Suara.com - Lembaga pemerhati kelautan Destructive Fishing Watch (DFW) menduga di Laut Arafura ada 3.000 kapal ikan dan perahu beroperasi tanpa surat izin dan registrasi.
Ini sebagai contoh perlunya melakukan pembenahan terhadap perizinan kapal ikan karena diduga masih banyak kapal yang beroperasi tanpa izin seperti yang seharusnya.
Dalam semester I tahun 2022 ini, kapal Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil melakukan penangkapan kapal ikan yang melakukan praktiki ilegal sebanyak 79 kapal yang terdiri dari 10 kapal ikan asing dan 69 kapal ikan Indonesia.
"Di Laut Arafura kami menduga ada 3.000 kapal ikan dan perahu beroperasi tanpa surat izin dan registrasi," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan, di Jakarta, Jumat.
Baca Juga: Daftar SIM Keliling di DKI Jakarta Hari Ini, Buka Hingga Pukul 14.00 WIB
Menurut Abdi, banyaknya kapal ikan Indonesia yang tertangkap mengindikasikan bahwa ancaman illegal fishing saat ini berasal dari dalam negeri.
"Dari 69 kapal ikan Indonesia yang tertangkap hampir semuanya adalah kapal dengan izin daerah," kata Abdi Suhufan.
Hal itu berarti terjadi ketimpangan dalam hal tata kelola perikanan Indonesia antara pusat dan daerah.
Disebutkan sejumlah pelanggaran atas kapal ikan yang ditangkap tersebut antara lain tidak mempunyai Surat Izin Penangkapan Ikan, Surat Perintah Berlayar dan Surat Laik Operasi.
Abdi menduga, selain 69 kapal ikan yang tertangkap tersebut ada banyak kapal ukuran di bawah 30 GT (gross tonnage) yang beroperasi tanpa izin, serta praktik ini telah berlangsung lama.
Baca Juga: Kapal yang Ditumpangi 25 Nelayan Pencari Cumi Tenggelam, 15 Orang Hilang
Dirinya mengusulkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah provinsi Maluku dan Papua dapat membuat program bersama dengan membuka gerai perizinan pada lokasi sentra nelayan di Aru, Merauke dan Timika.
"Layanan perizinan kapal daerah di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 718 mesti lebih lebih didekatkan kepada nelayan dan pelaku usaha pada sentra nelayan di Aru, Merauke dan Timika," kata Koordinator Nasional DFW.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merevisi aturan pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran usaha di bidang kelautan dan perikanan guna merespons dinamika yang berkembang dan agar berkeadilan.
“Permen KP (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan) Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif saat ini sedang dalam proses perbaikan untuk menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat", ujar Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin dalam rilis yang diterima di Jakarta, Rabu (13/7).
Lebih lanjut, Adin menjelaskan bahwa meskipun Permen KP Nomor 31 Tahun 2021 telah diundangkan sejak bulan Juli 2021.
Namun implementasi pengenaan sanksi administratif terhadap pelaku pelanggaran di bidang kelautan dan perikanan baru mulai dilaksanakan sejak awal tahun 2022.
Hal tersebut dinilai memberikan ruang untuk sosialisasi dan persiapan yang memadai. Namun setelah dilaksanakan dalam waktu kurang lebih selama enam bulan ternyata diperoleh beberapa masukan dari masyarakat terkait perlunya penyempurnaan terhadap peraturan tersebut.
"Demi keadilan dan kondusivitas dunia usaha di bidang kelautan dan perikanan, kami tidak segan untuk menyempurnakan Permen Nomor 31 Tahun 2021 ini," ucap Adin. (Antara)