Suara.com - Ruang kerjanya dipenuhi berbagai benda, mulai dari tengkorak buaya, ukiran kayu burung cendrawasih, anak panah, hingga foto hitam putih pria Papua Nugini dalam ukuran besar.
Bagi Dokter Albert Foreman, mosaik poster, karya seni, guntingan kliping koran, hingga koleksi foto yang diambil dengan kamera Kodak Retina, semuanya menjadi bagian perjalanan hidupnya yang panjang.
Kini, dalam usia yang sudah menginjak 91 tahun, Dr Foreman masih bisa ditemui di tempat praktiknya di pinggiran Kota Darwin, Australia.
Jika bukan karena pajangan diagram anatomi telinga, hidung dan tenggorokan (THT) serta berbagai peralatan medis lainnya, ruang kerjanya itu lebih mirip museum daripada ruang praktik dokter.
Baca Juga: Ketika Dokter India Selamatkan Remaja Pakistan yang Lehernya Bengkok
Sebagai dokter umum dengan minat khusus pada penyakit THT, Dr Foreman telah memeriksa telinga ribuan penduduk Australia utara.
Pada usia 91 tahun, ia kemungkinan besar merupakan dokter tertua yang masih buka praktik di Australia.
"Saya terus saja berpraktik karena saya tidak mau menyerah," katanya kepada ABC News pada awal Juli 2022.
"Obat-obatan sangat baik untuk kita. Membuat saya bisa bekerja tiap hari," ujarnya.
Pekerjaannya sebagai dokter telah membawanya ke berbagai negara termasuk Swaziland, Tanzania, Israel, India dan ke kamp pengungsi Ethiopia pada di tahun 1980-an.
Baca Juga: Dokter Temukan Dampak Covid-19: Penis Mengecil dan Membuat Lelaki Lebih Sulit Ereksi
Ia juga kerap pergi ke pedalaman, ikut dalam Layanan Dokter Terbang Port Augusta, bertugas ke rumah sakit di Alice Springs, Katherine, dan akhirnya menetap di Darwin.
Sekarang dia menghabiskan hari-harinya melakukan praktik rutin di pinggiran ibu kota Northern Territory (NT) ini.
"
"Saya masih menikmati apa yang saya lakukan, bahkan jika hanya membersihkan telinga pasien yang kotor," ujarnya.
"
"Saya akan terus praktik selama bisa melakukannya, tapi tentu saja tidak akan selamanya," tutur Dr Foreman.
Bekerja enam hari seminggu
Menurut data Biro Statistik Australia terbaru, usia rata-rata pensiun untuk orang Australia adalah 55,4 tahun, meskipun beberapa penelitian menunjukkan profesi dokter biasanya pensiun lebih lambat.
Di antara kliping koran di dinding ruang tunggu Dr Foreman, sejumlah artikel menampilkan profesional medis lainnya yang terus bekerja hingga akhir hayat, termasuk koleganya, Dr Edwin 'Ted' Milliken, yang pada tahun 2018 masih bekerja sebagai psikolog dalam usia 100 tahun.
Ketua Asosiasi Medis Australia NT, Dr Robert Parker, mengatakan usia pensiun bagi para dokter lebih dari sekadar menikmati pekerjaan.
"Profesi ini lebih pada bagaimana memberikan kontribusi kepada masyarakat," katanya.
Dr Foreman, yang pada tahun 2017 menerima penghargaan atas pengabdiannya di bidang kedokteran di daerah pedalaman, telah menjalankan klinik bersama istrinya, Eugenia, sejak ia meninggalkan posisinya sebagai asisten ahli bedah di Rumah Sakit Royal Darwin pada tahun 1998, dalam usia 70 tahun.
"
"Ini pekerjaan saya sebagai pensiunan," katanya. "Saya berusia 91 tahun, dan masih bekerja enam hari seminggu."
