Suara.com - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Edbert Gani Suryahudaya menyoroti pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Edbert, pasal penghinaan terhadap presiden masih menjadi perdebatan. Pasalnya, pasal penghinaan tersebut disinyalir dapat menjadi ancaman kebebasan berpendapat.
"Ini menjadi kajian yang menarik di beberapa negara di dunia dan ini memang menjadi perdebatan karena memang salah satu ancaman utama dari kebebasan berpendapat. Salah satunya adalah pasal-pasal penghinaan di berbagai negara," katanya dalam diskusi bertajuk 'Dampak Rencana Pengesahan RKUHP Terhadap Kebebasan Sipil' secara virtual, Kamis (7/7/2022).
Edbert menuturkan jurnalis merupakan profesi yang paling mudah menjadi target kriminalisasi dari pasal karet, dalam hal ini, pasal penghinaan.
Baca Juga: Peneliti CSIS: Jika RKUHP Tak Diselaraskan, Bisa jadi Pembusukan Demokrasi
"Rekan-rekan jurnalis itu adalah yang paling mudah menjadi target kriminalisasi dari pasal-pasal karet terkait penghinaan," ucap Edbert.
Selain itu, Edbert mengatakan demokrasi sehat memerlukan ruang yang luas bagi adanya kritik kepada pemerintah atau lembaga negara. Kritik terhadap kinerja pemerintah, kata Edbert, perlu ditempatkan sebagai ruang partisipasi politik yang aktif bagi masyarakat
"Terlepas dari kita langsung memberikan semacam penilaian apakah maksudnya jahat atau baik. Tapi dalam konteks partisipasi politik kritik itu harus dibuka seluas-luasnya," ungkap dia.
Lanjut Edbert, ruang kriminalisasi yang tersedia dalam RKUHP berpotensi kuat, menghasilkan unintended consequences (konsekuensi tanpa tujuan) bagi semakin lemahnya daya kritik masyarakat.
"Unintended bukan berarti tidak bisa diantisipasi. Mungkin dia tidak punya intensi terhadap dampak-dampak yang bisa memundurkan demokrasi, tetapi bukan berarti tidak bisa diantisipasi," paparnya.
Baca Juga: KKJ Desak DPR-Pemerintah Jamin Kebebasan Pers dan Berpendapat di RKUHP Terbaru