Suara.com - Sejumlah serdadu militer Myanmar mengaku telah membunuh, menyiksa, dan memerkosa warga sipil dalam wawancara eksklusif dengan BBC. Untuk pertama kalinya, serdadu-serdadu ini memberi penjelasan rinci tentang berbagai pelanggaran HAM yang mereka sebut diperintahkan dari atasan.
Peringatan: Artikel ini memuat rincian soal kekerasan seksual dan penyiksaan.
"Mereka memerintah saya untuk menyiksa, menjarah, dan membunuh orang tidak bersalah."
Maung Oo menyangka dirinya direkrut militer Myanmar untuk bertugas sebagai penjaga.
Baca Juga: Kedubes Australia Habiskan Rp7,5 Miliar Sewa Hotel yang Terkait dengan Junta Militer Myanmar
Akan tetapi, dia justru menjadi bagian dari batalion yang membunuh sejumlah warga sipil yang bersembunyi di sebuah biara pada Mei 2022.
"Kami diperintah mengumpulkan semua pria dan menembak mati mereka. Yang paling menyedihkan adalah kami harus membunuh orang lansia dan seorang perempuan."
Pengakuan enam serdadu, termasuk seorang kopral, ditambah sejumlah korban mereka memberikan pemahaman yang langka tentang bagaimana militer Myanmar berupaya mempertahankan kekuasaan.
Semua nama dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas mereka.
Baca juga:
Baca Juga: Ekonomi Myanmar dan Laos Terancam Bangkrut, Indonesia Diminta Persiapkan Cadangan Devisa
- Setahun kudeta, banyak tentara Myanmar membelot dari junta militer
- Mengapa militer Myanmar begitu brutal dengan rakyat sendiri, termasuk Muslim Rohingya?
- Setahun kudeta militer, warga sipil Myanmar angkat senjata, berlanjut ke 'perang saudara'
Para serdadu yang baru-baru ini membelot, berada dalam perlindungan sebuah unit Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF), sebuah jaringan kelompok milisi sipil yang berjuang untuk mengembalikan demokrasi.
Militer merebut kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, tahun lalu. Kini, militer berupaya menumpas pemberontakan bersenjata warga sipil.
Pada 20 Desember tahun lalu, tiga helikopter mengitari Desa Yae Myet di Myanmar bagian tengah guna menerjunkan sejumlah serdadu. Mereka diperintahkan melepas tembakan.
Setidaknya lima orang berbeda, yang berbicara terpisah satu sama lain, memberitahu BBC apa yang terjadi saat itu. Menurut mereka, militer mengerahkan tiga regu berbeda. Setiap regu menembak pria, perempuan, dan anak-anak tanpa pandang bulu.
"Saat itu perintahnya adalah tembak apapun yang kamu lihat," kata Kopral Aung di sebuah lokasi rahasia di hutan terpencil Myanmar.
Dia menuturkan bahwa beberapa orang bersembunyi di lokasi yang mereka kira tempat aman. Namun, ketika serdadu mendekat, mereka "mulai berlari dan kami menembaki mereka".
Kopral Aung mengaku regunya menembak dan menguburkan lima pria.
"Kami juga diperintahkan membakar setiap rumah bagus dan layak di desa," tuturnya.
Para prajurit berkeliling di sekitar desa sembari membakar rumah-rumah dan berteriak, "Bakar! Bakar!"
Kopral Aung membakar empat bangunan. Mereka yang diwawancara mengaku total sekitar 60 rumah yang dibakar.
Sebagian besar penduduk desa telah kabur, tapi tidak semuanya. Sebuah rumah di tengah desa tidak dihuni.
Thiha mengaku dirinya bergabung dengan militer, lima bulan sebelum penggerebekan terjadi.
Seperti banyak prajurit lainnya, dia direkrut dari masyarakat dan mengaku belum mendapat pelatihan. Kalangan setempat menyebut para rekrutan baru ini Anghar-Sit-Thar atau "tentara bayaran".
Pada saat itu dia dibayar dengan upah yang layak, sebesar 200.000 Khat Myanmar atau sekitar Rp1,6 juta per bulan. Thiha mengingat dengan jelas apa yang terjadi di rumah itu.
Dia menyaksikan seorang gadi remaja dikerangkeng di balik jeruji besi, di rumah yang akan dibakar.
"Saya tidak bisa lupa teriakannya, saya masih bisa mendengarnya di telinga saya dan mengenangnya di dalam hati," papar Thiha.
Ketika dia mengadu kepada kaptennya, dia menjawab, "Saya sudah bilang ke kamu, bunuh semua yang kita lihat".
Mendengar itu, Thiha menembakkan percikan api ke dalam rumah.
Kopral Aung juga berada di sana dan mendengar tangisan gadis remaja tersebut saat dia dibakar hidup-hidup.
"Menyayat hati saat mendengarnya. Kami mendengar suara dia berulang kali selama sekitar 15 menit saat rumah itu dilalap api," kenang Kopral Aung.
