Cendera Mata Karya Seni Aborigin Banyak yang Palsu Buatan Indonesia

SiswantoABC Suara.Com
Selasa, 19 Juli 2022 | 12:35 WIB
Cendera Mata Karya Seni Aborigin Banyak yang Palsu Buatan Indonesia
Ilustrasi suku aborigin. (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pasar karya seni dan kerajinan Aborigin sangat menjanjikan karena besarnya permintaan cendera mata dari konsumen dan turis yang berkunjung ke Australia. Namun, banyak di antaranya merupakan barang tiruan buatan Indonesia.

Hingga saat ini, tidak mudah untuk memverifikasi apakah bumerang atau lukisan Aborigin yang diperjualbelikan di pusat-pusat cendera mata benar-benar dibuat oleh seniman Aborigin atau oleh pengrajin di Indonesia.

Menurut laporan Komisi Produktivitas Australia, hasil penjualan karya seni dan kerajinan Aborigin bernilai sekitar A$250 juta pada 2019/2020, namun hanya satu dari tiga item yang terjual benar-benar diproduksi oleh seniman atau perusahaan Aborigin.

Seorang warga suku Aborigin Wiradjuri, Jarin Baigent, menyaksikan langsung bagaimana seniman Aborigin tersingkir dari pasar seni dan kerajinan akibat barang tiruan murah yang didatangkan dari luar negeri.

Baca Juga: Wali Kota Makassar Danny Pomanto Dapat Undangan Khusus Dari Suku Aborigin

"Ada pembuat bumerang buatan tangan yang mungkin memiliki peluang besar untuk memasok di suatu tempat," katanya.

"

"Lalu ada pengusaha di bisnis barang tiruan pergi mencari pemasok di luar negeri, umumnya buatan Indonesia, dengan opsi yang lebih murah," ujar Jarin.

"

"Akibatnya, para pembuat bumerang di sini kehilangan sumber penghasilan. Padahal mereka menciptakan barang seni dan artefak asli Aborigin, tapi harus tersingkir dari industri ini," tambahnya.

Baca Juga: Perdana Menteri Australia Anthony Albanese Angkat 10 Perempuan Jadi Menteri, Salah Satunya Pribumi Aborigin

Hal itulah yang mendorong Jarin mendirikan Trading Blak, pasar untuk semua bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang Aborigin untuk menjual produk seni dan kerajinan mereka.

Dia bertekad untuk memerangi praktik bisnis kotor di mana perusahaan non-pribumi menjual produk yang diproduksi oleh masyarakat pribumi tanpa menyebut dan mengakuinya.

"Saya mengetahui pengusaha non-Aborigin yang melakukan bisnis gelap ini, mereka menipu pelanggan yang berpikir barang yang dibelinya adalah barang asli Aborigin," katanya.

Sulit mengatasi barang tiruan

Barang palsu dan tiruan merupakan masalah besar bagi seniman pribumi yang ingin memulai bisnis, karena tidak mudah untuk menegakkan aturan tentang siapa yang berhak menciptakan gaya dan motif seni tertentu.

Menurut Komisioner Komisi Produktivitas Australia, Romlie Mokak, sulit juga mengharapkan konsumen untuk dapat membedakan karya asli dan tiruan.

"Konsumen akan merasa sangat sulit untuk menentukan mana yang otentik dan mana tiruan. Mau tidak mau, konsumen terdorong pada kesimpulan bahwa barang ini memang mahal," katanya.

Aturan yang ada, seperti pelabelan bumerang yang diterapkan sejak lebih 20 tahun lalu, dianggap cukup membantu untuk menunjukkan keaslian produk, tapi penerapannya terbatas dan sulit untuk memasukkan produk seperti itu ke pasar.

Sebuah laporan dari Komisi Produktivitas menunjukkan bahwa permasalahan ini dapat diatasi dari sisi lain, dengan mengembalikan tanggung jawab kepada para produsen non-pribumi.

Komisi merekomendasikan agar karya seni, kerajinan, dan cendera mata bermotif Aborigin yang "tidak autentik" diberi label seperti itu, sehingga konsumen dapat membuat pilihan yang tepat.

