Suara.com - Debt collector yang sedang beroperasi di wilayah Cengkareng diamankan polisi, baru-baru ini.
Di Indonesia, debt collector dikenal sebagai pihak ketiga yang dipekerjakan perusahaan tertentu untuk menagih utang.
Otoritas Jasa Keuangan telah meminta debt collector selalu membawa dokumen resmi saat menagih cicilan atau utang kepada debitur agar citra industri pembiayaan lebih baik.
Baru-baru ini, polisi Cengkareng mengamankan enam debt collector yang sedang beroperasi di Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, dan wilayah Kapuk.
Baca Juga: Fokus Layani UKM, Bank Universal BPR Tunjuk Susatyo Anto Budiyono sebagai Direktur Utama
Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cengkareng AKP Ali Barokah mengatakan penindakan dilakukan karena polisi sering menerima laporan masyarakat yang mengeluhkan tindakan debt collector.
“Banyak laporan dari masyarakat yang menyatakan telah dirampas di jalan oleh oknum-oknum matel (mata elang atau istilah lain dari debt collector),” kata Ali di Cengkreng, Senin (25/7/2022).
Di antara keenam debt collector itu, kata Ali, sebelumnya sudah pernah diamankan polisi dalam kasus yang sama.
Harus membawa dokumen resmi
OJK meminta debt collector menunjukkan dokumen resmi ketika menagih cicilan atau utang kepada debitur agar citra industri pembiayaan lebih baik.
Baca Juga: Perkembangan Teknologi ,Tantangan Sertifat Tanah Berbasis Elektronik Blockhain
“Dalam pelaksanaan penagihan kendaraan, perusahaan harus memastikan bahwa petugas penagih telah dibekali beberapa dokumen,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank merangkap anggota Dewan Komisioner OJK Riswinandi Idris dalam laporan Antara.
Riswinandi menyampaikan sejumlah dokumen yang harus selalu dibawa debt collector adalah kartu identitas, sertifikat profesi, surat tugas, dan bukti jaminan fidusia.
“Dokumen tersebut harus senantiasa di bawah dan digunakan untuk memperkuat aspek legalitas atau hukum ketika upaya penarikan ini dilakukan,” ujarnya.
Ia tak menampik bahwa debt collector memiliki citra yang kurang baik di mata masyarakat karena sering melakukan penagihan dengan cara-cara yang tak sesuai dengan standar operasional, bahkan menggunakan kekerasan.
Meskipun pemerintah melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan memperbolehkan perusahaan pembiayaan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga untuk menagih pembiayaan, perusahaan pembiayaan sebagai pihak kreditur harus senantiasa melakukan evaluasi atas kebijakan dan prosedur penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
“Jika memang diperlukan, perusahaan pembiayaan boleh memberikan sanksi tegas kepada pihak ketiga yang melanggar peraturan,” kata dia.
Selain itu ia mengingatkan agar perusahaan pembiayaan mengirimkan surat peringatan terlebih dahulu kepada debitur sebelum melakukan penagihan.
Ia juga mengimbau debt collector menghindari aspek-aspek yang berpotensi menimbulkan risiko hukum saat proses penarikan, di antaranya menggunakan ancaman, tindakan yang bersifat memalukan dan penggunaan tekanan secara fisik dan verbal.
“Jika hal tersebut dilakukan tentu ada potensi hukum pidana maupun sosial dan stigma negatif dari masyarakat terhadap industri dan pembiayaan khususnya,” tuturnya. [rangkuman laporan Suara.com]