Baca juga:
- 'Disiksa sampai meninggal dunia', pembunuhan massal terhadap warga sipil oleh militer Myanmar terungkap
- Kisah aktivis perempuan Myanmar jadi korban kekerasan seksual di tahanan setelah protes anti-kudeta
BBC kemudian melacak keluarga gadis remaja tersebut. Salah satu kerabatnya, U Myint, menjelaskan bahwa gadis itu mengalami gangguan jiwa dan ditinggal di rumah selagi orang tuanya bekerja.
"Dia mencoba untuk kabur tapi mereka menghentikannya dan membiarkan dia terbakar," kata U Myint di depan puing-puing rumah tersebut.
Gadis itu bukan satu-satunya perempuan yang menderita di tangan para serdadu ini.
Thiha mengaku bergabung dengan militer untuk memperoleh uang, namun dirinya terkejut dengan tindakan yang terpaksa dia lakukan dan kekejian yang dia saksikan.
Dia lantas memaparkan nasib sekelompok perempuan muda yang mereka tangkap di Yae Myet.
Seorang perwira, sebagaimana dikenang Thiha, menyerahkan perempuan-perempuan ini kepada bawahannya dan berkata, "Lakukan yang kalian inginkan."
Menurut Thiha, para serdadu memerkosa perempuan-perempuan muda tersebut. Namun, dia mengaku tidak ikut-ikutan.
Kami melacak keberadaan perempuan-perempuan itu dan menemui dua di antara mereka.
Pa Pa dan Khin Htwe mengatakan mereka berjumpa dengan sekelompok serdadu selagi berusaha kabur. Para perempuan ini bukan berasal dari Yae Myet. Mereka ke sana untuk mendatangi seorang penjahit.
Walau berkeras bukan anggota PDF atau dari Yae Met, mereka ditahan di sebuah sekolah selama tiga malam. Setiap malam mereka dilecehkan secara seksual berulang kali oleh sejumlah serdadu yang mabuk.
"Mereka menutup wajah saya dengan sarung dan mendorong saya sampai jatuh. Mereka melepaskan pakaian saya dan memerkosa saya. Saya berteriak saat mereka memerkosa saya," jelas Pa Pa.
Dia memohon agar serdadu-serdadu itu berhenti, tapi mereka memukuli kepalanya dan mengancamnya dengan todongan senjata api.
"Kami harus tunduk tanpa melawan karena kami takut akan dibunuh," kata Khin Htwe, adik Pa Pa, seraya terbata-bata.
Para perempuan ini terlalu takut melihat para pemerkosa dengan jelas, tapi mereka ingat melihat beberapa tidak memakai seragam dan sebagian lainnya mengenakan seragam militer.
"Saat mereka menangkap perempuan muda, mereka akan berkata, 'ini karena kamu mendukung PDF' saat mereka [memerkosa] perempuan-perempuan ini," jelas Thiha.
Sedikitnya 10 orang tewas akibat aksi kekerasan di Yae Myet dan delapan perempuan dilaporkan diperkosa dalam jangka waktu tiga hari.
Pembunuhan keji yang melibatkan Maung Oo selaku tentara bayaran, terjadi di Desa Ohake pho, wilayah Sagaing, pada 2 Mei 2022.
Baca juga:
- Mengapa pemrotes anti-kudeta militer di Myanmar kini memilih kekerasan?
- Tenaga kesehatan Myanmar bekerja secara sembunyi-sembunyi karena menentang rezim militer
Kesaksiannya mengenai tindakan rekan satu regunya dari Divisi Infantri ke-33, yang mengumpulkan dan menembak orang-orang di biara, klop dengan pengakuan saksi lainnya serta video pascakejadian yang didapat BBC.
Video itu memperlihatkan sembilan mayat dijajarkan. Seorang perempuan dan seorang pria beruban tampak dibaringkan bersebelahan. Mereka semua memakai kaos dan sarung.
Rentetan tayangan dalam video mengindikasikan mereka ditembak dari belakang dan jarak dekat.
Kami juga berbicara dengan sejumlah penduduk desa yang menyaksikan kekejian itu. Mereka mengenali jenazah perempuan yang tampak bersebelahan dengan jenazah seorang pria lansia.
Perempuan itu bernama Ma Moe Moe. Dia sedang menggendong anaknya dan membawa sebuah tas berisi sejumlah emas. Dia memohon kepada para serdadu untuk tidak mengambil barang miliknya.
"Meskipun ada anak yang sedang dia gendong, mereka menjarah barang miliknya dan menembaknya mati. Mereka juga membariskan [para pria] dan menembak satu per satu," kata Hla Hla, yang berada di lokasi kejadian, namun tidak dieksekusi.
Anak perempuan tersebut selamat dan kini dirawat oleh keluarganya.
Hla Hla mendengar para serdadu bicara menggunakan ponsel sembari membanggakan bahwa mereka telah membunuh delapan atau sembilan orang. Mereka, menurut Hla Hla, berkata "enak" membunuh orang dan menyebutnya "hari paling sukses sampai sekarang".
