Suara.com - Bertepatan dengan Hari Adhyaksa ke-62, Komisi Untuk Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritisi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai. Pada peringatan Hari Adhyaksa 2022, Kejagung mengusung tema 'Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi Nasional.'
Kalimat 'Kepastian Hukum' menjadi sorotan KontraS, sebab hingga saat ini jumlah tersangka pelanggaran HAM Paniai masih berjumlah satu orang, yakni purnawirawan TNI berinisial IS.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menyebut, berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jumlah tersangka dalam kasus Pelanggaran HAM berat Paniai diduga lebih dari orang.
"Padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan, dan pelaku pembiaran," kata Rivanlee dalam keterangan tertulisnya kepada Suara.com, Jumat (22/7/2022).
Dia menjelaskan, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk kejahatan kemanusiaan dalam perbuatan pembunuhan (Pasal 9 huruf a ) dan penganiayaan (Pasal 9 huruf h) dalam dakwaan yang dilansir Kejaksaan Agung, namun hanya mengungkap satu terdakwa adalah bentuk ketidakmampuan, sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas dengan membawa siapapun aktor yang terlibat dalam Peristiwa Paniai yang menewaskan sedikitnya 4 orang dan 21 orang luka-luka.
KontraS menduga, satu orang yang ditetapkan tersangka hanya kambing hitam, dan sekaligus bahan pencitraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
"Terdakwa IS hanya dijadikan 'kambing hitam' dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia," tegas Rivanlee.
Selain itu, Kejagung tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel. Hal itu karena tidak melibatkan Penyidik Ad Hoc (dimungkinkan dengan diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU 26/2000) dan juga minim melibatkan para penyintas dan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya.
"Dalih Kejaksaan Agung yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Dr. Ketut Sumendana dalam satu wawancara dengan BBC Indonesia malah menunjukkan posisi Negara yang mengabaikan suara korban dan publik sejak peristiwa terjadi," kata Rivanlee.
Baca Juga: Lewat Surat Terbuka, KontraS Desak Jokowi Perbaikan Kinerja Penuntasan Kasus Paniai Berdarah
Kemudian, Kejagung belum memenuhi hak para korban, penyintas dan keluarga korban peristiwa Paniai. Dikatakan Rivanlee, koordinasi seharusnya dibangun antara Kejagung dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan dan juga memperjuangkan hak atas pemulihan baik rehabilitasi maupun restitusi atau kompensasi bagi para penyintas dan keluarga korban.