Awal Mula Krisis Sri Lanka sampai Presiden Gotabaya Rajapaksa Mengundurkan Diri

Selasa, 12 Juli 2022 | 18:54 WIB
Awal Mula Krisis Sri Lanka sampai Presiden Gotabaya Rajapaksa Mengundurkan Diri
Ribuan warga Sri Lanka gelar aksi demo di kantor Presiden. (Foto: AFP)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Media ramai menyoroti masalah yang menimpa negara Sri Lanka, usai Presiden Gotabaya Rajapaksa memutuskan akan mengundurkan diri pada 13 Juli 2022. Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri setelah krisis ekonomi melanda dan memicu aksi protes besar-besaran dari rakyat Sri Lanka.

Permasalahan yang ada di masyarakat ini hingga membuat masyarakat menggeruduk kediaman Presiden Gotabaya Rajapaksa. Bahkan, massa sampai renang di kediaman presiden dan dikabarkan menemukan setumpuk uang.

Lantas, bagaimana awal mula krisis Sri Lanka?

Awal Mula Krisis Sejak 2019

Baca Juga: Selain Sri Lanka, 7 Negara Ini Juga Terancam Bangkrut Akibat Inflasi 'Gila-gilaan'

Krisis yang terjadi di negara tersebut sebenarnya sudah ada sejak tahun 2019 lalu. Krisis tersebut bermula saat terjadi insiden pengeboman di Kolombo dan kota-kota lain pada bulan April 2019. Kejadian tersebut menewaskan lebih dari 250 orang. 

Kejadian tersebut membuat industri pariwisata negara tersebut terpuruk, terlebih lagi ditambah dengan hadirnya pandemi Covid-19. Para turis meninggalkan negara Sri Lanka hingga membuat arus mata uang asing menyusut tajam dan pengiriman uang dari 1,5 juta pekerja Sri Lanka yang tinggal di luar negeri anjlok.

Tidak hanya itu, Sri Lanka juga mendapatkan pukulan inflasi yang tinggi dari krisis rantai pasok global. Permasalahan negara tersebut tidak berhenti sampai situ, harga komoditas setelah invasi Rusia ke Ukraina juga membuat keadaan negara tersebut semakin memburuk. Hal tersebut tentu saja memicu kenaikan biaya impor, penurunan cadangan devisa, kekurangan pasokan, dan inflasi yang tinggi.

Sisi lain ada yang menyebut bahwa krisis yang terjadi di negara Sri Lanka disebabkan oleh perangkap utang China. Hal tersebut diungkap oleh beberapa ahli, mereka menyebut bahwa China menjerat negara-negara berkembang dengan pinjaman besar-besaran.

Utang Sri Lanka kepada China menyumbang sekitar 10% dari total pinjaman luar negeri, angka tersebut hampir setara dengan utang ke Jepang. Namun, beberapa ahli mengatakan bahwa angka tersebut hanya mencakup pinjaman dari pemerintah China dan tidak termasuk utang perusahaan milik China.

Baca Juga: Usai Digeruduk Massa, Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka Menghilang, Partai Oposisi Siap Ambil Pemerintahan

Sri Lanka merupakan salah satu negara di antara banyaknya negara lain yang menghutang ke China, serta menghadapi berbagai permasalahan seperti dampak Covid-19 dan perang Ukraina. Namun, yang menjadi pembeda antara Sri Lanka dengan negara lain adalah permasalahan kepemimpinan.

Diketahui, keluarga Rajapaksa sudah sejak lama mendominasi politik yang ada di Sri Lanka. Di tahun 2005, saudara dari Gotabaya Rajapaksa, Mahinda Rajapaksa, seorang legislator lama memenangkan pemilihan presiden dan menunjuk adiknya, Gotabaya yang juga seorang mantan perwira militer sebagai menteri pertahanan.

Empat tahun menjalani masa jabatannya, pasangan tersebut kemudian berhasil menumpas pemberontak Tamil yang berjuang untuk kemerdekaan wilayah utara dan timur. Hal tersebut merupakan pencapaian besar karena Sri Lanka berhasil mengakhiri perang saudara yang sudah terjadi selama 26 tahun.

Permasalahan sipil selesai, ekonomi Sri Lanka mulai menggeliat. Beberapa proyek seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan, serta infrastruktur lainnya mulai pelan-pelan tertata. Turis asing kembali berdatangan ke negara tersebut.

