Kritik Sejumlah Pasal di Permenkominfo 5/2020, Elsam: Minim Pengawasan dan Potensi Penyalahgunaan Wewenang Tinggi

Jum'at, 22 Juli 2022 | 01:05 WIB
Kritik Sejumlah Pasal di Permenkominfo 5/2020, Elsam: Minim Pengawasan dan Potensi Penyalahgunaan Wewenang Tinggi
Peneliti ELSAM Alia Yofira (Bidik layar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alia Yofira menyoroti sejumlah pasal di Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika atau Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Alia mengatakan salah satu persoalan di Permenkominfo tersebut pengaturan tentang pemberian akses atas sistem elektronik dan atau data elektronik dengan dua tujuan, yaitu pengawasan dan penegakkan hukum pidana.

Di Pasal 21 ayat 1, PSE lingkup privat wajib memberikan akses atas sistem elektronik atau data elektronik kepada kementerian/lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara di Pasal 21 ayat 2 untuk penegakan hukum pidana, PSE lingkup privat wajib memberikan akses atas sistem elektronik atau data elektronik kepada aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum sesuai perundang-undangan berlaku.

Baca Juga: Kominfo Berikan Waktu Tambahan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang Belum Daftar

"Nah masalah di dua akses ini juga kurang lebih sama," ujar Alia dalam Media Briefing secara virtual, Kamis (21/7/2022).

Ia menilai definisi pasal pengawasan terhadap PSE privat sangat luas dan sangat karet. Pasal 21 ayat 1 menjelaskan pengawasan dilakukan sesuai perundangan. Namun sayangnya kata Alia legislasi utama terkait Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang komprehensif yakni RUU PDP belum disahkan.

Alia menyoroti soal mekanisme pengawasan PDP yang minim dan potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi. "Minimnya regulasi dan mekanisme pengawasan PDP menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi," ungkap Alia.

Ia menyebut jika nantinya otoritas PDP yang didirikan berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian dari kementerian/lembaga atau LPNK, otomatis pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri sehingga potensi abuse of power sangat tinggi.

"Tidak hanya kementerian/lembaga, aparat penegak hukum juga bisa minta akses terhadap sistem elektronik untuk pengawasan. Bertentangan dengan pasal 21 ayat 1 Pasal 22 ayat 1, malah mengatur bahwa pemberian akses terhadap sistem elektronik dan atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan tidak hanya diberikan kepada kementerian /lembaga namun juga untuk aparat penegak hukum," tutur Alia.

Baca Juga: Pakar IT UGM Menyebut Sanksi Pemblokiran Pelanggar Regulasi PSE Sudah Tepat

Alia menuturkan tak adanya kewajiban untuk meminta surat penetapan dari pengadilan negeri.

Di Pasal 23 ayat 1 mengatur bahwa akses terhadap sistem elektronik untuk 'pengawasan' disampaikan secara tertulis berdasarkan pada penilaian atas kepentingan pengawasan dan proporsionalitas serta legalitas. Selanjutnya perihal jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses.

Alia menjelaskan di Pasal 27 dan 31 mengatur bahwa PSE privat harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender.

Sehingga, kata dia, jangka waktu yang sangat sempit tersebut tak memberikan waktu yang cukup bagi PSE privat untuk menganalisa secara seksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang.

"Tidak ada mekanisme banding dan hak objek data untuk menerima notifikasi," tuturnya.

"Permenkominfo 5/2020 tidak membuka ruang bagi PSE privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk, pun hak-hak subjek data khususnya terkait hak atas notifikasi ketika datanya diminta untuk diakses oleh Kementerian lembaga dan atau aparat penegak hukum juga nihil," paparnya.

Tak hanya itu, ia menyoroti akses untuk penegakan hukum pidana diantaranya tak ada kewajiban mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri untuk akses terhadap data elektronik. Sedangkan pasal 32 hanya mengatur bahwa akses terhadap data elektronik oleh aparat penegak hukum untuk tidak pidana dengan ancaman pidana penjara paling 2 tahun, tidak ada persyarat untuk mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu.

Sedangkan untuk aset terhadap sistem elektronik, kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana 2 sampai 5 tahun.

"Pasal 33 mengatur bahwa akses terhadap sistem elektronik oleh aparat penegak hukum dilakukan bagi tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun, di bawah 5 tahun, tetapi tidak boleh di bawah 2 tahun sepanjang mendapatkan penetapan dari pengadilan negeri," ungkap Alia.

Terkait kewajiban mendapatkan surat penetapan pengadilan untuk akses konten komunikasi dalam penegakan hukum pidana, pasal 36 mengatur mengenai akses terhadap data lalu lintas dan informasi pengguna sistem elektronik, yang keduanya berpotensi besar berisi data pribadi.

Kendati demikian surat penetapan pengadilan hanya dibutuhkan ketika akses diminta terhadap konten komunikasi, sesuai pasal 36 ayat 4.

Ia juga menyoroti jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses. Di dalam Pasal 37, 41 dan 42 mengatur bahwa PSE privat, harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender.

Soal potensi akses langsung terhadap sistem elektronik juga disoroti. Kata Alia, di Pasal 39 memfasilitasi aparat penegak hukum terhadap sistem elektronik.

"Meskipun harus dilakukan berdasarkan surat penetapan pengadilan, pasal ini membuka potensi aparat penegak hukum untuk mendapatkan akses langsung yang disproporsional terhadap sistem elektronik. Khususnya ketika membaca ketentuan pasal 39 ayat 4 yang hanya mengatur mengenai opsi akses, tapi tidak secara eksplisit membatasi adanya akses langsung," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI