Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan berbagai kejanggalan atas pengusutan kasus penembakan di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.
Dalam peristiwa yang terjadi pada Jumat (8/72022) pukul 17.00 WIB itu, Brigpol Nofryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J tewas usai disebut tertembus lima peluru yang dilepaskan Bharada E.
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar menyebut, kronologis kasus yang disampaikan Polri tidak masuk akal. Ada indikasi kalau Polri terkesan menutup-nutupi kasus dan hendak mengaburkan fakta.
"Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa Kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J," kata Rivanlee saat dikonfirmasi, Kamis (14/7/2022).
Kejanggalan pertama, terdapat disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik . Kasus ini baru disampaikan Mabes Polri pada Senin (11/7/2022) atau sekitar dua hari usai kejadian.
Kemudian, kronologis kasus yang disampaikan Polri berubah-ubah, ditemukannya luka sayatan pada jenazah Yosua di bagian muka, dan keluarga yang sempat dilarang melihat kondisi jenazah.
Selanjutnya, CCTV dalam kondisi mati pada saat peristiwa terjadi dan keterangan Ketua RT yang menyebutkan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses Olah TKP.
KontraS juga menyoriti soal keberadaan Irjen Ferdy Sambo saat peristiwa terjadi pun tidak jelas.Belum lagi, keterangan mengenai luka tembak antara keterangan Polri dengan keluarga memiliki perbedaan yang signifikan.
"Pihak keluarga mengatakan ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher," ucap Rivanlee.
Keluarga Yosua, lanjut Rivanlee, juga mengatakan terdapat luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki. Hal tersebut berlainan dengan keterangan Kepolisian yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh luka dari lima tembakan.
KontraS memandang ini bukan kali pertama dalam hal upaya kepolisian dalam menyembunyikan fakta juga terjadi pada kasus terdahulu. Misalnya, kasus penembakan terhadap 6 Laskar FPI.
Pada persidangan kasus, beber Rivanlee, terbukti bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa tersebut. Bahkan, diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi.
"Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan," sambungnya.
Merujuk hasil pemantauan, KontraS menemukan sejumlah pola yang kerap terjadi dalam hal mekanisme pertanggungjawaban perkara pidana yang melibatkan anggota kepolisian.
Pertama, ketidaktegasan dalam mendorong mekanisme pidana pada anggota yang terbukti bersalah dan menyerahkan pada mekanisme internal (etik/disiplin) semata.
Kedua, upaya menyelesaikan perkara dengan cara “kekeluargaan” atau “perdamaian” yang membuat pihak korban menjadi tertekan dan menyetop perkara.
Ketiga, tidak adanya evaluasi kelembagaan serta perbaikan institusi dari kesalahan yang terjadi. Dari poin itu, KontraS menyebut kepercayaan masyarakat terhadap Korps Bhayangkara bakal terkikis.
"Sebab, hal tersebut akan mencoreng asas equality before the law dan hanya akan memperpanjang fenomena impunitas aparat," jelas Rivanlee.
Atas dasar tersebut, KontraS turut mendesak Kapolri untuk menjamin independensi dan transparansi kepada tim khusus yang bertugas mengungkap fakta peristiwa serta menyampaikan secara berkala pada publik atas perkembangan yang terjadi.
Kapolri juga diminta untuk menjamin ruang masukan, saran, serta penyampaian dari pihak keluarga korban untuk bebas dari tindakan intimidatif dan tekanan dalam bentuk lain guna mencari fakta seterang-terangnya.
Kepada Kompolnas, KontraS meminta untuk memastikan profesionalitas kelembagaan dalam pengusutan perkara, KontraS juga meminta LPSK untuk menjamin perlindungan bagi keluarga korban.