Suara.com - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengumumkan hasil penyelidikannya terkait dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar, walaupun yang bersangkutan sudah mundur sebagai Wakil Ketua KPK, kata pegiat anti korupsi.
Tindakan ini harus dilakukan KPK sebagai bentuk tanggungjawab atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan eks pimpinannya.
Upaya itu juga penting untuk mengetahui motif dan tujuan di balik pemberian gratifikasi itu.
Sebelumnya, Dewan Pengawas dalam sidang pemeriksaan, Senin (11/07), menyatakan, Lili, 56 tahun, tidak dapat diadili secara etik, lantaran sudah mengundurkan diri.
Namun menurut peneliti dari LSM Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, komisi antirasuah itu tidak bisa menutupi temuannya itu kepada masyarakat.
"Walaupun persidangan normatif itu gagal diselenggarakan, karena statusnya [Lili Pintauli] yang berubah, tapi saya kira informasi sementara yang didapatkan Dewan Pengawas KPK itu bisa dibuka ke masyarakat," kata Alvin kepada BBC News Indonesia, Senin (11/07).
BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara KPK, Ali Fikri, melalui pesan tertulis, namun sampai Senin (11/07) malam, belum memberikan tanggapan.
Apa dugaan gratifikasi yang diterima Lili?
Lili diduga menerima gratifikasi tiket balap sepeda motor MotoGP Mandalika serta akomodasi di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, pada Maret lalu.
Dia disinyalir menerimanya secara cuma-cuma dari PT Pertamina, salah-satu sponsor utama MotoGP Mandalika. Nilai gratifikasi itu dilaporkan ditaksir mencapai Rp90 juta, ungkap majalah Tempo, pekan ini.
Baca Juga: Sidang Pelanggaran Etik Gugur, MAKI Desak KPK Usut Dugaan Tindak Pidana Lili Pintauli
Kasus ini kemudian dilaporkan oleh masyarakat ke Dewan Pengawas KPK pada April lalu, tetapi Lili berhalangan hadir saat pemeriksaan.
Keterangan resmi KPK menyebutkan, Lili berhalangan hadir karena harus menemani pimpinan KPK di acara pertemuan kedua G20 Anti-Corruption Working Group di Bali.
Tuduhan Lili mangkir dari pemeriksaan dibantah KPK, karena agenda di Bali sudah diagendakan sejak awal, kata juru bicara KPK Ali Fikri kepada media.
Baca juga:
- Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar akan diseret ke ranah pidana
- Dugaan korupsi dana bantuan pesantren Rp2,5 triliun, Kemenag perlu 'reformasi tata kelola'
- 'Persoalan 75 pegawai KPK akan selesai jika presiden punya niat baik'
Mundur dari jabatan, dan penyelidikan dihentikan
Setelah menimbulkan kritikan dari pegiat antikorupsi, Lili akhirnya menghadiri sidang etik Dewan Pengawas, Senin (11/07) pagi.
Namun pada saat yang hampir bersamaan, Lili diinformasikan telah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK sejak 30 Juni 2022 lalu.
Dewan Pengawas KPK telah menerima surat pengunduran diri Lili yang sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dalam bentuk Kepres.
Di sinilah, ketua majelis sidang etik, Tumpak Hatorangan Panggabean, menyatakan Lili tidak dapat diadili secara etik.
"Menetapkan menyatakan gugur sidang etik dugaan pelanggaran kode etik atas nama terperiksa Lili Pintauli Siregar dan menghentikan penyelenggaraan etik," kata Tumpak di ruangan sidang terbuka, Senin (11/07).
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, membenarkan, Lili telah mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden Jokowi.
"Surat pengunduran diri Lili Pintauli Siregar telah diterima oleh Presiden Jokowi.
"Presiden Jokowi sudah menandatangani Keppres Pemberhentian LPS," kata Faldo kepada wartawan, Senin (11/07).
Dia menjelaskan penerbitan keppres itu merupakan prosedur administrasi yang disyaratkan dalam Undang-Undang KPK.
Dimintai tanggapan atas keputusan sidang etik tersebut, Lili berujar singkat: "Terima kasih, majelis. Saya menerima penetapan majelis."
'Umumkan kepada publik hasil investigasi'
Namun peneliti dari LSM Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, meminta Dewan Pengawas tidak 'menutup' hasil temuan mereka.
"Saya kira Dewan Pengawas bisa mengumumkan ke publik bukti-bukti sementara yang mereka sudah dapatkan, dan juga sebenarnya preseden-preseden lain selama proses investigasi," kata Alvin.
Langkah ini, lanjutnya, sebagai bentuk tanggungjawab KPK terkait dugaan gratifikasi oleh eks pimpinannya.
"Saya kira itu mendesak dilakukan dalam jangka waktu pendek ini," katanya.
Hal ini ditekankan Alvin, karena sebagian pegiat antikorupsi menduga tuduhan grativikasi itu kemungkinan terkait perkara yang diusut KPK.
Lili pernah melanggar kode etik, gajinya dipotong
Apalagi, menurutnya, Lili pernah divonis melanggar kode etik karena berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Muhammad Syahrial, Juni 2021.
Saat itu Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok Rp1,8 juta selama setahun.
Semula Lili menyangkal tuduhan itu, namun Dewan Pengawas menyatakan memiliki bukti-bukti tentang dugaan itu.
"Banyak pelanggaran etik yang bisa diteruskan ke ranah pidana, misalnya dalam kasus Lili menerima gratifikasi dari Pertamina," ujarnya.
"Yang sebenarnya bisa diusut lebih dalam, jika Dewan Pengawas bisa melakukan pengusutan lebih mendalam," tambah Alvin.
Sebagai pejabat negara, menurutnya, seharusnya Lili melaporkan bahwa dirinya menerima gratifikasi itu. "Tapi ternyata dia tidak melaporkan."
Dengan pengusutan lebih lanjut, demikian Alvin, dapat dibongkar motif dan tujuan di balik pemberian gratifikasi dari Pertamina kepada Lili.
BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara KPK, Ali Fikri, melalui pesan tertulis ke telepon genggamnya, namun tidak memberikan tanggapan, sampai berita ini diturunkan, Senin (11/07).
Namun dalam berbagai kesempatan, Ali Fikri kepada pers, pernah mengatakan: "KPK tentu mendukung proses penegakan etik yang sedang berlangsung di Dewan Pengawas."
Persoalan gratifikasi diatur dalam Pasal 128 UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal Satu disebutkan, setiap gratifikasi kepada penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dengan ketentuan, nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Adapun yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Dalam Pasal Dua dijelaskan, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun, dan paling lama 20 tahun.
Serta, pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak satu milyar Rupiah.