Suara.com - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merilis hasil studi kuantitatif barometer kesetaraan gender tentang persepsi dan tingkat dukungan warga terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hasilnya sebanyak 98 persen responden menyatakan dukungan terhadap UU TPKS.
"Hampir semua 98 persen dari responden itu merasa bahwa UU TPKS sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia," ujar Tim Riset Kuantitatif SETARA, INFID yang juga Peneliti Demokrafi FEB Universitas Alfindra Primaldhi dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (12/7/2022).
Diketahui, DPR RI mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS pada 12 April 2022. Adapun UU TPKS terdiri dari 8 bab dan 93 pasal.
Baca Juga: Wenny Ariani Tagih Janji Rezky Aditya Lakukan Tes DNA, 2 Bulan Lebih Tak Ada Kabar
Dari riset INFID itu juga, kata Alfiandra, terungkap lebih dari 53 persen responden setuju dengan hukuman yang diatur dalam UU TPKS.
Selain itu dari hasil riset, lebih dari 75 persen responden setuju dengan adanya rehabilitasi terhadap pelaku kekerasan seksual, dihilangkannya proses damai kecuali untuk pelaku anak dan pemberian pendampingan korban selama proses hukum.
"Artinya apa? Yang tertuang di dalam pasal-pasal di undang-undang TPKS ini sepertinya sudah sejalan dengan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat," terangnya.
Peneliti juga menanyakan perihal ketentuan korban kekerasan seksual mendapatkan ganti rugi. Hasilnya sebanyak 90 persen responden setuju bahwa korban kekerasan seksual mendapatkan ganti rugi.
Selain itu, kata Alfindra, 75 persen responden juga setuju keluarga korban kekerasan seksual untuk turut mendapatkan bantuan.
Baca Juga: Tampil Perdana di FIBA Asia Cup 2022: Timnas Basket Indonesia Libas Arab Saudi dengan Skor Telak
"90 persen ke atas setuju bahwa korban kekerasan seksual harus mendapatkan ganti rugi logis mencakup perawatan medis, psikologi kerugian yang diderita dan sebagainya dan 75 persen dari responden juga mendukung adanya bantuan untuk korban kekerasan seksual," tuturnya.
Lebih lanjut, Alfindra menuturkan hasil riset menyatakan sebanyak 80 persen responden mendukung berbagai macam sumber dana bantuan korban kekerasan seksual.
Dana tersebut berasal dari dana pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dari perusahaan sebagai bentuk tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan. Lalu berasal dari apabila harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi diberikan oleh negara melalui dana bantuan korban.
Selain itu dananya bisa berasal dari dana filantropi maupun hasil secara kolektif dari masyarakat.
Kata Alfindra, 91 persen responden mendukung dana pendapatan negara bukan pajak (PNBP) digunakan untuk dana bantuan untuk korban kekerasan seksual.
"91 persen responden mendukung bahwa PNPB digunakan untuk dana bantuan untuk korban KS. Kita lihat macam-macam sumber ini disetujui, bahkan dana yang dikumpulkan secara kolektif dari masyarakat pun menjadi opsi untuk memberikan bantuan untuk korban kekerasan seksual," papar Alfindra.
Lebih lanjut, dalam hasil riset menyebutkan lebih dari 95 persen responden mendukung pasal yang terkait dengan perlindungan korban, pembunuhan korban dan pemulihan korban setelah proses keadilan.
"Ahamdulillah lebih dari 95 persen mendukung pasal ini. Memang undang-undang TPKS sesuatu yang sangat dibutuhkan dan sepertinya akan dirasakan sekali manfaatnya oleh masyarakat," katanya.
Sebagai informasi, survei dilakukan dengan melibatkan 1.200 responden di 20 kota dan kabupaten yang dipilih berdasarkan penyebaran geografis, jumlah penduduk dan jumlah kasus kekerasan seksual sebagaimana yang direkomendasikan oleh LSM yang menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia yaitu INFID, SETARA, Komnas Perempuan dan LSM Mitra INFID.
Adapun proses pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Mei 2022 atau setelah pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022.