Suara.com - Rumah Pendeta Ioann Kurmoyarov tiba-tiba didatangi sejumlah polisi Rusia. Mereka menyita ponselnya, sebuah laptop, dua lukisan keagamaan, jubah pendeta, dan sebuah salib kayu.
Pendeta Ioann kemudian dibawa ke kantor polisi di Kota St Petersburg dan diizinkan menelepon keluarganya sebanyak satu kali. Sang pendeta mengatakan dirinya telah ditahan.
Pendeta Ioann disebut-sebut sebagai pendeta pertama yang dijebloskan ke penjara menggunakan undang-undang untuk menghukum orang-orang yang dituduh menyebar informasi bertentangan dengan narasi perang Kremlin.
"Saya adalah tahanan nurani, menderita karena kepercayaan saya. Saya menganggap tuduhan terhadap saya dan penahanan saya adalah ilegal," kata Pendeta Ioann melalui pernyataan kepada pengacaranya di Penjara Kresty, St Petersburg.
Baca Juga: Protes Serangan Ke Ukraina Saat Siaran Langsung, Eks Karyawan TV Pemerintah Rusia Kena Tahan
Pendeta Ioann menambahkan bahwa dirinya adalah seorang penganut Kristen pasifis yang seluruh pandangan moralnya berdasarkan perintah Alkitab dan hukum kanonik Gereja Ortodoks Rusia.
Dia juga mengutip ayat-ayat dalam Alkitab, termasuk "Diberkatilah mereka yang membawa damai sebab mereka akan disebut anak-anak Allah" serta "Jangan membunuh".
Baca juga:
- Kesaksian para pendeta Gereja Ortodoks Rusia di Ukraina yang memberontak melawan Moskow
- Rumah ibadah turut jadi korban amukan perang di Ukraina
Sorotan terhadap Pendeta Ioann bermula ketika dia mengunggah sebuah vídeo berdurasi 8,5 menit ke YouTube pada 12 Maret, lebih dua pekan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina.
Dalam video tersebut, dia mengatakan bahwa mereka yang melakukan agresi tidak akan masuk surga. Hal itu ditujukan kepada orang-orang Rusia.
Baca Juga: Protes Menentang Invasi di Ukraina, Mantan Karyawan TV Pemerintah Rusia Ditahan Beberapa Jam
"Anda adalah agressor yang menyerang dan membunuh warga sipil. Anda tidak akan masuk surga manapun, Anda akan ada di neraka," cetus Pendeta Ioann kepada para pemimpin Rusia.
Pendeta Ioann membandingkan invasi Rusia dengan "jihad" kekerasan. Dia bahkan menganjutkan agar para pemimpin di Moskow seharusnya pindah agama dan menjadi "Islamis militan".
"Kami khawatir, tapi kami tidak mengira dia akan ditahan," kata Alexander Kurmoyarov, saudara kandung sang pendeta.
Menurut Alexander, saudaranya itu kini menjalani tahanan selama dua bulan dan amat mungkin dibawa ke pengadilan.
"Kami mengira dia bakal diberi peringatan oleh polisi, tapi kini kami khawatir dia akan menghabiskan 10 tahun di penjara," ujar Alexander, merujuk hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan kepada saudaranya.
Satu-satunya orang yang telah menemui Pendeta Ioann di Penjara Kresty adalah pengacaranya, Leonid Krikun. Dia menilai kliennya itu tampak dalam kondisi kesehatan yang baik dan masih teguh pada keyakinannya.
"Saya mengatakan kepada Pendeta Ioann bahwa jika dia menyatakan bersalah mungkin dia akan dijatuhkan hukuman yang lebih singkat. Namun dia menolak telah melakukan kejahatan," kara Krikun.
"Dia menegaskan dirinya lebih baik menjalani hukuman lebih penjang ketimbang mengaku berbuat salah. Jika itu terjadi [dihukum lebih lama di penjara], dia akan berkhotbah kepada sesama narapidana," tambahnya.
