Krisis Sri Lanka: Tujuh Faktor yang Memicu Tsunami Politik

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 15 Juli 2022 | 15:26 WIB
Krisis Sri Lanka: Tujuh Faktor yang Memicu Tsunami Politik
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sri Lanka adalah negara di tengah gejolak; Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengundurkan diri pada Kamis (15/07) setelah melarikan diri dari Sri Lanka.

Penjabat presiden saat ini, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, mencoba menjalankan pemerintahan dari "lokasi yang aman" setelah kantornya diserbu dan kediaman pribadinya dibakar oleh pengunjuk rasa.

Perdana Menteri Wickremesinghe menerapkan jam malam dan memerintahkan militer untuk melakukan 'apapun yang diperlukan untuk mengembalikan ketertiban'.

Baca juga:

Baca Juga: Presiden Gotabaya Mundur, Sri Lanka Perpanjang Jam Malam Di Kolombo

Pasokan bahan bakar, makanan, obat-obatan dan kebutuhan pokok lain di Sri Lanka terbatas, membuat harga-harga membumbung tinggi.

Para pengunjuk rasa menyalahkan elit politik atas krisis yang terjadi di negara itu.

Berikut ini adalah sejumlah faktor yang memicu krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka:

Biaya hidup

Kondisi ekonomi di negara pulau yang terletak di Samudra Hindia dengan jumlah penduduk sebanyak 22 juta jiwa itu dalam kondisi buruk selama beberapa waktu.

Menurut bank sentral Sri Lanka, angka inflasi tahunan di negara itu lebih dari 50%. Bahkan, inflasi pangan mencapai 80%.

Baca Juga: Aktivis di Sri Lanka: Ini Kemenangan Besar

Nilai tukar mata uang Sri Lanka, rupee, terjun bebas terhadap dolar AS. Ketika Gotabhaya Rajapaksa menjabat sebagai presiden pada November 2019, nilai tukar rupee Sri Lanka terhadap dolar AS hanya 179 rupee. Kini nilai tukarnya mencapai 360 rupee.

Biaya transportasi juga naik dua kali lipat. Bahkan warga yang memiliki uang kesulitan membeli makanan dan bahan bakar karena minimnya pasokan di mana-mana.

Program Pangan Dunia menyebut lebih dari enam juta orang di Sri Lanka terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari.

Faktor internasional

Perang di Ukraina telah memicu harga pangan dan bahan bakar melonjak tajam.

Untuk memenuhi pasokan bahak bakar, Sri Lanka sangat bergantung pada impor. Namun sejak awal tahun ini, negara itu kesulitan membayar biaya impor minyak dan gas.

Pada gilirannya, hal ini menyebabkan setiap sektor perekonomian Sri Lanka melambat.

Banyak warga Sri Lanka kini beralih menggunakan kayu bakar untuk memasak makanan mereka.

Kekurangan gas di negara itu begitu kronis sehingga beberapa krematorium berbahan bakar gas terpaksa ditutup.

Oleh sebab itu, jenazah orang yang meninggal kini dimakamkanbukan hal yang biasa bagi warga Sri Lanka.

Baca juga:

Pelemahan ekonomi global menyebabkan warga Sri Lanka yang tinggal di luar negeri mengirim lebih sedikit uang untuk menopang keluarga yang berjuang untuk bertahan di kampung halaman.

Remitansi (pengiriman uang dari luar negeri) turun dari US$515 juta, atau sekitar Rp7,7 triliun, pada November 2019 menjadi $248,9 juta (Rp3,7 triliun) pada April, menurut bank sentral negara itu.

Pariwisata kolaps

Majalah Lonely Planet mendapuk Sri Lanka sebagai destinasi wisata terbaik pada 2019.

Namun, harapan untuk menuai untung dari pariwisata hancur ketika serangkaian serangan teror terjadi saat perayaan Paskah pada April 2019.

Pemboman yang menargetkan tiga hotel dan tiga gereja itu menewaskan 267 jiwa dan melukai sekitar 500 orang.

Akan tetapi, pariwisata Sri Lanka menggeliat kembali dan mengumpulkan sekitar $450 juta (Rp6,7 triliun) selama bulan Desember tahun itu, merujuk data bank sentral Sri Lanka.

Sayangnya, industri pariwisata Sri Lanka kembali ambruk karena pandemi Covid-19. Data bank sentral pada April hingga November 2020 menunjukkan sektor pariwisata terhenti dan hampir tidak ada pendapatan.

Banyak pekerjaan di sektor perhotelan lenyap, terutama di resor pantai yang populer di kalangan turis barat yang memuja sinar matahari.