Dia mendengar para serdadu meninggalkan desa sembari berseru, "Menang! Menang!"
Seorang warga lain menyaksikan suaminya dibunuh.
"Mereka menembaknya pada bagian paha, lalu mereka menyuruh dia tengkurap dan menembak bokongnya. Akhirnya mereka menembaknya sampai tewas," kata perempuan itu.
Dia berkeras suaminya bukan anggota PDF.
"Dia benar-benar seorang petani lontar yang mencari nafkah secara tradisional. Saya punya putra dan putri dan saya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup."
Maung Oo mengaku menyesali tindakannya. "Jadi saya akan katakan kepada Anda semua. Saya ingin semua orang tahu supaya mereka terhindar bernasib sama."
Keenam serdadu yang berbicara kepada BBC mengaku membakar rumah-rumah dan desa di Myanmar tengah.
Hal ini mengindikasikan aksi tersebut adalah taktik terorganisir untuk menghancurkan dukungan kepada pemberontakan. Ini juga mengemuka ketika sejumlah kalangan menilai militer Myanmar kewalahan mempertahankan kekuasaan di sejumlah lini dalam perang sipil.
Myanmar Witness - sebuah kelompok berisi periset yang melacak pelanggaran HAM menggunakan sumber terbuka - telah memverifikasi lebih dari 200 laporan desa-desa dibakar dengan cara serupa selama 10 bulan terakhir.
Mereka mengatakan skala serangan pembakaran ini meningkat cepat, dari sedikitnya 40 serangan pada Januari dan Februari, hingga sedikitnya 66 insiden pada Maret dan April.
Ini bukan pertama kalinya militer Myanmar menggunakan taktik bumi hangus. Militer banyak dilaporkan menerapkan taktik tersebut terhadap komunitas Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017.
Kelompok-kelompok etnis di daerah pegunungan Myanmar mengalami serangan semacam ini selama berpuluh tahun.
Beberapa milisi etnis tersebut kini membantu melatih dan mempersenjatai PDF dalam perang sipil melawan militer.
Budaya impunitas yang membolehkan serdadu menjarah dan membunuh sekehendaknya, sebagaimana dipaparkan keenam serdadu, telah berlangsung selama berpuluh tahun, menurut organisasi Human Rights Watch.
Individu jarang dimintai pertanggungjawaban atas kekejian yang diduga dilakukan militer.
Namun militer Myanmar semakin sering harus mengupah serdadu dan milisi akibat desersi dan pembunuhan oleh PDF.
Sebanyak 10.000 orang telah membelot dari militer dan kepolisian sejak kudeta 2021, menurut kelompok People's Embrace bentukan mantan personel militer dan kepolisian.
Baca juga:
- Anak-anak muda di jantung protes Myanmar: 'Kami tak mau kembali ke masa gelap di bawah diktator'
- Kerajaan bisnis misterius dan menggurita yang mendanai militer Myanmar
"Militer kewalahan mempertahankan perang sipil yang berlangsung di berbagai lini," papar Michael Martin dari lembaga kajian Centre for Strategic and International Studies.
"Mereka mengalami masalah personel pada tingkatan perwira dan serdadu berpangkat rendah, militer didera korban banyak, masalah perekrutan, masalah mendapat peralatan dan suplai. Itu tercermin oleh fakta bahwa mereka tampak kehilangan wilayah atau kendali wilayah di berbagai bagian negeri."
Kawasan Magway dan Sagaing (tempat kejadian-kejadian di atas berlangsung) biasa menjadi wilayah perekrutan militer Myanmar. Namun, kaum muda di sana malah memilih bergabung dengan PDF.
Kopral Aung menegaskan mengapa dia membelot: "Jika saya menyangka militer akan menang dalam jangka panjang, saya tidak akan berpindah haluan ke rakyat."
Menurutnya, serdadu-serdadu militer Myamar tidak berani meninggalkan pangkalan sendirian karena khawatir bakal dibunuh PDF.
"Ke manapun kami pergi, kami hanya bisa pergi dengan membentuk barisan militer. Tiada yang bisa bilang kami mendominasi," ucapnya.
Kami mengajukan tuduhan-tuduhan dalam investigasi ini kepada Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara militer Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan, dia membantah militer menargetkan warga sipil. Dia mengatakan kedua penggerebekan yang disebut dalam investigasi adalah target sah dan mereka yang dibunuh adalah "teroris-teroris".
Dia membantah militer membakar desa-desa dan justru mengatakan bahwa PDF yang melakukan serangan pembakaran.
Sulit mengatakan bagaimana dan kapan perang sipil ini akan berakhir, tapi tampaknya jutaan warga sipil Myanmar akan mengalami trauma.
Dan semakin lama perdamaian terjadi, semakin banyak perempuan seperti korban pemerkosaan, Khin Htwe, akan rentan mengalami aksi kekerasan.
Dia mengaku tidak lagi ingin hidup setelah apa yang dia alami dan mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Dia tak mampu mengatakan kepada tunangannya, apa yang terjadi pada dirinya.