Krisis Sri Lanka: Indikator Apa yang Tunjukkan Posisi RI Jauh Lebih Baik'?

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 13 Juli 2022 | 16:47 WIB
Krisis Sri Lanka: Indikator Apa yang Tunjukkan Posisi RI Jauh Lebih Baik'?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Krisis ekonomi di Sri Lanka menjadi peringatan dan pelajaran bagi Indonesia untuk terus memperkuat perekonomian di tengah tekanan global, seperti kenaikan harga energi dan pangan, kata pengamat ekonomi.

Sri Lanka tengah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam sejarah yang menyebabkan negara itu bangkrut.

Staf khusus menteri keuangan, Yustinus Prastowo menyebut kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih kuat secara struktur. Yulius membandingkan, kondisi di Sri Lanka saat ini dengan Indonesia pada tahun 1998 yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Krisis moneter tahun 1998 menyebabkan perekonomian Indonesia terpuruk di mana tingkat inflasi mencapai 70%, pertumbuhan ekonomi minus hingga 13% dan jatuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto.

Baca Juga: Sri Lanka Gagal Bayar Utang, Pengamat: Harus Jadi Pelajaran bagi Indonesia

Baca juga:

Merespon yang terjadi di Sri Lanka, pemerintah Indonesia diminta tetap mewaspadai dinamika ekonomi global dan geopolitik, walaupun kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan Sri Lanka.

'Mengeratkan ikat pinggang'

Seorang pekerja di Jakarta, Anton (bukan nama sebenarnya), kini harus mengeratkan ikat pinggang perekonomian keluarganya akibat meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari, seperti telur, lauk, minyak goreng, cabai, bawang dan sayuran.

"Katanya setelah Idul Adha harganya akan stabil, tapi sampai sekarang tetap naik. Kami sekarang makan yang sederhana dan irit karena harga lagi mahal," katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (12/07).

Gaji yang dulu dapat disisihkan untuk tabungan kini habis untuk menutupi biaya kebutuhan yang melonjak.

Baca Juga: Pengamat: 3 Langkah Ekonomi Ini Bisa Selamatkan Indonesia Dari Krisis Sri Lanka

"Dulu bisa menabung Rp300-500.000 per bulan. Sekarang tidak bisa, bahkan terkadang minus," ujarnya.

Beberapa tahun lalu, dia mengatakan, pengeluaran keluarganya sehari di bawah Rp100 ribu. Namun kini, pengeluaran terkadang mencapai Rp150.000.

Beberapa bulan lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, kenaikan harga kebutuhan pokok di dalam negeri tidak terlepas dipengaruhi oleh situasi ekonomi global, seperti perubahan iklim hingga perang Rusia dan Ukraina.

Bangkrutnya Sri Lanka

Apa yang dialami warga Jakarta itu jauh lebih baik daripada puluhan juta orang yang tinggal di Sri Lanka.

Di sana, terjadi pemadaman listrik, harga kebutuhan pokok meroket tajam, dan kelangkaan bahan bakar. Lalu, banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persedian penting kesehatan.

Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Kandy, Sri Lanka, Dita Klyen menceritakan, hingga kini warga di tempat tinggalnya masih kesulitan mendapatkan bahan bakar kendaraan, dan juga gas untuk memasak.

"Lalu bahan makanan melambung tinggi, ada yang naik tiga sampai empat kali lipat dari biasa. Lalu bahan sehari-hari seperti sabun, sampo melambung tinggi," ujar Dita.

Kemudian, terjadi juga pemadaman listrik secara bergilir, yaitu tiga jam per hari. "Lalu sekolah masih ditutup karena tidak ada transportasi," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Sri Lanka yang kini telah bangkrut akibat gagal bayar utang luar negeri yang lebih dari Rp700 triliun dan inflasi lebih dari 50%.

Cadangan devisanya turun menjadi sekitar US$1,6 miliar (sekitar Rp 22,8 triliun) pada akhir November, hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu, sementara total utang luar negeri diperkirakan lebih dari US$45 miliar (sekitar Rp643 triliun).

Salah satunya adalah utang ke China yang semakin menumpuk hingga melampaui US$5 miliar (Rp71,7 triliun) untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.

Apakah akan merambat ke Indonesia?

Di sosial media terjadi perbincangan antar warganet, apakah krisis di Sri Lanka akan merambat ke Indonesia?