Ketika langkah-langkah pengendalian Covid secara bertahap dilonggarkan, industri ini juga mulai pulih - Desember lalu bank sentral memiliki pendapatan bulanan sebesar $233 juta (Rp3,5 triliun) dari sektor pariwisata.

Tetapi krisis politik kembali menghantam industri ini dan pada bulan Mei, pariwisata hanya menghasilkan sekitar $54 juta (Rp812 miliar).

Pertanian organik

Pada April 2021, presiden Sri Lanka melarang semua penggunaan pupuk impor, menyebabkan para petani harus beralih ke pertanian organik.

Langkah ini digaungkan oleh pemerintah Sri Lanka dan dunia luar sebagai inisiatif ramah lingkungan.

Tapi pada kenyataannya, itu lebih berkaitan dengan menipisnya cadangan devisa.

Langkah itu menjadi bumerang buruk. Produksi di sebagian besar wilayah penghasil berasmakanan pokok Sri Lankamenurun, membuat negara itu bergantung pada impor pangan.

Awal tahun ini, pemerintah mengumumkan rencana untuk mengimpor 400.000 ton beras dari India dan Myanmar, tetapi tidak jelas berapa banyak yang benar-benar telah sampai ke konsumen.

Ketidakseimbangan perdagangan

Angka impor Sri Lanka saat ini, $3 miliar (Rp45,2 triliun) lebih banyak daripada angka ekspor per tahun, membuat neraca perdagangan negara itu tidak seimbang.

Itu juga menjadi alasan mengapa Sri Lanka kehabisan mata uang asing.

Baca juga:

Angka ekspor diperkirakan semakin tertekan karena perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh minimnya pasokan listrik dan solar.

Di sisi lain, negara itu kesulitan membeli lebih banyak bensin untuk kebutuhan bakan bakar industri karena kehabisan uang.

Pada 2019, Sri Lanka memiliki cadangan devisa sebanyak $7,6 miliar (Rp114,4 triliun), namun jumlah itu menipis, hanya $250 juta (Rp3,7 triliun).

Jebakan utang

Perang saudara di Sri Lanka yang berlangsung selama tiga dekade berakhir pada 2009.

Pascaperang, pemerintah melakukan pembangunan secara besar-besaran dan banyak berinvestasi pada infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan.

Dana infrastruktur itu berasal dari utang dan negara itu kini dibebani dengan beban utang sebesar $51 miliar (Rp767,3 triliun)termasuk $6,5 miliar (Rp97,7 triliun)utang ke China.

Membayar pinjaman luar negeri itu telah menguras cadangan devisa, menyisakan sedikit yang tersisa untuk membeli makanan.

Negara-negara maju yang tergabung dalam G7Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikatmenyatakan mendukung upaya Sri Lanka untuk mengurangi pembayaran utangnya.

Bank Dunia menyetujui untuk memberi pinjaman sebesar $600 juta (sekitar Rp 9 triliun) kepada Sri Lanka. India juga telah menawarkan pinjaman sebesar $1,9 miliar (Rp28,5 triliun).

Pemerintah Sri Lanka juga sedang dalam proses negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait rencana pinjaman $3 miliar (Rp45,1triliun).

Politik dinasti

Di jalan-jalan Kolombo, perasaan marah terhadap Presiden Gotabaya Rajapaksa yang digulingkandan keluarganya yang mendominasi politik selama dua dekade terakhirsangat terlihat.

Para pengunjuk rasa menyalahkan presidendan keluarga besarnya yang menjabat di pemerintahanatas kekacauan itu.

Kakak laki-laki Gotabaya, Mahinda Rajapaksa, menjabat sebagai presiden selama satu dekade sejak 2005.

Keluarga Rajapaksa dituding mengumpulkan kekayaan dengan korupsi, hal yang dibantah oleh keluarga itu.

Ketika Gotabaya menjadi presiden, dia mengangkat Mahinda sebagai perdana menteri.

Namun karena aksi protes dari warga yang terus meningkat, Mahinda mengundurkan diri pada Mei tahun ini.

Gotabaya, yang merupakan mantan kolonel tentara, juga mengisi pemerintahannya dengan mantan tentara.

Rajapaksa bersaudara berutang banyak kepada militer Sri Lanka atas peran mereka dalam mengalahkan separatis Tamil.

Namun para kritikus mengatakan militer tidak melakukan apa pun untuk rekonsiliasi dengan minoritas Tamil dan menuduh mereka bersikap lunak terhadap kelompok garis keras Sinhala yang menjadikan umat Muslim sebagai sasaran mereka.

Kedua saudara itu kini telah mengundurkan diri, tapi hingga belum jelas bagaimana nasib kevakuman kekuasaan yang mereka tinggalkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI