Suara.com - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materil aturan pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Rabu (13/7/2022).
Dalam sidang kedua Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 yang digelar tersebut, seharusnya beragendakan perbaikan permohonan. Adapun para pemohon merupakan enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Namun dalam persidangan, Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Daniel Yusmic P. Foekh menemukan kejanggalan tanda tangan Pemohon pada perbaikan permohonan.
Arief pun menanyakan kepada para pemohon terkait keaslian tandatangan.
"Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Ini Saudara tanda tangannya betul atau tanda tangan palsu ini? Kalau kita lihat, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari Para Pemohon," ujar Arief kepada para Pemohon yang hadir secara daring yang dikutip dari situs resmi MK, Jumat (15/7/2022).
Mulanya, para Pemohon menjawab bahwa tanda tangan mereka asli. Bahkan mereka menegaskan kalau tanda tangannya berupa tanda tangan digital.
Menanggapi jawaban para Pemohon yang terkesan menyembunyikan sesuatu, Arief menekankan akan memproses kepada pihak kepolisian terkait tanda tangan palsu.
"Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya beda antara di KTP dan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana Dea Karisna? Terus kemudian, tanda tangan Nanda Trisua juga beda. Ini jangan bermainmain, lho. Rafi juga beda. Kemudian tanda tanga Ackas ini beda sekali, juga Hurriyah. Ini bisa dilaporkan ke polisi, kena pidana, bermainmain di instansi yang resmi. Beda semua antara KTP dengan permohonan," kata Arief.
Mendengar pertanyaan Arief, salah seorang Pemohon, Hurriyah Ainaa Mardiyah menjelaskan perihal tanda tangan rekan-rekannya.
Ia menyebut bahwa dari enam Pemohon, sebanyak dua Pemohon tidak menandatangani perbaikan permohonan tersebut. Atas hal tersebut, Pemohon meminta maaf kepada Panel Hakim.
"Baik Yang Mulia, izin menjawab. Sebelumnya mohon maaf, karena tidak semuanya tanda tangan sama dengan yang ada di KTP. Tanda tangan Dea Karisna dan Nanda Trisua itu memang sebenarnya sudah dengan atas kesepakatan dari yang bersangkutan. Karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia," jelas Hurriyah
Setelah mempertimbangkan lebih jauh, Panel Hakim MK memberikan pilihan Pemohon agar para Pemohon mencabut permohonan.
"Kemudian kalau Saudara akan mengajukan permohonan kembali, silakan mengajukan permohonan dengan tanda tangan yang asli, atau yang memalsukan dan yang dipalsukan kita urus ke kepolisian. Bagaimana? Yang Saudara mau? Jadi Anda itu mahasiswa harus tahu persis, apalagi Mahasiswa Fakultas Hukum," papar Arief.
"Anda itu berhadapan dengan lembaga negara. Ini Mahkamah Konstitusi itu lembaga negara. Anda memalsukan tanda tangan, ini perbuatan yang tidak bisa ditolerir. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum. Bagaimana? Kalau kita bertiga sepakat ini Anda cabut, nanti Anda kalau mau mengajukan lagi, silakan mengajukan lagi," sambungnya.
Para Pemohon menyatakan siap mencabut permohonan. Selanjutnya Panel Hakim meminta para Pemohon secara resmi mencabut permohonan di depan persidangan dan mengajukan surat resmi untuk mencabut permohonan.
"Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami. Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 pada Rabu 13 Juli 2022", kat Hurriyah selaku juru bicara para Pemohon.
Untuk diketahui, dalam sidang yang berlangsung pada 27 Juni 2022, Para Pemohon, yakni M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi , Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna, dan Nanda Trisua Hardianto VI yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung mendalilkan sebagian frasa dan kata dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (1) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut para Pemohon pasal-pasal tersebut telah menciderai demokrasi dan tidak menghargai reformasi sebagai sejarah bangsa, menimbulkan kerugian nyata bagi para Pemohon khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang pada dasarnya memiliki hak politik, hak ikut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memilih/dipilih.
Mereka juga menilai penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat dan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil.
Asas demokrasi menjamin semua warga negara memiliki hak yang setara untuk menentukan keputusan yang diambil dalam pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup masing-masing warga negara.
Para Pemohon beranggapan, masyarakat atau warga negara secara bebas harus dapat menentukan sendiri pilihan mereka terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang akan memimpin mereka dan berpartisipasi aktif baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan atas pengambilan kebijakan pemerintah.
Dengan adanya Pasal 9 ayat (1) dalam UU IKN, hal tersebut mematikan asas demokrasi rakyat untuk berpartisipasi langsung dalam memilih kepala daerahnya sendiri yang kemudian bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut dan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.