Suara.com - Sang pengrajin bambu, Markus Lina kini pantas bangga sudah 'go internasional'. Dulunya dia berjualan di trotoar, kini berjualan di ajang G20.
Markus Lina berjualan di lapak pameran di Hotel Meruorah, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Pria berusia 45 tahun itu tampak antusias memamerkan produk lokal saat disambangi tamu dari delegasi pertemuan kedua Sherpa G20 di Labuan Bajo yang berlangsung selama 9-13 Juli 2022. Dia bersama seorang rekan
Markus Lina tak menyangka bisa mengikuti pameran yang dihadiri para pemangku kepentingan atau pejabat penting dari berbagai negara di dunia.
Baca Juga: Progres Revitalisasi Taman Mini Indonesia Indah Sudah Capai 70%
Baginya, mengikuti pameran di ajang G20 bagaikan mimpi indah yang menjadi kenyataan.
Kreativitas mengolah bambu menjadi aneka produk ekonomi kreatif telah mengantarnya bergelut di dunia usaha kecil-menengah hingga ikut serta dalam pameran Sherpa G20.
Namun perjalanan awal meniti usahanya tak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Ayah tiga anak itu pertama kali memperkenalkan produknya ke masyarakat pada 2014 silam dengan berjualan di trotoar jalanan Kota Bajawa.
Sampai pada sebuah momentum yang mampu memacu semangatnya berusaha yaitu ketika mengikuti pameran tingkat lokal yang diinisiasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Kabupaten Ngada.
Di pameran tu, produk kap lampu dari bambu mampu menyita kepala daerah setempat saat itu yang langsung memborong sebanyak 150 buah seharga Rp15 juta.
"Dari situ lah semangat luar biasa muncul dalam diri saya untuk mulai berkreasi menciptakan produk-produk dari bambu," katanya.
Bambu merupakan salah satu tumbuhan potensial yang banyak ditemukan di lahan perkebunan masyarakat Kabupaten Ngada maupun daerah lain di Pulau Flores.
Di tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan Kabupaten Ngada sebagai pusat unggulan untuk program 1000 desa bambu sebagai suatu platform dalam mengembangkan dan memperkuat pemanfaatan bambu di Indonesia melalui industri bambu berbasis masyarakat.
Namun, tumbuhan dengan yang dalam istilah bahasa Latin disebut Bambusoideae itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan keuntungan ekonomi. Kebanyakan masyarakat setempat memanfaatkan bambu bahan bangunan rumah atau pondok, pagar, maupun kandang ternak.
Berbeda dengan Markus Lina, ia mampu melirik potensi tumbuhan bambu yang bisa dikembangkan menjadi beragam produk yang bernilai jual lebih tinggi dengan sentuhan kreativitas kerajinan tangan.
Baginya, usaha produk dari bambu cukup menjanjikan secara ekonomi karena di daerah setempat belum ada usaha serupa yang dijalankan warga lainnya.
Di sisi lain, pasokan bahan baku sangat mudah diperoleh karena diproduksi sendiri di lahan perkebunan keluarganya di Desa Manubara, Kecamatan Inerie.
Bahkan, ketika permintaan produk meningkat bahan baku juga dapat dipasok dengan mudah dari warga lain di desa.
Daya tarik produk berbasis bambu itu sangat tergantung dari seberapa kreatif perajin.
Menyadari hal itu, Markus Lina yang sebelumnya belajar mengolah bambu secara otodidak, memutuskan untuk meningkatkan daya kreativitas dengan belajar ke Garut, Jawa Barat.
Selama sebulan di Garut, ia bersama tiga orang warga lain yang bersama-sama dengannya menjalankan usaha hingga saat ini, belajar memproduksi beraneka produk dari bambu.
Usaha bambu yang digeluti melalui UMKM yang dinamakan Koeslin Bamboo Flores kini terus bertumbuh dan telah mempekerjakan sebanyak 7 orang anak muda desa yang tidak berpendidikan formal atau putus sekolah.
Permintaan produk pun berdatangan, salah satunya dari pihak Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT yang memesan sebanyak 100 buah gelas dan selusin tumbler bambu.
Di balik dampak ekonomi yang dinikmati, Markus Lina mengaku puas karena bisa mengangkat salah satu potensi lokal dari Ngada yaitu bambu untuk disuguhkan bagi publik hingga ke tingkat mancanegara. (Antara)