Sebuah Pulau di Solomon Menolak Kehadiran Investasi China

SiswantoABC Suara.Com
Senin, 11 Juli 2022 | 12:59 WIB
Sebuah Pulau di Solomon Menolak Kehadiran Investasi China
Kepulauan Solomon [shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kepulauan Solomon menjadi perhatian sejumlah negara ketika menandatangani perjanjian keamanan rahasia dengan China, namun ada satu pulau di sana yang menolak keras. 

Ada sebuah jembatan tua di pinggiran Kota Auki di Kepulauan Solomon.

Jembatan ini memiliki satu jalur jalan yang sudah lama, ketinggalan zaman, tapi merupakan infrastruktur satu-satunya yang menghubungkan wilayah utara dan selatan pulau tersebut.

Sudah sejak lama jembatan ini direncanakan untuk diperbaiki. Tahun lalu sebuah perusahaan telah memenangkan tender untuk merehabilitasi dan memperluasnya menjadi dua jalur.

Baca Juga: Australia Bantah Tudingan akan Menginvasi Kepulauan Solomon

Namun bagi Daniel Suidani, pemimpin wilayah setempat, ada persoalan besar di balik rencana ini.

"Perusahaannya dari China," ujarnya. "Kami tak mengizinkan perusahaan China beroperasi di sini."

Daniel Suidani adalah tokoh kontroversial di Kepulauan Solomon.

Dia adalah pemimpin Malaita, provinsi terpadat di negara ini; yang merupakan sebuah pulau panjang, unik dan misterius sekitar 100 kilometer sebelah utara ibu kota negara, Honiara.

Sebagai seorang mantan guru sekolah, Daniel belum lama terjun ke politik dan baru terpilih untuk jabatannya pada tahun 2019.

Baca Juga: Australia Inginkan Hubungan Tenang dengan Kep. Solomon Usai Klaim Invasi

Dalam politik Kepulauan Solomon, perdana menteri dari sembilan provinsi, seperti Daniel, umumnya dihambat oleh pemerintah pusat di Honiara, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Manasseh Sogavare dan memegang kekuasaan yang hampir otonom.

Namun Daniel menolak apa yang digambarkan oleh seorang ahli sebagai "contoh ekstrem" dari upaya untuk menentukan nasib sendiri.

Bagi kebanyakan orang Malaitan, dia adalah seorang pahlawan — sosok yang menentang kehadiran China di negara yang baru-baru ini membuka tangan untuk negara adidaya Asia itu.

Namun, di Honiara, pemerintah menganggapnya sebagai pembuat onar; sosok yang menghambat pembangunan yang sangat dibutuhkan dan pemicu ketegangan di negara yang sedang bergolak ini.

Ketika diminta untuk menjelaskan alasan sikap anti-China yang dipegangnya, Daniel mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia memiliki daftar panjang.

Yang pertama adalah 'Peralihan Dukungan' atau The Switch.

Pada 2019, Pemerintah Kepulauan Solomon mengubah dukungannya dari Taiwan ke China. Makanya, Daniel membuat "Komunike Auki", yang melarang investasi yang didukung China di provinsi yang dipimpinnya.

Dia tetap mendukung dan mengakui kedaulatan Taiwan.

Dan masih ada alasan lain lagi.

Daniel mengatakan infrastruktur yang dibangun oleh perusahaan Cina "tidak pernah bertahan lama". Mereka menggunakan "barang murah". Dia terus terang mengaku lebih suka perusahaan Jepang, Australia, atau Selandia Baru.

Pada 2019, analisis Lowy Institute menemukan "bukti bahwa jika dibiarkan, perusahaan negara China akan mengambil jalan pintas dan menaikkan harga. Jika dikelola dengan benar, mereka dapat memberikan infrastruktur berkualitas baik."

Lebih lanjut, sebagai "Provinsi Kristen" Daniel terang-terangan mengatakan "ateisme" orang China berarti mereka tidak bisa "berjalan bersama".

Begitu orang China masuk ke suatu tempat, katanya, negara-negara Pasifik tidak memiliki "kekuatan" atau "perlindungan" untuk "menjaga diri sendiri". Kemudian orang China akan "mengubah sistem" di tempat tersebut.

Tapi mungkin alasan yang lebih kuat, Daniel mengaku hanya membela kebanggaan rakyatnya - rakyat Malaita.