"
Di samping komitmennya terhadap pasien, Dr Foreman juga mengaitkan masa kerja yang panjang ini dengan keterlambatannya kuliah kedokteran, yang baru dimulai saat berusia 40 tahun di Papua Nugini.
"Karena mulainya terlambat, saya bekerja selama ini hampir sebagian besar karena juga lambat masuk (kuliah kedokteran)," jelasnya.
Bekerja sebagai insinyur
Sebelum memasuki dunia kedokteran, Dr Foreman memiliki beberapa pekerjaan, dan warga Australia utara bisa dipastikan bisa hasil tangannya, baik berupa jalan, landasan udara, jembatan hingga sistem sanitasi.
Dia pertama kali datang ke Australia utara pada tahun 1957 sebagai insinyur sipil pada Departemen Pekerjaan Umum Australia, bekerja sebentar di Darwin pada berbagai proyek termasuk menara air Parap.
Dia juga ikut mengawasi pengerukan Pelabuhan Darwin untuk membersihkan sisa bom Perang Dunia yang tidak meledak.
Dia kemudian menghabiskan empat tahun di Alice Springs dan Barkly, bekerja pada penyediaan air, sanitasi dan saluran pembuangan, serta membangun jalan raya.
"Saat itu saya tahu setiap sudut dari Barkly sampai ke Newcastle Waters," katanya.
Pekerjaannya sebagai insinyur juga membawanya ke Katherine, membangun jembatan pertama di atas sungai King River.
"Tidak ada AC atau alat pendingin apa pun saat itu," katanya.
Memasuki dunia kedokteran
Dr Foreman seringkali merasa tidak cocok di bidang teknik. Maka dia pun meninggalkan profesinya itu untuk belajar teologi.
Tapi setelah tamat dan memenuhi syarat untuk ditahbiskan sebagai imam Gereja Anglikan, dia justru menolaknya demi posisi sebagai insinyur senior untuk pembangunan jalan dan bandar udara di Papua Nugini.
Namun sebelum itu, Dr Foreman terlebih dahulu menjadi dosen matematika di Port Moresby, sebelum meninggalkan dunia teknik untuk selamanya dan mendaftar kuliah belajar kedokteran pada tahun 1971.
Dekan Fakultas Kedokteran di Port Moresby, Profesor Ian Maddocks (sekarang spesialis perawatan paliatif terkemuka di Australia) awalnya menolak lamarannya dengan alasan Foreman yang berusia 40 saat itu terlalu tua untuk memasuki profesi medis.
"Tapi pendapat dia ditolak oleh orang lain dalam komite penerimaan mahasiswa, dan saya pun lulus," kata Dr Foreman.
Saatnya untuk berefleksi
Sekarang Dr Forerman sendiri menderita gangguan pendengaran. Namun, dia menyebut mungkin masa kecilnya yang memicu minat awalnya pada spesialisasi penyakit THT.
"Saya tumbuh besar dengan ayah yang tuli," jelasnya. "Dia menderita penyakit Ménière, yaitu ketulian secara bertahap."
"Kami memiliki ayah yang pendiam. Tapi hal itu tak menghentikannya untuk mendengarkan siaran balapan setiap hari Sabtu, dia akan selalu berada di dekat radio," katanya.
Dr Foreman mengatakan ayahnya juga hidup sampai usia 90 tahun, namun dirinya adalah orang pertama di keluarganya yang mencapai usia 91 tahun.
Meskipun tidak berencana pensiun dalam waktu dekat, Dr Foreman mengatakan dia berniat untuk berhenti satu atau dua hari dalam waktu dekat.
"Saya akan mengurangi kerja menjadi lima hari seminggu, banyak yang harus saya rapikan," katanya, sambil melihat ke rak-rak yang penuh jurnal, buku, dan catatan kuliahnya.
"Bayangkan jika saya mati mendadak, ini semua akan menjadi mimpi buruk [untuk orang yang merapikannya]. Dan rasanya saya harus menulis memoar," tuturnya.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.