Baca juga:
- 'Kami seperti kucing buta' - Pengakuan serdadu Rusia yang menolak bertempur di Ukraina
- Perjuangan ibu Rusia selamatkan dua putranya dari perang di Ukraina
Pendeta Ioann sudah pernah menunjukkan bahwa dirinya tidak takut bicara blak-blakan. Pada 2020 lalu dia diskors melayani di gereja karena menyebut Gereja Angkatan Bersenjata Rusia yang baru selesai dibangun adalah "kuil berhala".
Ide pembangunan gereja katedral di Moskow itu berasal dari Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu. Di dalam gereja akan ditampilkan mosaik Presiden Putin, Josef Stalin, dan adegan yang merayakan okupasi Krimea.
Dalam unggahan media sosial, Pendeta Ioann menyebut Menhan Shoigu seharusnya ditahan karena menistakan agama.
Berurusan dengan aparat Ukraina
Namun, yang membuat kisah Pendeta Ioann unik adalah dia tak hanya terlibat masalah dengan aparat Rusia tapi juga berurusan dengan dinas keamanan Ukraina (SBU).
Ioann Kurmayarov menghabiskan sebagian besar hidupnya di Vinnytsia, Ukraina bagian tengah. Keluarganya pindah ke sana setelah sang ayah pensiun dari militer Rusia.
"Bahkan sejak masa kanak-kanak dia selalu lantang bicara, selalu mencari kebenaran," kata saudara kandung Pendeta Ioann, Alexander, yang ditemui di Vinnytsia.
"Di gereja dia menemukan tempat yang bisa memuaskan pencarian kebenaran," kata Alexander.
Namun, pada 2017, Pendeta Ioann menjadi pemberitaan di Ukraina.
Ketika pasukan Rusia mencaplok Krimea dan bagian timur Ukraina diduduki milisi sokongan Rusia, pemerintah Ukraina membuat aturan yang melarang kemunculan simbol-simbol Uni Soviet.
Akan tetapi, Pendeta Ioann malah mengunggah foto simbol paling kontroversial, pita Santo George. Pita berwarna oranye dan hitam itu kerap digunakan untuk merayakan kemenangan atas Nazi Jerman, namun dipakai kubu separatis sokongan Rusia di Ukraina bagian timur.
Dia lantas ditangkap kepolisian Ukraina untuk diinterogasi dan SBU melayangkan gugatan administratif padanya.
"Dia tidak mendukung Rusia secara radikal, tapi kukuh pada kebebasan bicara sekaligus meyakini aparat melakukan kesalahan dengan melarang kemunculan pita," kata Alexander.
Kala itu, Pendeta Ioann bersiap membayar denda sebesar US$100 (Rp1,5 juta) dan akan memakai pita di depan umum karena sudah membayar denda. Namun, gugatan aparat Ukraina kepadanya lantas digugurkan.
Setelah insiden itu, dia pindah ke Rusia. Di sana dia justru membayar harga mahal demi kebebasan berekspresi.
Pada April, dia dikeluarkan dari Patriarkat Moskow Gereja Ortodoks Rusia, meski sejumlah anggota Gereja Ortodoks Rusia di Mancanegara (ROCA) mengatakan mereka telah menerimanya.
Kini Pendeta Ioann harus tetap berada di balik jeruji Pusat Tahanan Nomor Satu, Penjara Kresty, dengan ancaman hukuman bertahun-tahun. Masa tahanan awal Pendeta Ioann berakhir pada 6 Agustus, selanjutnya dia akan dihadapkan pada pengadilan.
"Saya ingin dia diputuskan tidak bersalah sebagai seorang Kristen yang bicara soal nilai-nilai kekristenan," kata Alexander.
"Namun saya khawatir atas apa yang terjadi sekarang dan saya khawatir dengan masa depannya," pungkasnya.
Reportase tambahan oleh Harry Farley, Jessy Kaner, dan Anastasia Lotareva.