makan babi atau anjing, sama seperti umat Islam,” kata Eli saat saya bertanya tentang konsep makanan halal menurut Yahudi ortodoks.
Eli mengakui, tak mudah menjadi Yahudi ortodoks di Indonesia. Selain kuatnya sentimen anti-Yahudi, mencari makanan yang sesuai dengan konsep halal mereka atau kosher juga tak mudah.
Sangat sering mereka harus mengimpor bahan-bahan makanan yang berlabel kosher. Semua makanan harus kosher bila menjadi Yahudi ortodoks yang dikenal puritan dalam menjalani ritual.
“Biasanya kami mengimpor dari Singapura. Atau kalau sempat, kami beli sendiri di Bangkok Thailand.”
Makanan sangat penting dalam agama Yudaisme. Setiap perayaan hari keagamaan, identik dengan makan-makan.
“Aku rasa, agama yang paling banyak perayaannya ya Yahudi. Setiap bulan selalu ada, dan pasti makan-makan.”
Misalnya hari raya Purim, akan dirayakan dengan pesta pora, makan-makan dan minum-minum sampai mabuk. Meminum minuman beralkohol sampai mabuk saat Purim itu bagian dari ritual.
Purim dirayakan untuk memperingati sejarah bangsa Yahudi yang hendak dibantai oleh suatu kaum penghasut raja Mesir kuno.
Kaum penghasut raja untuk membunuh orang-orang Yahudi ketika itu berpesta minum-minum hingga mabuk.
“Hanya saat bulan Tisha b’av yang tak ada makan-makan. Pada bulan itu kami puasa.”
“Lalu, bagaimana agar makanan bisa halal dimakan Yahudi ortodoks?” tanya saya.
“Mirip Islam. Misalnya mau makan daging ayam, ya ayamnya harus dipotong oleh rabi.”
Karena belum mempunyai rabi atau pemuka agama Yahudi ortodoks di Indonesia, Eli dan yang lain mendatangkannya dari Singapura sekali setiap tiga bulan.
Hanya rabi kepala dan asistennya yang bisa memotong daging agar halal. Sebab, saat pemotongan, terdapat doa-doa dan tata cara ritual.
“Kalau rabi sudah datang, jumlah ayam yang dipotong bisa banyak. Sekali pemotongan bisa sampai 2.000 ekor untuk persediaan.”
Setelah pemotongan, daging-daging ayam kosher itu dikirim ke para penganut Yahudi ortodoks yang tersebar di beberapa daerah seperti Medan, Jepara, Surabaya, dan Bali.
Rabi bukanlah orang sembarangan dalam Yahudi ortodoks. Setiap orang yang mau menjadi rabi, harus lebih dulu bersekolah di Yeshiva sejak usia enam tahun.
“Yeshiva itu sekolah untuk menjdi rabi, hanya ada di Israel atau di New York, Amerika Serikat. Belum ada orang Yahudi Indonesia yang belajar di sana.”
Selain itu, untuk memotong ayam, tata cara Yahudi harus menggunakan pisau khusus. Jadi sekali gesekan leher ayam langsung putus. Dalam kepercayaan Yudaisme, binatang yang disembelih jangan sampai merasakan sakit.
“Hampir sama seperti hukum Islam, dalam menyembelih binatang tidak boleh sampai kesakitan, maka penyembelihan memakai pisau paling tajam,” kata Eli.
Kalau daging sapi kosher, karena susah melakukan ritual pemotongan secara terbuka, Eli dan sesamanya mengimpor dari Singapura. Tapi sebenarnya, daging sapi itu dipotong oleh rabi di Australia.
Bahkan untuk ikan pun tidak semuanya kosher. Khusus untuk ikan, yang bisa menilai kosher atau tidak, hanya rabi.
Kalau sayur-sayuran atau apa pun yang boleh dimakan dan berasal dari tanah, semisal sayuran dan buah-buahan dianggap kosher, halal.
“Jadi ya kalau persediaan daging kosher habis, paling aman makan gado-gadi, pecel, atau rujak, karena pasti kosher,” kata Eli.
Banyak Artis Indonesia Yahudi
ELI mengatakan, keturunan Yahudi di Indonesia yang terdata pada lembaganya ada sekitar 2.000 orang. Eli merupakan pendiri Yayasan Eits Chaim Indonesia (YECI).
“Semua Yahudi ortodoks atau berbeda mazhab begitu mbak?” tanya saya.
“Tidak semua menganut Yahudi ortodoks. Ada yang Islam, Kristen, Katolik, dan lainnya. Orang keturunan di Indonesia yang menganut Yahudi ortodoks cuma 200 orang.”
Menurut data YECI, mayoritas Yahudi di Indonesia adalah keturunan dari negara-negara Islam seperti dari Irak, Afganistan dan Yaman.
Mereka berasal dari beragam profesi dan latar belakang. Bahkan, tak sedikit artis dan sosok populer yang berdarah Yahudi.
Salah satunya adalah musikus yang kekinian banting setir menjadi pengurut partai politik besar. Tapi, orang tersebut beragama Islam.
Selain itu, ada pula pengusaha jam mewah yang menjadi suami dari artis penyanyi beken Indonesia.
Salah seorang sumber Suara.com dari komunitas Yahudi menyebut, pengusaha jam mewah itu kerap hadir dalam setiap perayaan hari raya Yahudi seperti Pesach di Sinagoge Singapura.
Karenanya, pernikahan pengusaha itu dengan penyanyi beken sempat membuat heboh komunitas Yahudi di Singapura.
Sebab, seorang Yahudi penganut Yudaisme ortodoks tidak boleh menikah di luar komunitas mereka.
“Artis-artis Indonesia yang keturunan Yahudi di Indonesia sebenarnya banyak, tapi memang mereka bukan penganut Yudaisme,” tuturnya.
“Meski begitu, banyak dari mereka yang 100 persen Yahudi, karena keturunan Ibu. Ada teman saya yang artis, dia keturunan Yahudi dari Irak.”
Tak ada syiar
ELISHEVA menerangkan, dalam ajaran Yudaisme, semua manusia pada akhirnya akan masuk surga. Tanpa menganut Judaisme pun, semua manusia bakal masuk surga.
Sama seperti agama tradisi Abrahamik yang lebih muda—Kristen dan Islam—Yudaisme meyakini Tuhan maha esa. Tuhan tidak melihat apa agamanya, namun hati dan akhlaknya.
Karenanya, dalam Yudaisme tak ada syiar atau misi untuk mengajak pemeluk kepercayaan lain berpindah keyakinan.
Bahkan, rabi atau pemuka agama mereka, melarang orang yang bukan keturunan Yahudi untuk berpindah agama menganut Yudaisme.
“Jadi, ya salah kalau ada yang bilang mengkhawatirkan Yudaisme bakal berkembang di Indonesia. Yudaisme adalah agama eksklusif bagi keturunan Yahudi,” tegas Eli.
Penganut Yudaisme memercayai Tuhan maha adil bagi semua umat manusia. Itu sebabnya rabi mereka kerap menolak orang yang bukan keturunan Yahudi untuk memeluk Yudaisme.
“Tapi ada orang yang ngotot sekali untuk memeluk agama Yahudi. Dulu pernah ada orang China di Singapura ingin convert. Tapi butuh waktu 10 tahun untuk meyakinkan rabi-nya agar dia bisa ikut agama Yahudi,” kata dia.
Bagi orang Yahudi sendiri, terdapat budaya malu atas “ke-Yahudi-annya” kalau sikap mereka bertentangan dengan 10 perintah Tuhan.
“Misalnya, bagi kami sendiri, buat apa menjadi Yahudi dan menganut Yudaisme kalau hatinya busuk, mencuri uang rakyat,” tuturnya.
Eli lantas menjelaskan, ada dua jenis Yahudi, yakni ortodoks dan reformis alias liberal. Kaum Yahudi ortodoks menjalani keimanan dan peribadatan secara ketat. Sebaliknya, Yahudi liberal lebih santai dan bebas dalam ibadah.
Misalnya, Yahudi ortodoks tidak bisa menikah dengan orang di luar komunitas mereka, sedangkan Yahudi liberal lebih bebas, bisa menikah dengan orang dari agama apa saja.
“Nah, anehnya di Indonesia, banyak orang yang mengaku-ngaku keturunan Yahudi. Kaum ortodoks sangat ketat, kami memunyai data terpusat. Jadi, jika ada yang mengaku Yahudi, mudah dicek,” tuturnya.
Selain itu, untuk memeluk agama Yudaisme juga tak gampang, baik bagi keturunan Yahudi apalagi yang sama sekali tak memunyai silsilah darah.
“Orang yang dianggap 100 persen Yahudi itu kalau dia punya darah dari ibu. Sedangkan keturunan dari ayah, dianggap sudah terputus,” jelasnya.
Nah, bagi keturunan Yahudi yang terputus tersebut, kalau ingin kembali memeluk Yudaisme, harus mengajukan permohonan ke pengadilan agama mereka.
“Pengadilan agama Yudaisme yang terdekat ada di Sidney Australia atau AS,” ungkapnya.
Meski terbilang ketat, ada pula orang-orang yang bukan keturunan Yahudi maupun keturunan dari pihak ayah (terputus) tapi tetap melakukan tata cara agama Yudaisme.
“Orang-orang yang begitu disebut Bnei Noah. Dia mengikuti tata cara doa, hukum-hukum Yahudi. Di Jakarta, banyak orang Bnei Noah,” jelasnya.
Bnei Noah atau bahasa Indonesianya adalah Bani Nuh, yakni orang-orang yang mengakui dan menjalankan 7 perintah Tuhan kepada Nabi Nuh. Karenanya, mereka juga mengakui dan mau menjalankan 10 perintah Tuhan yang menjadi dasar Yudaisme.
Menutup lingkaran
“ELI sudah pergi untuk menetap di Yerusalem sejak awal tahun 2020,” kata seorang pengajar bahasa Ibrani di Jakarta kepada saya, Juli 2022.
Saya baru mengerti kenapa Eli memutuskan untuk melakukan aliyah atau kembali ke Yerusalem. Selain karena perintah kepercayaannya, sejumlah pernyataannya tiga tahun silam membuat saya memahami, betapa sulitnya menjadi Yahudi ortodoks kalau masih di Indonesia.
“Hampir tidak bisa menjadi Yahudi ortodoks di Indonesia,” keluh Eli kala itu.
Makanan mereka harus halal atau kosher. Bagi Yahudi ortodoks yang sudah mempunyai anak juga akan kesulitan. Sebab, tak ada satu pun sekolah formal yang mengajarkan Yudaisme.
Untuk menikah pun susah. Setiap Yahudi ortodoks harus menikah di sinagoge. Sementara tak semua Yahudi ortodoks di Jakarta atau daerah lain Indonesia yang mempunyai uang cukup untuk menikah di luar negeri.
“Jadi minoritas di sini susah, karena di-kotak-kotak-kan. Ada departemen khusus di Kementerian Agama untuk agama tertentu, nah untuk Yahudi departemennya mana, enggak tahu,” keluhnya kala itu.
Saya juga teringat Eli sempat mengatakan, dengan kembali menganut Yudaisme ortodoks, ia seperti menemukan jati dirinya yang selama ini hilang.
“Ayahku beragam Islam. Ibu Kristen. Tapi mereka membebaskan aku dan adik untuk memilih agama masing-masing saat dewasa,” kata perempuan itu tiga tahun silam.
Eli kecil mengikuti agama ibunya. Sementara sang adik, karena lebih dekat dengan ayah, beragama Islam.
Kala dewasa, Eli melacak jejak nenek moyangnya hingga melakukan tes DNA. Dia penasaran, karena ayah pernah bercerita nenek moyang mereka adalah perempuan keturuhan Yahudi dari Eropa Timur.
“Dari Polandia kata ayah. Saat memutuskan tinggal di Indonesia, nenek moyang saya dari pihak ayah menikah dengan salah satu kiai Cirebon.”
Ibunda Eli juga berdarah Yahudi beragama Kristen dari keturunan Yaman.
“Pernah dipersoalkan di keluarga sewaktu memilih Yahudi ortodoks mbak?” tanya saya penasaran.
“Tidak. Karena aku menjelaskan kepada mereka, bagaimana perjalanan spiritual hingga kembali ke Yahudi ortodoks.”
Eli baru mendapat hasil tes DNA bahwa di dalam dirinya mengalir darah Yahudi pada 2007. Selang tiga tahun, 2010, Eli mulai serius mendalami ajaran Yudaisme.
“Tahun 2014, aku baru resmi menjadi Yahudi ortodoks.”
Tak hanya Eli, sang adik juga mengikuti jejaknya, kembali memeluk ajaran Yahudi ortodoks. Mereka merasa hal itu adalah keniscayaan sejarah.
Sebab, saat riset lebih dalam, ternyata nenek buyut dari ayah dan Elisheva mempunyai tanggal lahir berbarengan.
"Kupikir ini closing the circle. Jadi saya merasa harus kembali, untuk menutup lingkaran itu.”