Suara.com - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyatakan tidak perlu kecewa atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi terkait ganja untuk keperluan medis.
Pernyataan tersebut disampaikan Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut merespon ditolaknya uji materi ganja untuk medis di MK.
"Tak usah kecewa, sebab masih ada jalan lain menuju Roma," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/7/2022).
Asrul menilai masih ada alternatif lain untuk mewujudkan legalisasi ganja untuk medis.
Baca Juga: Permohonannya Soal Ganja Medis Ditolak, Santi Warastuti: Kecewa Tapi Cukup Bersyukur
"Ya jalan lain itu legislative review, ditolak itu kan judicial review, dan judicial review itu tidak mengatakan bahwa pasal itu tidak boleh diubah. Kan yang ditolak itu adalah menyatakan pasal 8 ayat 1 itu inkonstitusional, kan itu yang ditolak," ujar Arsul.
Tetapi, MK mengakui bahwa itu adalah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
"Artinya, dikembalikan, terserah pada pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah," kata Arsul.
Karena itu, ia mengingatkan Santi Warastuti agar tidak putus harapan dalam memperjuangkan ganja medis, terlebih untuk kesembuhan anaknya yang menderita cerebral palsy.
Untuk diketahui, Permohonan Uji Materil pasal pelarangan penggunaan ganja yang masuk jenis narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan yang diajukan sejumlah pemohonnya, ditolak Mahkamah Konstitusi, dalam sidang Rabu (20/7/2022).
Baca Juga: MK Tolak Uji Materi UU Narkotika Penggunaan Ganja Medis, Ini Alasannya
Sidang tersebut memaparkan pula tentang adanya inkonstitusionalitas dari UU No 35/2009 tentang Narkotika, yang kemudian dinilai tidak beralasan oleh majelis hakim dalam sidang yang sama.
Diketahui, seorang ibu dari Kabupaten Sleman, Santi Warastuti, bersama rekannya masuk dalam daftar sebagai salah satu pemohon perihal uji materiil atas Pasal 8 ayat 1 UU No. 35/2009 tentang Narkotika. Yang mana, pasal tersebut berbunyi 'Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan'.
"Sedikit kecewa, tapi cukup bersyukur. Karena MK mendorong untuk dilakukan riset," katanya singkat, saat dimintai keterangan, Rabu siang.
Santi merupakan ibu dari seorang anak dengan cerebral palsy (CP) yang namanya viral sesuai diunggah oleh penyanyi Andien lantaran membawa poster Tolong Anakku Butuh Ganja Medis di gelaran CFD di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia menjadi satu dari beberapa pemohon uji materi pasal tersebut. Pasalnya, dari literasi yang ia ketahui, penggunaan ganja medis dapat mengurangi secara signifikan kejang pada penderita penyakit CP.
Sidang Dipimpin Sembilan Hakim
Diketahui, sidang MK yang membahas uji materil pasal pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan itu dipimpin oleh sembilan hakim.
Anwar Usman sebagai ketua majelis merangkap anggota, kemudian ada Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Wahiduddin Adams.
Hakim Manahan Sitompul dalam sidang tersebut mengatakan, pemanfaatan narkotika Golongan I di Indonesia harus melihat kesiapan dari beragam unsur, sekalipun terdapat keterdesakan atas kebermanfaatannya.
UU 35/2009 juga menegaskan, narkotika jenis tertentu adalah zat dan obat yang bermanfaat untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan, atau digunakan tidak sesuai standar pengobatan, dapat menimbulkan akibat merugikan besar bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa.
"Narkotika Golongan I hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan sangat merugikan bila ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sehingga dapat menyebabkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan merusak generasi bangsa dan bernegara," tuturnya, dalam sidan
Manahan menambahkan, pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, setidaknya di beberapa negara.
Misalnya saja Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Peru, Rumania, Kolombia, Swiss, Turki, Inggris, Bulgaria, Belgia, Prancis, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, Thailand.
"Namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter, bahwa seluruh jenis narkotika bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan, yang dapat diterima dan diterapkan di semua negara," kata dia.
Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda baik jenis bahan narkotika, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan. Termasuk sarana prasarana yang dibutuhkan.
Dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, ia tak menampik telah diperoleh fakta hukum banyak orang menderita penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu.
Namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan bila tidak ada persiapan.
"Khususnya terkait dengan struktur dan budaya masyarakat. Termasuk sarana prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia," tambahnya.
Hakim Punya Empati Tinggi Kepada Pasien dan Dorong Kaji Ulang Penggunaan Narkotika Gol I
Sementara itu hakim Suhartoyo memaparkan, majelis hakim punya empati tinggi kepada penderita penyakit tertentu yang secara 'fenomenal' menurut pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan narkotika golongan I.
Hanya saja, saat ini belum ada hal yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah. Ada pula dampak dan efek yang mungkin timbul apabila mahkamah menerima argumentasi para pemohon.
"Oleh karena tidak ada pilihan lain bagi mahkamah, untuk mendorong penggunaan narkotika jenis golongan I dengan sebelumnya dilakukan penelitian ilmiah dan pengkajian pemanfaatan narkotika jenis golongan I untuk pelayanan kesehatan atau terapi," ujarnya.
Hasil kajian ilmiah dan penelitian tersebut, bisa menjadi bahan pertimbangan pembentuk UU berkaitan perubahan kebijakan berkenaan pemanfaatan jenis narkotika golongan I.
Penelitian dan kajian bisa dilakukan pemerintah atau swasta. Artinya, lembaga pemerintah dan swasta, baik bersama maupun sendiri-sendiri bisa lakukan pengkajian dan penelitian ilmiah.
Tujuannya untuk menelaah ilmiah berkaitan jenis narkotika jenis golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau terapi.
"Dilakukan dengan standar penelitian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," imbuhnya.
Selain membuktikan kebenaran soal penggunaan narkotika jenis golongan I untuk pengobatan atau terapi penyakit tertentu, yang kemudian diuji penerapannya untuk kepentingan praktis.
Ia mengakui, perihal kebutuhan narkotika golongan I untuk keperluan terapi sebetulnya sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan.
"Dengan demikian, mahkamah menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti keputusan berkenaan pengkajian dan penelitian jenis narkotika golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan atau terapi," ulangnya lagi.
Hasilnya, dapat untuk menentukan kebijakan, salah satunya termasuk perubahan UU guna mengakomodasi kebutuhan dimaksud.
Palu Penolakan Diketok Ipar Presiden
Ketokan palu penolakan permohonan uji materil, sekaligus amar putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim Anwar Usman.
Adik ipar Presiden Joko Widodo ini mengatakan, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum yang telah disebutkan dalam sidang, maka mahkamah berwenang mengadili permohonan para pemohon.
Majelis menyatakan pula pokok permohonan dari sejumlah pemohon tidak beralasan dan tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucapnya, tepat pukul 11.19 WIB tadi.