Jadi mestinya yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu Cannabidiol. Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, demikian juga dengan THC dan delta-9 THC, sedangkan Cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun. Untuk Cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, bahkan mungkin dimasukkan kedalam narkotika Golongan 2 atau 3 dalam Lampiran daftar obat golongan narkotika yang dibuat oleh Kemenkes dan dapat diupdate.
Perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya. Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya.
Misalnya, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi. Jadi, perkembangannya mungkin bisa sama seperti "kakaknya" yaitu morfin yang juga berasal dari tanaman opium/candu. Morfin adalah obat yang legal digunakan, selama diresepkan dokter dan digunakan sesuai indikasi seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lain. Tentu dengan regulasi dan pengawasan distribusinya yang ketat. Tetapi tanamannya yaitu opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena memiliki potensi penyalahgunaan yang besar.
Awal pekan ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis. Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan terkait penggunaan ganja untuk medis. Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Menkes dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan bahwa sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan. IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis.
Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis. “Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan,” kata Adib.