Akun @INDRAIRAWAN29 mencuitkan,"Krisis Srilanka tengah menjalar ke Indonesia karena itu masuk akal bila investor asing mengalihkan modalnya ke Thailand dan India yang tidak terjebak Hutang China".

Kemudian juga akun @RamadhanMahyuz2 yang menuliskan: "Bisa terjadi om kejadian Srilanka di Indonesia. Faktor perut yg membuat rakyat turun ke jalan. Di Srilanka karna faktor perut. Dimana bahan pangan mahal dan langka. BBM krisis, listrik mati, Phk besar-besaran dll. Itu semua faktor perut yg memaksa rakyat turun kejalan."

Dan juga @AlbertSolo2: "Selain Sri Lanka, ada beberapa negara yang terancam mengalami kebangkrutan karena utang luar negeri dan krisis ekonomi di negaranya, beberapa negara tersebut adalah Myanmar, Laos, Nigeria, Afghanistan, Argentina, Indonesia dan Pakistan.Indonesia masih belum aman karena utang."

Selain itu ada juga yang mengaitkan krisis Sri Lanka dengan krisis ekonomi Indonesia tahun 1998.

https://twitter.com/metavereasoning/status/1546460347623952385

Di sisi lain, beberapa akun menyebut tidak tepat menghubungkan Sri Lanka dengan Indonesia.

Akun @firzahusainInc mengatakan,"Kondisi Sri Lanka & Indonesia itu jauh panggang dari api, di Sri Lanka rakyat menderita, krisis pangan, krisis energi, inflasi tinggi, penghasilan terjun bebas, sedang di Indonesia, rakyat baik2 aja, hanya oplosan yg menderita, itupun bukan krn kurang pangan tp nafsu berkuasa "

Lalu @SaltedEggy_ mengatakan : "Ngapain liat Sri Lanka? Indonesia jauh lebih kuat terbukti dari 2x perubahan order, dari lama ke baru, baru ke Reformasi. Kasusnya pun jauh berbeda, srilanka sudah lama resesi. Bukan cuman resesi bahkan sampe krisis pangan."

Beberapa akun bahkan memasukan perbandingan data antara Indonesia dengan Sri Lanka.

https://twitter.com/Miduk17/status/1546652947462819842

Inflasi Indonesia yang moderat

Direktur eksekutif dari lembaga Center of Reform on Economics, CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, kemungkinan Indonesia mengalami seperti Sri Lanka masih sangat jauh, jika dilihat dari berbagai indikator.

"Untuk resesi, saya rasa masih jauh, tapi yang mungkin terjadi peningkatan risiko berupa melambat atau tertahannya pertumbuhan ekonomi jika kondisi ini terus terjadi," katanya.

Indikator pertama adalah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia 4,35% (yoy) dan 3,19% (Januari-Juni 2022). Angka itu timpang secara drastis dengan inflasi di Sri Lanka yang sudah mencapai 50%, bahkan disebut berpotensi mencapai 80%.

"Kondisi inflasi Indonesia masih sangat moderat dibandingkan Sri Lanka," kata Faisal.

Ditopang ekspor energi dan pangan

Indikator kedua adalah neraca perdagangan Indonesia yang surplus karena topangan komoditas yang harganya kini meningkat, yaitu batu bara dan kelapa sawit.

Dua komoditas yang kini sangat terdampak secara global adalah di bidang pangan dan energi.

"Kita net-importer minyak bumi, tapi kita net-exporter CPO sawit, minyak bumi, dan juga terbesar untuk batu bara. Jadi ini menolong Indonesia karena harga internasional tinggi," ujar Faisal.

Sebaliknya, Sri Lanka itu net-importer energi sehingga ketika mengalami peningkatan luar biasa harganya di internasional, mereka yang paling terpukul dibandingkan negara seperti indonesia."

Faisal juga menambahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia positif, yaitu 5,01% pada kuartal I tahun 2022.

"Kita tidak akan sampai ke sana (seperti Sri Lanka). Asalkan kebijakan yang merespon kondisi global itu, cepat. Jadi gabungan antara kebijakan moneter dan fiskal saling sinergi sehingga dampak buruk dari ekonomi global bisa diredam di dalam negeri," kata Faisal.

Utang yang relatif aman

Rasio utang Indonesia terhadap produk domsetik bruto atau PDB di bawah 40% atau masuk dalam kategori relatif aman, kata Faisal.

Walaupun ia menyoroti pertumbuhan utang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak dan juga komposisi pinjaman luar negeri yang cukup besar.

