Suara.com - Pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari yang membolehkan kampanye di lingkungan kampus atau universitas dinilai keliru. Alih-alih menjadi wadah untuk menguji gagasan peserta pemilu, mahasiswa berpotensi sebagai pemandu sorak dalam konstelasi.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Blok Politik Pelajar (BPP) Delpedro Marhaen. Dengan tegas, ia menentang pernyataan Hasyim Asy'ari.
"Mahasiswa memiliki kapasitas sebagai penguji argumen bagi mereka, bukan digunakan untuk menjadi pemandu sorak dalam konstelasi. Dengan demikian, mahasiswa berhak mengusir dari kampus mereka yang tidak pernah berpihak kepada kepentingan warga," kata Pedro saat dihubungi Suara.com, Jumat (22/7/2022).
Pedro mengatakan, kondisi sejumlah universitas di Tanah Air sudah berada dalam genggaman kekuasaan. Sejumlah petinggi kampus disebutnya berafiliasi dengan kekuasaan.
Baca Juga: Pengamat: Capres 2024 Diperebutkan "Orang Baru", Bikin Partisipasi Pemilih Pemula Naik
"Dengan kondisi seperti ini, alih-alih kampus sebagai ruang untuk menguji pasang calon yang hendak maju justru akan digunakan sebagai karpet merah untuk menyediakan tempat mendulang suara mahasiswa, bahkan hingga ikatan alumni," ujarnya.
Pada kondisi itu, dinilainya sulit bagi mahasiswa untuk bersikap kritis, sebabi tidak menutup kemungkinan konsolidasi telah dilakukan.
"Jadi jika Ketua KPU berbicara kampus merupakan tempat pengembangan keilmuan untuk merumuskan kebijakan itu omong kosong. Toh, selama ini suara warga, khususnya akademisi dan mahasiswa tidak pernah didengar," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan, kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi sepanjang memenuhi sejumlah ketentuan.
"Boleh saja. Mahasiswa pemilih, dosen pemilih. Kenapa kampanye di kampus tidak boleh? Mestinya boleh," kata Hasyim usai menghadiri Sarasehan Kebangsaan di Universitas Brawijaya, Malang, Selasa (19/07/2022).
Kampanye di lingkungan kampus boleh dilakukan selama memberikan ruang yang sama bagi peserta pemilu lain, tambahnya.
Dalam pelaksanaan kampanye di lingkungan kampus, lanjutnya, ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi, termasuk memberikan kesempatan yang sama bagi peserta pemilu.
Dia mencontohkan, jika ada tiga orang calon yang melakukan kampanye, maka seluruh calon tersebut diberikan ruang yang sama untuk berkampanye di lingkungan kampus. Hal itu bisa dilakukan mengingat seluruh warga kampus merupakan pemilih.
"Asal diberikan kesempatan yang sama. Misal, calonnya ada tiga, ketiganya boleh masuk (berkampanye) di kampus. Kalau mau diadu debat, juga boleh," tambahnya.
Dia menambahkan masyarakat Indonesia cukup cerdas untuk melihat adanya unsur kampanye atau tidak pada saat peserta pemilu melakukan kunjungan kerja. Kampanye merupakan sarana untuk mempengaruhi seseorang untuk memilih, katanya.
"Rakyat kita sudah cerdas, mana yang kampanye, mana yang tidak, sudah tahu. Kampanye itu bicara soal visi dan misi, lalu ada ajakan untuk memilih. Jika hanya bicara visi misi dan tidak ada ajakan memilih, itu bukan kampanye," jelasnya.
Ia menilai kampus merupakan tempat pengembangan keilmuan, teknologi, dan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh partai politik untuk merumuskan sejumlah kebijakan inovatif demi pembangunan Indonesia.
"Mestinya partai politik menggandeng kampus untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang inovatif untuk pengembangan kemajuan bangsa, yang paling penting itu," tegas Pedro.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan, kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi sepanjang memenuhi sejumlah ketentuan.
"Boleh saja. Mahasiswa pemilih, dosen pemilih. Kenapa kampanye di kampus tidak boleh? Mestinya boleh," kata Hasyim usai menghadiri Sarasehan Kebangsaan di Universitas Brawijaya, Malang, Selasa (19/07/2022).
Kampanye di lingkungan kampus boleh dilakukan selama memberikan ruang yang sama bagi peserta pemilu lain, tambahnya. Dalam pelaksanaan kampanye di lingkungan kampus, lanjutnya, ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi, termasuk memberikan kesempatan yang sama bagi peserta pemilu.
Dia mencontohkan, jika ada tiga orang calon yang melakukan kampanye, maka seluruh calon tersebut diberikan ruang yang sama untuk berkampanye di lingkungan kampus. Hal itu bisa dilakukan mengingat seluruh warga kampus merupakan pemilih.
"Asal diberikan kesempatan yang sama. Misal, calonnya ada tiga, ketiganya boleh masuk (berkampanye) di kampus. Kalau mau diadu debat, juga boleh," tambahnya.
Dia menambahkan masyarakat Indonesia cukup cerdas untuk melihat adanya unsur kampanye atau tidak pada saat peserta pemilu melakukan kunjungan kerja. Kampanye merupakan sarana untuk mempengaruhi seseorang untuk memilih, katanya.
"Rakyat kita sudah cerdas, mana yang kampanye, mana yang tidak, sudah tahu. Kampanye itu bicara soal visi dan misi, lalu ada ajakan untuk memilih. Jika hanya bicara visi misi dan tidak ada ajakan memilih, itu bukan kampanye," jelasnya.
Ia menilai kampus merupakan tempat pengembangan keilmuan, teknologi, dan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh partai politik untuk merumuskan sejumlah kebijakan inovatif demi pembangunan Indonesia.
"Mestinya partai politik menggandeng kampus untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang inovatif untuk pengembangan kemajuan bangsa, yang paling penting itu," ujarnya.