Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kejaksaan Agung RI untuk membenahi proses penyidikan pelanggaran HAM Berat. Desakan itu merespons Hari Adhiyaksa 2022 yang mempunyai tema "Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi Nasional".
Pelanggaran HAM Berat yang diminta KontraS untuk dibenahi salah satunya adalah tragedi Paniai Berdarah 2014. Kasus itu saat ini telah dilimpahkan ke pengadilan.
"KontraS menyesalkan abainya Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti sejumlah catatan publik utamanya para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/7/2022).
KontraS mencatat ada sejumlah kejanggalan atas buruknya kualitas penyidikan Peristiwa Paniai. Pertama, Kejaksaan Agung RI hanya menetapkan satu satu orang terdakwa tunggal atas inisal IS.
Baca Juga: KontraS Ragukan Sejumlah Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM Lolos Seleksi Mahkamah Agung
Dalam kasus ini, IS didakwa bertanggung jawab secara hukum atas peristiwa Paniai. Padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran.
Fatia mengatakan, IS hanya dijadikan kambing hitam. Tidak hanya itu, pengadilan HAM atas tragedi Paniai hanya dijadikan bahan pencitraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja.
"Terdakwa IS hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia," ujar Fatia.
Kejanggalan kedua dalam catatan KontraS yakni Kejaksaan Agung RI tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel. Artinya, tidak melibatkan penyidik Ad Hoc -- yang dimungkinkan dengan diatur dalam Pasal 21 ayat 3 Undang-Undang 26 Tahun 2000.
Fatia menambahkan, Kejaksaan Agung RI juga tidak melibatkan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya. KontraS menilai, seharusnya ada koordinasi yang dibangun antara Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Baca Juga: Jelang 27 Juli, PDIP Minta Komnas HAM Dan Kejagung Ungkap Aktor Di Balik Peristiwa Kudatuli
Koordinasi dalam hal memberikan perlindungan dan juga memperjuangkan hak atas pemulihan baik rehabilitasi maupun restitusi atau kompensasi bagi para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai.
Fatia mengatakan, kondisi semacam itu menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat keseriusan, motif, dan profesionalitas Kejaksaan Agung di balik proses penyidikan tersebut. Dengan demikian, KontraS bahwa Jaksa Agung ST. Burhanudin dan jajarannya malah memundurkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Tanah Air.
"Kami berpandangan bahwa ST. Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung hari ini bukan hanya menciptakan stagnasi melainkan juga memundurkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia," jelas Fatia.
Untuk itu, KontraS mendesak:
- Presiden Jokowi untuk mengevaluasi dengan tegas kinerja Jaksa Agung ST. Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung yang membuat mundur situasi penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia.
- Komisi Kejaksaan Republik Indonesia untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dalam penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia.
- Kejaksaan Agung untuk membenahi proses penyidikan dengan menuntut pertanggungjawaban dari semua pelaku yang terlibat di Peristiwa Paniai. Kejaksaan Agung juga harus berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK untuk menegakkan hak para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai.