Suara.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatan legislasi di DPR.
Ia mencontohkan tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru (RUU DOB) Papua yang telah disahkan pada Kamis (30/6/2022), namun tak ada partisipasi publik. Ketiga RUU tersebut yakni, RUU Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
"Melihat di proses pembahasan begitu banyak RUU yang dihasilkan DPR 2019-2024, kritik, minimnya ruang partisipasi itu hampir selalu muncul pada setiap RUU yang disahkan. Misalnya ada tiga RUU DOB Papua yang baru disahkan beberapa hari lalu ya," ujar Lucius dalam diskusi Serba -serbi Jelang Pemilu 2024 secara virtual, Jumat (8/7/2022).
Lucius menuturkan, publik hanya diberikan alasan, tanpa pemekaran tiga wilayah, Papua akan ribut dan sebagainya. Sehingga pemekaran wilayah Papua harus segera dilakukan.
Baca Juga: Cabut Moratorium Pemekaran Daerah, Jangan Hanya Papua yang Dimekarkan
"Publik disodorkan dengan alasan seolah-olah tanpa pemekaran wilayah Papua akan hancur, Papua akan ribut, dan lain sebagainya. Seolah-olah dengan pemekaran wilayah yang harus dilakukan sekarang itu lalu itu mesti dilakukan secepatnya," ucapnya.
Namun sangat disayangkan, kata Lucius, tak ada ruang bagi publik untuk memberikan pendapat terkait pemekaran Papua.
"Ruang bagi publik kemudian untuk memberikan masukkan, memberikan pandangan pendapat itu menjadi tertutup," ungkap Lucius.
Lanjut Lucius, dalam proses pembuatan legislasi publik juga ditakut-takuti, seakan ada hal yang sangat mendesak. Sehingga tak ada ruang partisipasi publik
"Publik ditakut-takutin gitu ya oleh banyak kebutuhan yang seolah-olah itu sangat mendesak dan krusial. Lalu kita (Publik) tidak punya waktu lagi untuk bercanda atau untuk ngobrol untuk tentang apa yang sedang ingin diputuskan ya," kata Lucius.
Baca Juga: Soal Pengesahan RUU DOB Papua, Hidayat Nur Wahid Harap Tak Ada Celah Hadirnya Kelompok Separatis
Selain itu, ia menilai bahwa minimnya partipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan atau legislasi, karena bertujuan untuk meloloskan apa yang diinginkan.
"Bahkan dalam proses pembuatan kebijakan hal yang sama juga terjadi dan mungkin kita bisa menganggap atau menduga ini modus yang dipakai oleh rezim sekarang ini gitu ya, untuk meloloskan apapun yang mereka inginkan," tutur Lucius.
Lucius pun mengungkapkan, jika diberikan ruang leluasa bagi publik, para pembuat kebijakan akan merasa terganggu.
"Kalau diberikan ruang leluasa bagi publik untuk mendiskusikannya bukan cuman gaduh, yang mereka kemudian merasa terganggu dengan agenda-agenda yang sudah seharusnya mereka bikin dalam bentuk kebijakan gitu ya. Itu terkait dengan ruang partisipasi," katanya.