"Dua hal itu harus dijadikan pertimbangan untuk melihat kemampuan bayar utang," kata Faisal.

Dalam laporan APBN Kita Edisi Juni 2022, utang Indonesia hingga akhir Mei 2022 mencapai Rp7.002,24 triliun, atau setara dengan 38,88% dari Produk Domestik Bruto (PDB) indonesia.

Porsi utang didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 88,20% dan 11,80% dari pinjaman dari total utang.

Faktor lain, di luar ekonomi, yang menopang ketahanan Indonesia menghadapi krisis global adalah stabilitas politik dan sosial.

"Seperti di Sri Lanka, terjadi pemboman, konflik antar etnis. Kita harus menjaga stabilitas itu agar tidak terjadi di Indonesia yang kemudian menekan perekonomian," ujarnya.

Ancaman stagflasi

Walaupun demikian, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Rachbini meminta pemerintah untuk waspada dan responsif terhadap gejolak global, terutama ancaman stagflasi.

Stagflasi adalah kondisi di mana perekonomian mengalami inflasi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi stagnan bahkan menurun.

"Konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan terus mendorong naik harga energi dan pangan sehingga terjadi inflasi di negara-negara maju, termasuk kita," kata , peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Rachbini.

Eisha menambahkan, "dengan harga meningkat, produsen menanggung biaya lebih besar dalam produksi yang membuat mereka berkontraksi, mengurangi produksi. Ini menjadi ancaman besar secara global, menimbulkan stagflasi," katanya.

Bank Dunia melalui laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022 memperingatkan terjadinya resesi ekonomi yang disertai dengan inflasi yang tinggi (stagflasi), dipicu oleh pandemi Covid-19 ditambah adanya konflik Rusia dan Ukraina.

Untuk itu Eisha meminta pemerintah untuk berhati-hati dan cermat melakukan pengelolaan perekonomian dengan melakukan relokasi subsidi yang tepat guna meredam inflasi.

"Situasi global tidak menentu karena ada stafgasi. Negara-negara maju akan melakukan hal sama, menaikan suku bunga, sehinga gejolak eksternal itu juga perlu diperhatikan," ujarnya.

Di antaranya adalah Bank Sentral AS telah menaikan suku bunga sebesar 75 basis poin. Kemudian, Bank Sentral Rusia sebesar 200 basis poin. Begitu juga Pakistan 125 basis poin dan Bank Sentral Malaysia sebanyak 25 basis poin.

Sementara itu, Bank Indoneisa belum melakukan peningkatan suku bunga acuan, dengan menjaga di level 3,5%.

Pemerintah; Kondisi Indonesia jauh lebih baik dari Sri Lanka

Pemerintah, melalui staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menegaskan, kondisi Indonesia jauh berbeda dan lebih baik dibandingkan Sri Lanka.

Dari sisi ekonomi, menurutnya, Indonesia memiliki kualitas PDB dan struktur ekonomi yang kuat.

Ia menambahkan, diikuti oleh penerimaan pajak negara yang berkelanjutan, utang terkendali serta industri manufaktur yang cukup baik.

Di sisi politik, ujarnya, kini Indonesia memiliki sistem demokratis dan tata kelola pemerintahan baik, serta hukum yang kuat.

"Misalnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan isu-isu yang muncul di Sri Lanka adalah kondisi kita tahun 1998," katanya.

Walau demikian, pemerintah tetap, "mewaspadai dinamika ekonomi global dan geopolitik."

Pelajaran apa yang bisa diambil?

Terdapat beberapa pelajaran yang bisa diambil dari krisis ekonomi Sri Lanka untuk mencegah kejadian serupa terjadi di Indonesia.

Pertama, jangan mengantungkan ekonomi terlalu besar pada satu atau dua sektor komoditi, seperti pariwisata contohnya yang terpukul akibat pandemi Covid-19.

"Kita harus terus mendiversifikasi ekonomi, terutama ke sektor-sektor yang memiliki nilai tambah, seperti manufaktur yang bisa menjadi bantalan kalau ada external shock," kata Faisal.

Kedua, jangan mengantungkan diri terlalu besar terhadap produk impor, khususnya di sektor pangan dan energi.

"Ketika harga kebutuhan esensial dunia naik maka akan menganggu ketahanan nasional. Sebaliknya, kita harus meningkatkan produksi dalam negeri sehingga ketergantungan dan dampak negatif bisa diminimalisir," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI