Suara.com - Dwi Pertiwi, salah satu pemohon uji materi UU Narkotika terkait penggunaan ganja medis bagi kesehatan menyoroti tak adanya solusi yang diberikan pemerintah menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi itu.
Ia juga mempertanyakan bagaimana langkah pemerintah Indonesia dalam memberikan bantuan kepada penderita Cerebral Palsy yang membutuhkan pengobatan.
"Nah ini ketika ini tidak bisa digunakan, apa dong solusinya gitu. Terus juga bagaimana kita bisa membuat anak-anak kita tuh nyaman. Kalau nyaman berarti alat bantu hidupnya juga harus dibantu lah," ujar Dwi dalam Media Briefing Tanggapan Para Pemohon Terhadap Putusan MK Pelarangan Narkotika Golongan I untuk medis secara virtual, Rabu (20/7/2022).
Ia pun mencontohkan pemerintah Australia yang memberikan bantuan hingga 70 persen kepada warganya.
Sementara bantuan tersebut tak ia dapatkan dari pemerintah Indonesia. Terlebih penggunaan ganja medis dipersulit.
"Sebagai contoh ya, kalau di Australia itu kalau alat bantu hidup itu dibantu sampai 70 persen. Jadi misalnya kalau kita beli kursi roda, harga- harga Rp 100 juta kita cuma Rp 30 juta yang Rp 70 dibayar sama pemerintah. Pemerintah kita nggak ngasih apa-apa loh ini," ucap Dwi.
"Jadi sudah hidup kita sengsara ya, susah sekali untuk membuat anak kita nyaman. Salah satu obat yang bisa membantu pun itu dipersulit gitu," sambungnya.
Karena itu Dwi berharap pemerintah mempercepat melakukan riset sesuai instruksi MK terkait penggunaan ganja medis untuk layanan kesehatan
"Harapannya riset itu segera dilakukan. Kalau memang belum bisa silakan dilakukan tapi dipercepat," katanya lagi.
Baca Juga: Perjuangan Panjang Legalisasi Ganja Medis di Indonesia yang Kini Ditolak MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022 yang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Menyatakan permohonan pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak Permohonan para pemohon untuk seluruh," ujar Anwar saat membacakan putusan yang disiarkan dari Youtube MK, Rabu (20/7/2022).
Sidang permohonan perkara tersebut diketahui telah digelar sebanyak sepuluh kali sejak permohonan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 November 2020.
Para pemohon perorangan yang mengajukan permohonan antara lain Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Muharyanti yang masing-masing memiliki anak dengan Cerebral Palsy dan membutuhkan pengobatan dengan Narkotika Golongan I.
Sedangkan para pemohon lembaga yaitu ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara masing-masing merupakan bagian dari Koalisi Jaringan Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang mengupayakan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia.