Suara.com - "Mereka bilang, mereka akan mencari orang-orang LGBT. Mereka punya nama-nama, mereka punya alamat-alamat, mereka mencari di rumah-rumah, mencegat orang di jalan-jalan."
Ali, bukan nama sebenarnya, telah menghabiskan sepanjang hidupnya dalam kewaspadaan. Jika pihak berwenang di negaranya, Afghanistan, mengetahui bahwa dia biseksual, dia bisa ditahan dan diseret ke pengadilan.
Namun ketika Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan negara itu setahun lalu, dia tahu bahwa dia harus hengkang dari sana. Di bawah pemahaman hukum syariat oleh Taliban, homoseksualitas bisa dihukum mati.
Dalam semalam setelah pergantian kekuasaan itu, orang-orang seperti Ali diburu secara aktif.
Baca Juga: Penyataan Menteri Prancis Soal LGBT Picu Kemarahan, Bikin Posisi Macron Tertekan
"Mereka tidak seprimitif yang orang sangka. Mereka bisa meretas telepon, mereka bisa melihat-lihat semua pesan Anda. Bahkan hal sesederhana sebuah lagu saja bisa membuat Anda dalam masalah," kata dia.
Tak lama setelah Taliban berkuasa, Ali dan sekitar 30 orang lainnya dievakuasi dalam misi rahasia, yang dilakukan oleh pemerintah Inggris bersama sejumlah organisasi amal, yang sekarang detailnya dapat diungkap oleh BBC untuk pertama kalinya.
Saat Taliban mulai mengambil alih kekuasaan, Bella, seorang guru dari Afghanistan yang selama hidupnya menyembunyikan jati diri sebagai transgender, kelabakan mencari cara untuk keluar dari negaranya.
"Mungkin Taliban akan merajam saya dengan batu hingga saya mati, atau membakar saya, mungkin menggantung saya atau [mendorong] saya dari gedung tinggi," katanya.
Dia kemudian menghubungi Rainbow Railroad, organisasi Kanada yang membantu orang-orang LGBT+ melarikan diri dari persekusi.
Baca Juga: Film Lokal Indonesia yang Angkat Tema LGBT
Namun dengan kantor-kantor kedutaan besar yang terpaksa tutup dan kekacauan luar biasa di jalanan, rencana untuk menyelamatkan Bella butuh waktu hingga beberapa pekan.
Misi ini semakin berkejaran dengan waktu. Rainbow Railroad, yang bekerja bersama badan amal Inggris dan Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO) berusaha menerbangkan orang-orang LGBT+ dengan penerbangan terakhir dari Kabul.
Baca juga:
- LGBT di Afghanistan: 'Saya bisa dibunuh di tempat'
- 'Mereka akan membunuh saya', warga Afghanistan yang putus asa mencari jalan keluar setelah Taliban berkuasa
- 'Saya tak pernah bahagia': kisah kaum LGBT yang dipaksa menikah
Bella menghabiskan hari-hari itu di dalam rumah, hanya keluar saat hendak mencari makanan, sampai dia mendapat kabar bahwa ada tempat baginya di pesawat untuk evakuasi.
Dengan hanya membawa sepasang pakaian di tas, paspor, dan alasan bahwa dia harus ke luar negeri untuk berobat, Bella berangkat ke bandara. Dia tahu, untuk keluar dari rumah adalah "risiko sangat besar", tapi tetap berada di Afghanistan berarti "100% menghadapi kematian", kata dia.
Di bandara, Taliban memeriksanya berulang kali.
"Suasananya sangat dingin, sangat menakutkan, dan sangat membuat saya tertekan," ujar Bella.
Saat pesawat akhirnya lepas landas, Bella mengaku lega namun khawatir akan anggota keluarganya yang ditinggalkan di Afghanistan.
Dia juga merasa sangat kesepian, terutama karena dia masih merahasiakan identitas gendernya. Tapi di pesawat itu, ada beberapa orang lain yang berada di situasi sepertinya.
Pada saat itu, mereka tidak saling kenal dan mereka tidak tahu di negara mana mereka akhirnya akan bermukim.
Ahmed, juga bukan nama sebenarnya, terbang di pesawat yang sama dengan Bella. Dia adalah seorang gay.
"Semua orang putus asa untuk mencari cara keluar dari Afghanistan karena itu satu-satunya kesempatan untuk tetap hidup," kata mantan aktivis untuk anak muda itu.
Ahmed mengingat bagaimana dia mendengar orang-orang "berlomba-lomba" ke bandara, tapi dia sendiri mulanya takut untuk ikut serta.
"Saya bersembunyi di sebuah kamar sempit di rumah kemudian saya mengetahui di luar sana ada organisasi yang membantu orang-orang LGBTQ."
Setelah berhasil mendapatkan informasi tambahan dari internet, dia menghubungi mereka dan mendapatkan tempat di pesawat untuk evakuasi. Baru di sinilah dia menyadari, ada orang-orang lain sepertinya di Afghanistan.
"Semua orang sangat syok dan ketakutan, tapi kemudian seperti radar gay - kami mulai mengetahui siapa saja yang gay di dalam pesawat."
Christian Turner, Komisioner Tinggi Inggris untuk Pakistan dan salah satu diplomat yang terlibat dalam misi ini berkata, "Sangat jelas ketika kita melihat bagaimana semua terjadi di Kabul pada Agustus, bahwa kami harus membantu mereka yang memiliki risiko tinggi.
"Momen-momen di perjalanan seperti ini selalu membuat khawatir, apakah mereka akan bisa melaluinya, apakah mereka bisa melewati otoritas untuk bisa terbang keluar dari perbatasan? Mereka pasti sangat ketakutan dan trauma."
Sejumlah anggota parlemen di Inggris mengatakan penarikan operasi negara itu dari Afghanistan sebagai bencana, karena gagal memprioritaskan kelompok-kelompok yang paling rentan hingga telah terlambat.
Namun di luar itu, Inggris adalah negara pertama di dunia yang menawarkan program evakuasi khusus untuk orang-orang LGBT+. Keputusan ini diambil setelah pertemuan dengan badan amal seperti Stonewall, yang kebanjiran permintaan pertolongan.
FCDO mengatakan mereka telah melakukan "peninjauan yang menyeluruh" terhadap apa yang dapat dipelajari dari penarikan pasukan dan membuat "sistem baru untuk menjaga korespondensi dan meningkatkan pengawasan senior" untuk respons operasional dan diplomatik mereka.
Setelah meninggalkan Afghanistan, Bella, Ali, Ahmed, dan yang lainnya ditampung di negara lain sementara menunggu surat-surat mereka diproses untuk ke Inggris. Rute pasti mereka tidak diumumkan untuk alasan keamanan.
Saat tiba di Inggris, mereka harus dikarantina di hotel, namun pada akhirnya diperbolehkan bertemu dengan orang-orang yang menyelamatkan hidup mereka.
Micro Rainbow, badan amal yang mengelola rumah-rumah aman di Inggris untuk orang-orang LGBTQ+ yang berisiko dipersekusi, bertugas untuk membantu mereka menetap di Inggris. Mereka mengadakan loka karya tentang bagaimana hidup di Inggris, pendidikan kesehatan seksual, dan dukungan kesehatan mental.
Bella mengingat saat bertemu dengan manajer nasional badan amal itu, Moud Goba.
"Saya berkata, 'Hai, nama saya Bella.' Itu adalah kali pertama saya menyebutkan nama saya."
"Saya sangat terkesan dengan keberaniannya menjadi diri sendiri dan sekarang mulai menikmati kemerdekaannya," ujar Moud.
Sebastian Rocca, pendiri dan CEO Micro Rainbow mengatakan, walaupun pindah ke Inggris adalah "langkah maju" namun pengungsi LGBT+ juga dapat mengalami gegar budaya dan stress yang berkepanjangan.
Setelah menghabiskan beberapa bulan tinggal di hotel, Bella kini diberikan tempat tinggal di Brighton, di mana dia tinggal di apartemen satu-kamar.
Selain tempat tinggal, dua juga menerima sekitar biaya hidup sekitar £80 atau Rp1,4 juta per minggu. Dia menjadi relawan sosial sambil mencari pekerjaan.
Setelah menyembunyikan identitasnya dan hidup dalam ketakutan begitu lama, Bella mengaku sulit bagi dirinya untuk bergabung dengan komunitas LGBT+ di Brighton.
"Saya sangat kesepian," kata dia.
"Sesuatu di dalam diri saya terbus berkata, 'jangan percaya, jangan terima'... ada kalanya saya berhari-hari tidak bicara dengan seorang pun."
Namun dia mencoba untuk tetap positif.
"Kesepian ini hanya sementara. Jika saya bersabar, saya pasti bisa melaluinya. Saya harap di masa depan, saya bisa menerima masa lalu saya dan memiliki banyak teman."
Bagi yang lain, rintangan yang harus mereka hadapi sebelum berbaur dengan masyarakat di Inggris adalah fakta bahwa mereka masih tinggal di hotel.
Ahmed mencoba untuk keluar dari kamarnya sesering yang dia bisa, untuk pergi ke kampus dan belajar bahasa Inggris, atau mencari pekerjaan supaya bisa membiayai apartemennya sendiri.
"Rumah adalah tempat di mana seseorang merasa aman, jadi sekarang saya bisa bilang hotel itu rumah. Tapi saya sangat ingin bisa menemukan pekerjaan yang layak dan apartemen atau rumah, sehingga saya bisa memulai hidup di sini," kata dia.
"Kamar hotel terasa sementara."
Meskipun dia bersyukur atas hidup baru ini, Ali khawatir beberapa orang akan mengkritik dukungan yang didapatkannya dari pemerintah Inggris, di saat masyarakat Inggris sendiri masih banyak yang sangat membutuhkan bantuan tempat tinggal.
"Masalah perumahan atau masalah-masalah lain dapat dipecahkan, tapi masalah kami tidak, karena Taliban tidak dapat diajak negosiasi," katanya.
"Kami punya kehidupan di Afghanistan, semua orang punya rumah, punya mobil. Semuanya punya kehidupan - tapi kami bisa dibunuh."
Dia bertekad untuk "berbuat sesuatu dengan hidupnya" di Inggris, meskipun merasa bahwa trauma ini "akan terus dirasakannya" selamanya.
"Di Afghanistan, saya merasa berada di dalam sebuah kotak. Itu sangat klaustrofobik.
"Tapi sekarang, akhirnya saya bisa bernapas dengan bebas."
BBC telah menghubungi Taliban untuk meminta komentar, tetapi mereka tidak merespons permintaan kami.
---
Nama Ali dan Ahmed telah diubah untuk melindungi identitas mereka.