Dilansir dari New York Times, Sri Lanka disebut sebagai tujuan wisata nomor satu dalam peringkat ‘Places to Go in 2010’. Euforia usai perang saudara juga memicu belanja konsumen, membantu mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 9,2% di tahun 2012.

Namun, seiring berjalannya waktu, Presiden Mahinda mulai menunjukkan kecenderungan otoriter. Mahinda kembali terpilih di tahun 2010, ia dengan kuasanya menunjuk Gotabaya dan anggota keluarga lain untuk memegang jabatan penting di pemerintahan.

Pada tahun 2015, masa jabatannya habis dan ia gagal untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden. Hal tersebut terjadi karena para pemilih mulai muak dengan nepotisme dan korupsi di pemerintahannya serta ketergantungan berlebihan Sri Lanka pad China.

Di tahun 2019, Sri Lanka mengalami serangan teroris yang membuat keluarga Rajapaksa kembali berkuasa di negara tersebut.

Hal itu terjadi karena amandemen konstitusi melarang Mahinda mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden, Gotabaya Rajapaksa yang merupakan adik dari Mahinda Rajapaksa kemudian mencalonkan diri dan memenangkan kursi kepresidenan.

Saat menjabat jadi seorang presiden, Gotabaya menunjuk Mahinda menjadi perdana menteri dan menunjuk anggota keluarga lain untuk menjabat sebagai kementerian utama, seperti menteri keuangan, menteri irigasi, dan menteri pemuda dan olahraga.

Para ahli banyak yang menilai bahwa Mahinda dan Gotabaya banyak membuat kesalahan serius yang berkontribusi pada krisis saat ini.

Mahinda melakukan kesalahan berupa mendorong proyek-proyek infrastruktur yang sia-sia dengan nilai ekonomi yang kecil. Setelah mengalami konflik sipil yang panjang, Sri Lanka memang membutuhkan pelabuhan dan bandara, tetapi hanya ada sedikit permintaan untuk pelabuhan Hambantota.

Di tahun 2010, sebagian besar digunakan untuk membongkar kendaraan bekas. Bandara Internasional Mattala Rajapaksa yang dibuka pada tahun 2013 bahkan disindir sebagai bandara terkosong di dunia karena sedikitnya maskapai yang menggunakannya.

Sementara itu, pada pemerintahan Gotabaya, ia melakukan kesalahan dengan memilih kebijakan populis daripada reformasi yang menyakitkan tetapi perlu dilakukan. 

Sejak tahun 2016 dan empat tahun selama keluarga Rajapaksa tidak berkuasa, negara tersebut sempat mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat basis fiskalnya dengan imbalan fasilitas pinjaman IMF sebesar US$ 1,5 miliar.

Kemudian, pada tahun 2019, Gotabaya menjabat sebagai presiden, ia membalikkan kebijakan tersebut dengan mempromosikan pemotongan pajak hingga membuat pendapatan pemerintah turun 500 miliar rupee Sri Lanka (US$ 1,36 miliar).

Pada saat itu, Sri Lanka mengalami kebangkrutan dan gagal memenuhi pembayaran utang. Negara tersebut tidak memiliki pilihan selain melakukan reformasi struktural dan restrukturisasi utang di bawah program IMF, sambali memanfaatkan World Bank, India, China, dan sumber lain untuk pinjaman.

Terjadinya inflasi yang tinggi di negara tersebut menjadi masalah besar di Sri Lanka. Kabarnya, Sri Lanka telah menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam dua dekade. Langkah tersebut diambil untuk mencegah inflasi yang tidak terkendali dan menghindari pukulan ekonomi yang lebih dalam.

Bank sentral Sri Lanka menaikkan suku bunga pinjaman sebesar 100 basis poin menjadi 15,50%. Sementara, fasilitas simpanan naik menjadi 14,50%, tertinggi sejak Agustus 2001. Inflasi yang terjadi di Sri Lanka dari tahun ke tahun telah menyentuh 54.6% di bulan Juni.

Saat ini, Sri Lanka dilanda krisis dan telah mengumumkan bahwa negara tersebut bangkrut. Kediaman presiden dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe juga menjadi korban amukan massa. 

Kontributor : Syifa Khoerunnisa

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI