Suara.com - Independensi Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu dipertanyakan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus.
Dia menyebut langkah KPU dan Bawaslu berkonsultasi dengan DPR untuk membahas tahapan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai sebagai hal yang "aneh."
"Bagaimana bisa membuat aturannya, KPU harus kemudian berkonsultasi dengan anggota DPR yang adalah bagian dari partai politik, mereka yang akan diverifikasi mereka juga yang diajak untuk obrol aturannya, itu kan aneh," kata Lucius di Jakarta, hari ini.
Komisi II DPR menyelenggarakan rapat dengar pendapat dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Parlemen, Kamis (7/7/2022). Dalam rapat itu, Komisi II dan penyelenggara pemilu menyetujui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tahapan Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik.
Lucius mengatakan seharusnya KPU dan Bawaslu menolak pembahasan dengan DPR.
"KPU mau saja, Bawaslu juga mau aja tidak mau berteriak bahwa ini tidak benar. Biarkan KPU dan Bawaslu bekerja, intervensi mereka cukuplah diproses seleksi. Tapi itu yang terjadi. KPU bawaslu dipanggil untuk kemudian berkonsultasi, soal bagaimana aturan terkait dengan proses seleksi itu dibuat oleh KPU," kata Lucius.
Lucius mengatakan bahwa dia sudah dapat membayangkan model seperti apa yang nanti akan dibuat.
"Belum lagi karena yang mengajak untuk bicara soal aturan itu hanya partai politik, atau anggota DPR yang merupakan wakil partai politik 9 partai politik yang ada di parlemen. Padahal peserta pemilu ada begitu banyak partai baru," kata Lucius.
Dia menyebut proses seleksi partai nanti akan lebih banyak basa-basi dibandingkan betul-betul memastikan semua persyaratan yang ditetapkan oleh UU terverifikasi.
Baca Juga: DPR dan Pemerintah Diminta Serius Bahas RUU LLAJ untuk Atur Transportasi Online
Lucius menyebut juga pembahasan mengenai proses verifikasi hanya kepada partai yang memiliki kursi di parlemen. "Bagaimana keadilan bagi mereka, ketika yang diajak untuk proses verifikasi itu hanya partai yang punya kursi di DPR ini kan tidak adil juga untuk partai baru, diterima sebagai peserta pemilu," kata Lucius.
"Sejak awal mereka sudah didiskriminasi, untuk membuat aturan tentang verifikasi, mereka tidak diajak ngobrol, untuk mencalonkan presiden juga mereka nggak punya ruang karena presidential threshold yang digunakan itu berdasarkan hasil pemilu 2019," Lucius menambahkan.
Peneliti Politik The Indonesian Ahmad Hidayah menyatakan bisa jadi regulasi di PKPU tidak menguntungkan bagi partai baru.
"Kalau terkait partai baru itu pasti banyak variabel ya. Bisa jadi memang regulasinya tidak menguntungkan bagi partai baru , seperti bisa juga manajemennya buruk," kata Ahmad.
"Partai politik di Indonesia itu agak aneh, ya kalau kita dengan mudah misalnya kita lihat di misalnya contoh di Amerika dan kita dengan mudah melihat Oke saya pro terhadap hal ini maka partai apa yang akan saya pilih itu gampang,karena dia spektrum kanan kirinya jalan," dia menambahkan.
Ahmad mencontohkan tidak semua partai memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan 30 persen.
"Jadi ini jadi semacam akal-akalan ya. Ada peraturan ini "oke nanti ajalah kita ubah struktur, masukin aja perempuan 30 nanti saat sudah mau pemilu." Jadi ada regulasi ya bisa jadi akal-akalan mereka sendiri gitu," katanya.