"Kami menjalankan sebuah demokrasi di Malaita, kami percaya pada prinsip demokrasi," ujarnya.

"Mereka itu negara Komunis. Kami sangat mempertimbangkan keterlibatan Partai Komunis di sini," kata Daniel.

"Mereka tak boleh masuk ke sini, bagaimana pun caranya."

Berjalan-jalan di Pecinan

Kehadiran pengaruh China di Kepulauan Solomon bukanlah hal baru.

Toko-toko kelontong yang dikelola dan dimiliki oleh orang China telah ada di sana selama beberapa dekade. Bahkan ada yang beroperasi di Auki — fakta yang menurut Daniel bisa diterima saja karena kehadiran mereka "sebelum saya jadi pemimpin di sini".

Imigrasi China ke Kepulauan Solomon berlangsung sebelum Perang Dunia II dan beberapa pulau memiliki memiliki warisan China yang menonjol.

Bahkan ada lagu terkenal dalam budaya Kepulauan Solomon, "Walkabout Long Chinatown" — yang setara dengan "Waltzing Matilda" di Australia.

Namun sejak 'The Switch', ketegangan yang ditimbulkan akibat pengaruh China di Kepulauan Solomon meningkat.

Para pengamat menyebut peralihan itu tidak memiliki dukungan publik yang luas, termasuk Daniel Suidani, yang menuduh China telah melakukan penyuapan.

Pada bulan November, massa yang marah — kebanyakan orang Malaita — menuntut PM Sogavare mengundurkan diri.

Dia menolak, dan sebagian Pecinan dibakar habis. Bangunan pertokoan yang mengibarkan bendera Taiwan terhindar dari amukan massa.

Meskipun sejumlah massa menggunakan kerusuhan sebagai peluang untuk mencuri atau menimbulkan keonaran, namun PM Sogavare melihatnya sebagai pemberontakan untuk menggulingkannya.

Pasukan Australia tambahan dikirim untuk membantu menjaga perdamaian, dan kemudian pasukan China tiba.

Pekan lalu PM Sogavare mengumumkan bahwa kehadiran pasukan China itu akan bersifat "permanen".

Daniel Suidani telah dituduh menyulut api dan bahkan memiliki peran langsung dalam kerusuhan itu. Namun dia membantahnya.

"Pemerintah harus menanggapi aspirasi rakyat," katanya.

"Jika Anda terus mengabaikan keinginan rakyat, maka Anda harus menerima risiko sesuatu akan terjadi."

Pada bulan-bulan menjelang kerusuhan, Daniel berada di Taiwan untuk mendapatkan perawatan medis — masalah lain yang membuat marah pemerintah China dan Kepulauan Solomon.

Dia melanjutkan hubungan diplomatik dengan Taiwan terlepas dari 'The Switch', dan secara kontroversial menerima bantuan Taiwan selama pandemi COVID.

Yang lain khawatir bahwa sikap Daniel yang juga mencakup tuntutan kemerdekaan, akan memicu konflik yang telah berlangsung lama di negara tersebut.

Pada tahun 1998, Kepulauan Solomon mengalami perang saudara yang dikenal sebagai "Ketegangan" — konflik etnis antara orang Malaitan dan orang Guadalkanal, pulau tempat Honiara berada.

Australia saat itu mengirim pasukan keamanan yang dikenal sebagai RAMSI untuk memadamkan kekerasan, terdiri atas 7.200 tentara dan 1.700 polisi, bertahan selama 14 tahun.

Meskipun titik nyala konflik kali ini berbeda, peneliti afiliasi Australian National University Anouk Ride mengkhawatirkan konflik kekerasan sekali lagi bakal melanda negara itu.

Anouk Ride, pakar studi konflik yang berbasis di Kepulauan Solomon, mengatakan banyak warga merasa tidak berdaya tentang keputusan yang dibuat di Honiara.

Tentang kehadiran China, Anouk menilai bahwa masalah sebenarnya menyangkut pemerintah nasional yang melakukan "The Switch" tanpa konsultasi dengan rakyat.

Pemilu terakhir diadakan pada April 2019, sebelum negara ini beralih ke China. Pemerintahan PM Sogavare berusaha menggelar Pemilu berikutnya setelah Olimpiade Pasifik 2023, sebuah langkah yang menurut pengamat memiliki jejak pengaruh China.

"Jadi, tidak ada peluang bagi masyarakat umum untuk menilai apakah pemerintah berjalan ke arah yang benar," kata Anouk.

"Hal ini memungkinkan konflik kembali mendidih."

Mengenai Daniel Suidani, Anouk menyebutnya punya penentang di pemerintahan, tapi sejauh yang dia ketahui, Perdana Menteri tidak pernah menyebut nama Daniel di depan umum.

Dia menjelaskan bahwa Daniel mendapat "dukungan kuat" dari rakyatnya, dan bahkan di bagian lain Kepulauan Solomon.

"Saya berkeliling ke banyak provinsi dan mereka bilang Daniel Suidani itu pemimpin yang baik," ujar Anouk.

"Mereka kenal dia serta sikap yang diwakilinya mendapatkan dukungan luas," tambahnya.

"Sebagai pemimpin provinsi, itu suatu pencapaian penting di Kepulauan Solomon."

Tuntutan kemerdekaan

Di pinggiran Kota Auki, ada sebuah desa kecil bernama Kilusakwalo.

Ini adalah desa khas Kepulauan Solomon, dengan gubuk-gubuk jerami, gereja, jejeran pohon kelapa, dan lapangan rumput.

Daniel Suidani sedang dalam perjalanan "wisata desa" yang dilakukannya dua kali sebulan — sebuah program yang ia perkenalkan untuk "berbicara kepada rakyat".

ABC News bergabung dengannya. Dalam gaya khas Pasifik, waktu sering molor, lalu tiba-tiba sebuah truk muncul.

Di bagian atas truk, sekelompok pemain musik tradisional mulai memainkan musik saat penduduk desa berdatangan entah dari mana untuk menyapa pemimpin mereka.

Menurut stafnya, penerimaan seperti ini setara dengan lintasan melintasi pulau Malaita yang luas dan panjangnya 180 km.

Di alun-alun desa, banyak orang berkumpul untuk mendengarkan pidato yang disampaikan Daniel.

Tapi pertama-tama, ada formalitas penyambutan.

"Tolong semua hadirin berdiri untuk menyanyikan lagu nasional, maksud saya, lagu kebangsaan Propinsi Malaitan," kata pemandu acara.

Setelah itu Daniel naik ke podium.

Sikap tenangnya sangat kontras dengan penampilannya di atas panggung. Orasinya sangat kuat dan bersemangat, berbicara kepada rakyat dan menjawab pertanyaan selama tiga jam.

Temanya fokus pada China, 'The Switch', tuntutan rakyat Malaitan untuk kemerdekaan dan "masalah" dengan Pemerintahan PM Sogavare.

"Tuhan memberkati Malaita, dan Tuhan memberkati semua orang,” katanya, mengakhiri pidatonya.

Kilo Sa Qualo hanya sepelemparan batu dari jembatan Fiu — jembatan yang diblokir oleh Daniel untuk dibangun oleh orang China.

Jalan menuju desa dipenuhi lubang, yang sudah menjadi pemandangan biasa di seluruh pulau.

Namun meskipun daerah tersebut sangat membutuhkan peningkatan infrastruktur, kepala desa Nemuel Malesu sangat mendukung Daniel Suidani.

"Dia berbicara untuk rakyat Malaita, kami tidak mendukung 'The Switch'," kata Malesu.

"Dengan China, kami tak mempercayai mereka. Mereka punya uang, tapi kami takut mereka akan membuat kami berhutang."

"Kami ingin pemerintahan baru, yang akan memberitahu China untuk pulang ke negaranya."

Namun Daniel Suidani mengalami beberapa pukulan balik di daerah tersebut, karena sejumlah kecil penduduk Malaitan memprotes sikapnya untuk menghentikan pembangunan jembatan Fiu.

Ada beberapa dukungan untuk China di Kepulauan Solomon, dengan negara adidaya membangun stadion dan kompleks Pesta Olahraga Pasifik 2023 yang besar di Honiara dan sayap baru universitas nasional.

Proyek besar lainnya sedang direncanakan.

Namun di Malaita, mereka yang mendukung China tampaknya adalah minoritas kecil.

ABC News berbicara kepada belasan warga, dan dukungan untuk Daniel hampir merata. Dia menyebut memiliki 80 persen dukungan dari 200 ribu penduduk pulau itu, tapi jumlah itu tidak mungkin untuk diverifikasi.

Bukan hanya generasi yang lebih tua yang memberikan dukungan kuat kepada Daniel.

Ketua Dewan Pemuda Malaita Phillip Subu, seorang politisi, mengatakan bahwa orang Malaita memiliki sejarah "menolak infiltrasi asing".

Dia mengatakan hubungan perdagangan China dengan negara itu disambut baik dan integral, tapi dia mengatakan sistem politik negara itu "belum siap" untuk 'The Switch'.

"Salah satu kekhawatiran terbesar karena kami tidak memiliki undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat," kata Subu.

"Bahkan sekarang, mereka mengeksploitasi sistem ekonomi, mengeksploitasi sumber daya alam kami."

"Ketika Anda datang ke Malaita, Anda bisa melihat bahwa kami ini cinta damai, kami ini orang yang penuh kasih."

"Tapi jika seseorang melanggar atau menginjak tanah kami, kami menjadi sangat agresif. Kami tidak boleh melakukan sesuatu yang merusak tanah ini untuk generasi mendatang."

'Kebebasan', 'demokrasi' dan China

Sulit untuk bisa tidur di saat perayaan Hari Kemerdekaan di ibukota Honiara.

Sekitar pukul 07.00 pagi, konvoi mobil yang ditempeli bendera negara itu mulai memadati jaln-jalan utama yang berlubang, membunyikan klaksonnya tanpa henti.

Berdiri di belakang truk, atau menjulurkan kepala dari jendela, orang-orang menyerukan "Selamat Hari Kemerdekaan". Ribuan orang yang berjejer di pinggir jalan melakukan hal yang sama.

Konvoi bergerak menuju aula utama negara itu untuk mendengarkan "Refleksi 15 menit" oleh Perdana Menteri Manasseh Sogavare. Ini sebuah tradisi tahunan.

ABC News telah mencoba berbagai cara untuk mewawancarai PM Sogavare, tapi semuanya diabaikan.

Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendengar dia berbicara dan mengajukan pertanyaan.

Pidatonya khas PM Sogavare. Berlangsung selama 33 menit; emosional dan menggugah. Dia salah satu orator paling berbakat di Pasifik.

Dia menyebut China, sebagai ucapan terima kasih khusus, dengan mengatakan bahwa negara itu telah menunjukkan "niat tulus" untuk menjadi "mitra yang pantas" dalam pembangunan Solomon.

Duta Besar China, yang duduk di sebelah Dubes Australia, tampak sedang menonton.

PM Sogavare berbicara tentang "kekuatan jahat" dan menyebut Kerusuhan November, tapi pada saat yang sama menyerukan persatuan.

"Kita tidak memiliki musuh eksternal, musuh kita adalah diri kita sendiri," katanya.

"Semua ancaman utama untuk mengacaukan negara ini didorong dari dalam negeri sendiri."

"Tuhan mengawasi kita, dan dapat membaca motif kita laksana buku terbuka."

Pengawal PM Sogavare menjanjikan wawancara setelah pidato tersebut, tapi dia terus dilindungi oleh polisi, dan dengan cepat diarahkan ke mobil yang sudah menunggu.

Di Auki, dan sebagian besar Malaita, Hari Kemerdekaan adalah perayaan yang senyap.

Daniel Suidani, yang mengenakan kemeja hijau khas Kepulauan Solomon selama wawancara dengan ABC News, mengatakan masih percaya pada "satu Kepulauan Solomon", tapi menyebut dia yakin "demokrasi" dan "kebebasan" sama kuatnya.

"Kami sudah lama menunggu pembangunan di Malaita," katanya.

"Kami ingin pemimpin yang dapat mengatasi semua ini, yang dapat membangun bangsa kami."

"Tapi jika cara pemerintah menangani masalah seperti ini terus berlanjut, tidak mendengarkan kehendak rakyat, saya pikir masalah penentuan nasib sendiri ini akan terus berlanjut.

"Tidak ada yang mau hidup di bawah pemerintahan yang tidak peduli dengan rakyatnya."

Jembatan tua itu hingga kini masih dalam proses tender.

Kredit 

Laporan, produksi digital dan foto: Nick Sas

Foto dan video: Luke Bowden

Penerjemah: Farid Ibrahim

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI