Para Perempuan Jadi Korban Gempa Afganistan Lebih Menderita

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 12 Juli 2022 | 10:07 WIB
Para Perempuan Jadi Korban Gempa Afganistan Lebih Menderita
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Orang-orang di sini tidak ingin perempuan dirawat oleh dokter laki-laki. Karena mentalitas ini, banyak perempuan menghadapi situasi yang lebih menderita," kata dokter Laila Moqbal.

Paktika, sebuah provinsi di pegunungan terpencil di Afghanistan, menjadi berita utama di seluruh dunia setelah gempa bumi mematikan membuat desa-desa di kawasan ini menjadi timbunan puing pada 22 Juni lalu.

Berbagai badan bantuan kemanusiaan menyebut lebih dari 1.000 orang tewas akibat bencana alam tersebut. Jumlah penduduk yang mengalami luka parah diyakini jauh lebih banyak.

"Kami bekerja berjam-jam karena perempuan sangat bergantung pada kami. Perempuan ingin ditangani oleh petugas medis perempuan karena tuntutan kelompok laki-laki setempat," kata Laila.

Baca Juga: Cerita Korban Selamat Gempa Afghanistan: Saya Tidak Kuat Bicara Tentang Ini

Baca juga:

Setidaknya antara 400.000 hingga 700.000 orang tinggal di Provinsi Paktika. Selain Laila, hanya terdapat satu dokter perempuan terkenal lain yang bekerja di provinsi ini.

"Kami sangat membutuhkan lebih banyak dokter perempuan di sini untuk merawat pasien perempuan," ujar Laila.

Terluka dan trauma

Laila telah menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat Paktika selama sekitar 15 tahun. Beban kerjanya berlipat ganda setelah gempa bumi Juni lalu.

Laila berhasil tiba di rumah sakit sekitar pukul 4 pagi atau hanya beberapa jam setelah gempa terjadi.

Baca Juga: Penyintas Gempa Afghanistan Rentan Kena Wabah Penyakit, Ketersediaan Air Bersih Sangat Penting

"Pada pagi pertama, saya merawat sekitar 20 korban perempuan yang dibawa ke rumah sakit kami. Dalam seminggu, jumlahnya bertambah hingga lebih dari 85 perempuan dengan luka parah," katanya.

Saat gempa terjadi pada malam 22 Juni, Paktika tengah diguyur hujan. Orang-orang tertimpa atap yang runtuh. Banyak perempuan kehilangan nyawa karena mereka tengah tidur saat gempa bumi.

Beberapa korban perempuan yang masih bernapas kemudian dilarikan ke rumah sakit. Mereka harus menempuh jalanan yang tidak beraspal dan rusak.

Laila harus menghadapi berbagai macam luka dan penyakit. Dia merawat patah tulang, cedera kepala, luka dan memar.

Banyak pasien yang dia tangani mengalami pendarahan hebat. Tidak jarang, Laila juga harus menawarkan bantuan psikologis kepada para pasiennya.

Beberapa perempuan berteriak kesakitan dan menangis. Beberapa di antara mereka kehilangan anak-anak mereka.

Laila juga merawat pasien yang kehilangan suami. Beberapa pasiennya bahkan kehilangan seluruh anggota keluarga dekat mereka.

"Para perempuan itu trauma. Seorang perempuan yang kehilangan banyak kerabatnya mengatakan kepada saya bahwa dia tidak ingin hidup," kata Laila.

Laila dan timnya yang terdiri dari delapan perawat dan bidan perempuan. Mereka mengupayakan yang terbaik dengan peralatan dan obat-obatan yang tersedia.

Perempuan hamil

Banyak pasien tidak mendapatkan pertolongan pertama dan baru dilarikan ke rumah sakit satu atau dua hari setelah gempa.

"Seorang perempuan muda dibawa ke sini dalam kondisi sangat kritis. Saya bisa melihat lumpur di pakaian dan tubuhnya. Dia hamil 18 minggu. Bayinya masih hidup, tapi dia dalam keadaan koma," ujar Laila.

Menyadari bahwa dia membutuhkan banyak intervensi medis yang intensif, Laila merujuk korban gempa itu ke rumah sakit yang lebih besar di ibu kota Afganistan, Kabul.

Menumpang sejumlah ambulans sederhana, tanpa peralatan penyelamat, perjalanan ke Kabul akan memakan waktu berjam-jam untuk menempuh jarak 200 kilometer.

"Saya tidak tahu apakah dia selamat," ujar Laila.

Tidak akan mengungkapkan nama

Beberapa perempuan lain mencapai rumah sakit setelah tim penyelamat mengatur transportasi.

"Beberapa dari korban dibawa ke rumah sakit oleh kerabat jauh mereka. Beberapa di antaranya tidak mendapatkan perawatan," tuturnya.

Bagi perempuan yang selamat, hambatan budaya tampaknya menjadi rintangan besar.

Banyak perempuan di Paktika tidak mau mengungkapkan nama mereka kepada orang luar. Perbuatan itu dianggap sebagai tindakan yang memalukan. Beberapa pasien perempuannya mendesak Laila untuk menulis resep atas nama anak laki-laki atau kerabat laki-laki mereka.

Beberapa hari setelah gempa, semakin banyak bantuan mulai menjangkau korban gempa. Laila berkata, dia sekarang memiliki cukup obat untuk mengobati yang terluka.

Disalahkan

Taliban, yang merebut kekuasaan Afganistan tahun lalu, menyalahkan pemerintahan terdahulu yang didukung Amerika Serikat atas terbatasnya dokter perempuan di negara itu, termasuk Paktika.

Pejabat Taliban di Paktika mengatakan, saat ini terdapat tiga rumah sakit pusat dan sekitar 80 klinik di provinsi tersebut. Setelah gempa terjadi, banyak lembaga kemanusiaan membawa tim medis tambahan.

Namun kelompok militan itu mengakui bahwa kekurangan dokter perempuan merupakan masalah serius karena menghambat upaya bantuan terhadap para korban.

Seorang pejabat yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya mengatakan kepada BBC bahwa gerilyawan Taliban bertanggung jawab untuk menciptakan ketidakstabilan dan iklim ketakutan, yang telah mengusir para dokter.

Tidak ada dokter

Akar masalah yang kini terjadi di Paktika dipicu persoalan yang lebih mendalam. Paktika adalah salah satu provinsi paling konservatif di Afganistan. Tidak ada perempuan di daerah ini yang berprofesi sebagai dokter.

Sampai saat ini, sangat sedikit anak perempuan yang dapat menyelesaikan sekolah 12 tahun penuh di Paktika.

Ada banyak prasangka tradisional yang menghalangi anak perempuan mengenyam pendidikan, seperti pernikahan dini. Jadi, sulit untuk menemukan warga lokal yang memiliki pengetahuan dan keahlian.

Ketika Laila mengikuti kursus di Rumah Sakit Bersalin Malalai di Kabul, dia membujuk sejumlah dokter lain untuk berpraktik di Paktika.

"Dia dokter spesialis perempuan seperti saya dan setuju untuk datang ke Paktika. Tapi ketika Taliban berkuasa, dia mengundurkan diri dan pindah ke provinsi Herat. Dokter lain menggantikannya. Kami berdualah merawat pasien perempuan," ujar Laila.

Larangan sekolah

Karena ada pemberlakuan pembatasan sosial, Laila dan rekannya harus mengobati berbagai jenis penyakit dan cedera untuk menyelamatkan nyawa.

"Selama ini, saya merawat perempuan yang terluka akibat ledakan dan bom. Saya juga melakukan operasi. Saya selalu ada untuk perempuan yang membutuhkan saya," ucapnya.

Memberdayakan perempuan

Selama bertahun-tahun, Laila telah melakukan yang dia bisa untuk memberdayakan perempuan lokal. Dia juga mendorong para ibu untuk menyekolahkan anak perempuan mereka.

"Saya selalu mengatakan bahwa pendidikan perempuan adalah hal yang baik. Mereka biasanya menerimanya, tapi masalahnya adalah suami mereka tidak mau bekerja sama," kata Laila.

Pemerintah Taliban melarang anak perempuan, antara kelas 7 dan 12 mengikuti pendidikan formal di sekolah. Meskipun ada kecaman internasional, Taliban berkeras menghentikan anak perempuan pergi ke sekolah.

Meski menghadapi tantangan yang berat, Laila berharap gempa bumi akan membuat banyak kalangan memikirkan kembali pemahaman mereka tentang hak yang semestinya diraih perempuan.

"Saya mengatakan kepada para tetua suku beberapa kali bahwa mereka harus menekan para pejabat untuk membangun sekolah menengah perempuan di Paktika. Tanpa pendidikan tidak akan ada masa depan," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI