Suara.com - Pekan ini Uzbekistan menjadi tuan rumah para delegasi dari lebih dari 20 negara dan organisasi-organisasi internasional dalam sebuah konferensi mengenai Afghanistan, di mana utusan-utusan dari pemerintahan Taliban yang menguasai negara yang dilanda perang itu, serta utusan-utusan dari AS, menjadi pesertanya.
Konferensi internasional yang diselenggarakan selama dua hari – Senin dan Rabu – di ibu kota Uzbekistan, Tashkent, itu diselenggarakan ketika Taliban bersiap menandai satu tahun pemerintahannya di Afghanistan. Meski demikian, belum ada negara yang mengakui pemerintahan garis keras kelompok tersebut, yang hanya berisi pejabat laki-laki, akibat masalah hak asasi manusia dan terorisme yang melilitnya.
“Tujuan utama konferensi ini yaitu untuk menggabungkan seluruh upaya internasional untuk mencegah krisis kemanusiaan di Afghanistan dengan memberikan bantuan darurat yang efektif kepada rakyat Afghanistan dan mengambil langkah-langkah politis dan ekonomi di tingkat internasional,” kata Javlon Vakhabov, duta besar Uzbekistan untuk AS, kepada VOA.
“Tujuan lainnya adalah membangun dialog yang efektif dari komunitas internasional serta mengembangkan posisi terkonsolidasi dalam perang melawan terorisme internasional,” kata Vakhabov.
Baca Juga: Misi Rahasia untuk Menyelamatkan Orang-orang LGBT dari Ancaman Taliban
Diplomat itu menekankan bahwa Uzbekistan saat ini tidak berniat mengakui Taiban dan bahwa “fokus utama” konferensi di Tashkent “adalah tentang pemulihan ekonomi Afghansitan.”
Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi memimpin delegasi Taliban dalam konferensi itu.
Sementara AS sendiri dipimpin Thomas West, utusan khusus untuk Afghanistan, yang akan didampingi oleh Rina Amiri, utusan khusus untuk masalah perempuan, anak perempuan dan HAM Afghanistan, menurut pernyataan Departemen Luar Negeri AS.
Deplu AS mengatakan, delegasi Amerika akan bergabung dengan komunitas internasional di konferensi itu untuk menggarisbawahi dukungan “tak tergoyahkan” Washington bagi rakyat Afghanistan dan untuk menyerukan kepada Taliban agar memenuhi komitmen mereka.
“Komunitas internasional berkomitmen untuk Afghanistan yang stabil, damai dan inklusif, yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar seluruh warga Afghanistan – termasuk perempuan dan komunitas etnis dan agama – dan yang mencegah ancaman teroris dari tanah Afghanistan,” kata pernyataan AS.
Amerika Serikat menambahkan dalam pernyataannya bahwa konferensi itu akan dilanjutkan dengan perundingan langsung antara delegasi Taliban dan AS yang dijadwalkan pada hari Rabu (27/7) “untuk mengatasi tantangan ekonomi yang dihadapi rakyat Afghanistan.”
Brian Nelson, wakil menteri keuangan bidang terorisme dan intelijen keuangan, akan ikut serta dalam pertemuan itu.
Negosiasi antara AS dan Taliban terutama akan berfokus pada cara untuk mengizinkan Taliban menggunakan dana beku sebesar $7 miliar yang disimpan di AS untuk membantu membangkitkan perekonomian Afghanistan dan membantu negara itu mengatasi krisis kelaparan akibat peperangan dan kekeringan yang terjadi terus-menerus selama bertahun-tahun.
Presiden AS Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif Februari lalu untuk mencairkan separuh dana beku tersebut untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan. Sisanya akan ditahan untuk digunakan dalam gugatan hukum terkait terorisme terhadap Taliban, yang sedang berlangsung di pengadilan AS.
Washington mengatakan pihaknya “berusaha membantu menemukan mekanisme yang tepat, yang dapat berfungsi sebagai pengelola dana $3,5 miliar yang disisihkan oleh Presiden Biden.” Akan tetapi, Taliban menuntut agar seluruh uang itu diserahkan, karena uang itu milik Afghanistan.
“Pembatasan Taliban terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan Afghanistan yang sudah berlaku dan semakin luas merupakan fokus utama
komunikasi pejabat AS dengan Taliban,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam pertemuan selama dua hari di Qatar bulan lalu.
Kelompok Islamis itu merebut kembali kekuasaan Afghanistan pada 15 Agustus 2021, ketika pemerintah Afghanistan yang didukung Barat runtuh dan pasukan asing yang dipimpin AS menarik diri dari negara itu setelah hampir 20 tahun berperang melawan Taliban.
Sejak itu, Taliban secara signifikan mencabut hak-hak perempuan untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan, serta melarang sebagian besar remaja putri untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah mereka. Kelompok itu mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut sejalan dengan budaya Afghanistan dan hukum syariah. Perempuan yang bekerja di sektor publik diminta untuk tetap di rumah, kecuali mereka yang bekerja di kementerian pendidikan, kesehatan dan beberapa kementerian lainnya. (Sumber: VOA)