Menurut Romlie Mokak, pelabelan barang tiruan ini akan menjadikan sistem yang jauh lebih adil.

"

"Kami memandang bahwa beban tanggung jawab itu seharusnya ada pada produsen produk-produk yang tidak autentik," ucapnya.

"

"Artinya, beban bagi orang Aborigin dan Torres Strait Islander yang membuat produk asli untuk melabel produk mereka sebagai barang asli akan menjadi lebih ringan," kata Romlie.

Jarin Baigent menyambut baik rekomendasi ini namun dia melihat perlunya tambahan aturan bagi para produsen yang telah meremehkan dan meniru produk bisnis Aborigin.

"Pelaku bisnis non-Aborigin yang eksploitatif dalam pasar seni Aborigin palsu atau bisnis gelap lainnya, telah secara aktif menghalangi masa depan anak-anak kami," ujarnya.

"Mereka secara aktif menghalangi kemampuan orang Aborigin untuk maju dan sejahtera di sektor bisnis," ucap Jarin.

"Perlu ada penerapan hukuman, perlu mengenakan denda kepada mereka yang ambil bagian dalam bisnis barang tiruan. Itu sudah berlangsung selama beberapa generasi," paparnya.

Melindungi keuntungan dan budaya

Kewajiban untuk memberi label pada produk tiruan hanyalah salah satu dari sejumlah rekomendasi Komisi Produktivitas.

Menurut Romlie Mokak, karya seni dan kerajinan tiruan bukan hanya menghilangkan keuntungan bagi seniman Aborigin, tapi juga mereproduksi secara tidak sah cerita dan pengetahuan mereka.

Komisi merekomendasikan penguatan UU Kekayaan Intelektual Budaya Adat (ICIP), sehingga hal-hal seperti simbol-simbol yang disucikan oleh orang Aborigin dapat dilindungi dari tiruan massal.

"Kita tidak memiliki UU yang memberikan perlindungan khusus terhadap kekayaan budaya dan intelektual warga pribumi," kata Komisioner Romlie.

"Sudah perlu ada UU baru untuk mengakui hak-hak orang Aborigin dan Torres Strait Islander atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya mereka," jelasnya.

"Mereka harus memiliki kemampuan bertindak ketika orang lain telah melanggar perlindungan tersebut, ketika orang non-pribumi menjiplak atau meniru motif tradisional Aborigin," tambahnya.

Menurut Jarin Baigent, sebenarnya mayoritas konsumen ingin membeli karya seni dan kerajinan dari bisnis yang dimiliki dan dijalankan orang Aborigin.

Jarin mengaku sering mendapati konsumen yang mengeluh dan marah setelah mengetahui barang yang dibelinya bukan buatan orang Aborigin.

"Kami sudah meminta agar bisnis non-Aborigin dengan jelas menyebut dan menyatakan bahwa bisnis mereka itu non-Aborigin," katanya.

"Beberapa pengusaha mematuhinya, tapi yang lain tidak," tambahnya.

Tersebar luas di industri lain

Menurut Jarin, bisnis gelap seperti itu tersebar luas di sejumlah industri yang menyulitkan penduduk Aborigin untuk masuk ke pasar, seperti dalam industri makanan, pariwisata, dan pakaian.

"Mereka menggunakan pengetahuan penduduk pribumi. Mereka menghias kemasan produk-produk mereka dengan karya seni kami, dalam budaya kami," katanya.

"Mereka banyak memasarkan sosial media dan output mereka dengan wajah orang Aborigin, untuk memberikan gambaran yang keliru tentang apa dan siapa mereka itu," ucap Jarin.

Ia meminta konsumen yang benar-benar ingin memberikan dampak dan menghormati orang Aborigin, seharusnya membeli dari masyarakat Aborigin, dan tahu di mana mereka dapat membelinya.

Laporan dari Komisi Produktivitas telah dirilis untuk konsultasi dengan para pemangku kepentingan, sebelum laporan akhir disusun dan diserahkan kepada Pemerintah Federal pada akhir November.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI