Suara.com - Cokelat mungkin merupakan suguhan paling populer di dunia. Cokelat bahkan dirayakan secara internasional setiap 7 Juli, untuk memperingati hari yang diyakini momen pertama penganan itu tiba di Eropa pada tahun 1550.
Orang-orang di seluruh dunia menganggap cokelat lezat dan membuat mereka ingin terus mengonsumsinya.
Sebuat riset memperkirakan, penduduk Bumi melahap lebih dari tujuh juta ton cokelat setiap tahun. Jika dirata-rata, setiap manusia mengonsumsi hampir satu kilogram cokelat per tahun.
Namun nafsu yang tinggi terhadap cokelat memiliki efek samping yang mengerikan, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah film dokumenter, salah satunya The Dark Side of Chocolate.
Baca Juga: Beli Roti Isi Cokelat di Minimarket, Wanita Ini Langsung Heran pada Gigitan Pertama
Industri cokelat telah lama berada di bawah tekanan untuk mengatasi masalah etika dan keberlanjutan. Industri ini dikaitkan dengan penggundulan hutan dan penggunaan pekerja anak pada proses panen biji kakao.
Jadi, bagaimana industri cokelat menangani berbagai masalah itu saat para pengusaha mengejar profit besar?
Baca juga:
- Menggunakan kakao sebagai pembangkit energi, bagaimana caranya?
- Cokelat sekelas 'Rolex' berasal dari pohon kakao paling langka di dunia
- Makanan sehari-hari bakal jadi hidangan mewah dan mahal
Keberlanjutan: Dari mana cokelat berasal?
Salah satu masalah utama industri cokelat adalah fakta bahwa biji kakao, bahan baku cokelat, jauh dari kata melimpah.
Pohon cokelat sangat sensitif, membutuhkan curah hujan, dan suhu yang tinggi agar bisa tumbuh. Tanaman itu juga memerlukan tutupan hutan untuk melindunginya dari cahaya dan angin.
Baca Juga: Dear Warga, Keripik Sanjai Bukittinggi Kini Hadir dengan Rasa Cokelat
Itulah sejumlah alasan mengapa cokelat hanya bisa tumbuh di segelintir negara.
Di Afrika Barat, hanya dua negara yang memenuhi beragam syarat tersebut, yaitu Pantai Gading dan Ghana.
Dua negara ini memproduksi 52% biji kakao yang dipanen di seluruh dunia, menurut angka dari Badan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Apabila dikalkulasi dengan negara-negara lain di Afrika Barat, seperti Nigeria dan Kamerun, kontribusi Afrika terhadap industri cokelat hingga hampir mencapai 69%.
Perubahan iklim dan deforestasi
Perubahan iklim menjadi perhatian utama karena akan meningkatkan suhu dan memperpanjang musim kering di Afrika Barat. Prediksi tersebut merupakan berita buruk bagi para petani kakao.
Masalah lain dalam industri ini adalah deforestasi. Produsen sering tidak segan-segan membuka kawasan hutan untuk menanam pohon kakao baru.
Para pemerhati lingkungan mengatakan pertanian kakao adalah salah satu penyebab utama di balik laju deforestasi yang mengejutkan di Pantai Gading.
Bank Dunia mencatat negara tersebut telah kehilangan 80% tutupan hutannya dalam 50 tahun terakhir. Pantai Gading adalah salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia.
Jelas bahwa hutan terancam. Kelompok lingkungan yang berbasis di AS, Mighty Earth, yang memetakan deforestasi dengan bantuan data satelit, menyebut bahwa pada tahun 2020 saja, kawasan hutan seluas 470 kilometer persegi di Pantai Gading hilang.
Namun, deforestasi sangat terkait dengan perubahan iklim, yang dalam jangka panjang mengancam mata pencaharian petani kakao.
Michael Odijie, seorang peneliti di University College London yang mengkhususkan diri dalam industri kakao Afrika, yakin paham ekonomi sederhana mendorong lingkaran setan ini.
"Ada dampak ekologis yang sangat besar dalam pertanian kakao. Sayangnya, ini mungkin akan terus berlanjut karena biaya produksi kakao di lahan hutan yang masih asli lebih rendah daripada di padang rumput dan harga kakao pun terlalu rendah untuk diproduksi secara berkelanjutan," kata Odijie.
Namun, para pelaku industri ini membuat klaim sudah mengambil sejumlah langkah untuk menanggung aktivitas mereka.
Mars, perusahaan penjual cokelat terbesar di dunia yang berbasis di Amerika Serikat, berkata telah bersiasat untuk membuat rantai pasokan kakao mereka mengedepankan isu keberkelanjutan lingkungan.
Salah satu caranya, klaim Mars, adalah memproduksi kakao yang sepenuhnya bebas deforestasi pada tahun 2025.
"Cokelat yang sumbernya ilegal tidak memiliki tempat di rantai pasokan Mars," demikian pernyataan Mars.
Mars menyebut program itu merupakan bagian dari Cocoa and Forest Initiative—kemitraan kolaborasi publik-swasta dengan pemerintah Pantai Gading dan Ghana yang bertujuan mengakhiri deforestasi dan memulihkan kawasan hutan di negara-negara tersebut.
Eksploitasi pekerja anak
Selama ini telah ditemukan bukti bahwa anak-anak dan orang dewasa dipekerjakan secara paksa di pertanian kakao.
Sejak tahun 1998, Badan PBB untuk Urusan Anak mengungkap bahwa anak-anak dari sejumlah negara secara sistematis diperdagangkan ke Pantai Gading untuk bekerja di perkebunan kakao.
Praktik ini pun terus berlanjut, menurut Anti-Slavery International, sebuah LSM yang berbasis di Inggris.
"Diperkirakan setidaknya 30.000 orang dewasa dan anak-anak bekerja dalam situasi kerja paksa di sektor kakao di seluruh dunia," kata Jessica Turner, juru bicara Anti-Slavery International, kepada BBC.
Namun, penggunaan pekerja anak yang lebih luas memicu masalah lain. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), mempekerjakan anak secara paksa merampas masa kanak-kanak, menghambat hak atas pendidikan, dan menempatkan mereka dalam kondisi berbahaya.
Setidaknya dua dari lima anak di daerah penghasil kakao di Pantai Gading dan Ghana terlibat pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai kegiatan berbahaya, seperti penggunaan benda tajam, jam kerja malam, dan paparan produk kimia yang digunakan dalam pertanian.
Temuan itu merujuk sebuah studi oleh University of Chicago Pada tahun 2020.
Industri cokelat, sejak 2001, berkomitmen berhenti mempekerjakan anak-anak dalam produksi kakao, sebagai bagian dari kesepakatan internasional dalam protokol Harkin-Engel. Meski begitu, tenggat waktu untuk mencapai pengurangan 70% pekerja anak di Pantai Gading dan Ghana sudah berlalu sejak 2020.
World Cocoa Foundation (WCF), sebuah organisasi induk dari beberapa produsen terbesar industri cokelat, mengakui masalah pekerja anak ini. Mereka memperkirakan ada 1,6 juta anak yang bekerja di pertanian kakao, itu pun hanya di Pantai Gading dan Ghana.
Di laman situsnya, WCF mengatakan tidak ada toleransi untuk setiap kasus kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia dalam rantai pasok cokelat.
Organisasi tersebut juga mengatakan berkomitmen "menghapus pekerja anak di industri kakao". Caranya, kata mereka, dengan meningkatkan investasi dalam program pembangunan sosial untuk mengatasi masalah ini.
Menurut WCF, pada tahun 2019 saja, uang yang dialokasikan untuk program ini lebih besar dari keseluruhan periode 2001-2018.
BBC menghubungi WCF untuk memberikan komentar, tapi belum menerima balasan pada saat laporan ini dipublikasikan.
Apakah kita membayar harga yang pantas untuk cokelat yang kita makan?
Menurut juru kampanye dan bahkan beberapa orang di industri cokelat, ternyata kita tidak melakukannya.
Inkota, sebuah LSM yang berbasis di Jerman yang menjalankan kampanye kesadaran berrtajuk Make Chocolate Fair, mengatakan bahwa harga yang dibayarkan kepada produsen kakao memicu masalah yang dihadapi oleh industri cokelat.
"Petani kakao berada dalam kemiskinan yang parah dan itu terkait langsung dengan isu-isu seperti pekerja anak dan penggundulan hutan," Evelyn Bahn, penasihat Hak Asasi Manusia di Inkota.
Pada tahun 2020, para ahli jual-beli berkeadilan memperkirakan bahwa rata-rata petani kakao menghasilkan hanya US$0,90 per hari (sekitar Rp13.477). Nominal ini berada di bawah ambang batas kemiskinan ekstrem Bank Dunia, sebesar US$1,90 atau Rp28.452.
"Kemiskinan dan semua praktik perburuhan yang muncul terutama disebabkan oleh rendahnya harga yang dibayarkan kepada petani kakao," kata Michael Odijie.
Juru kampanye seperti Inkota dan Fairtrade Foundation percaya bahwa harga pasar untuk biji kakao perlu ditingkatkan untuk mengatasi situasi ini. Beberapa perusahaan cokelat, secara terbuka, juga telah berkomitmen untuk membayar lebih kepada petani.
Salah satunya adalah Tony's Chocolonely, sebuah bisnis di Belanda yang dimulai dari platform aktivisme melawan kerja paksa di industri cokelat. Saat ini Tony's Chocolonely menjadi merek cokelat dengan penjualan terbesar di negara tersebut.
"Alasan kami adalah untuk membuat cokelat bebas dari pekerja anak dan perbudakan. Dan membayar harga yang adil untuk kakao merupakan prinsip besar," kata Ben Greensmith, Direktur Pelaksana Tony's Chocolonely di Inggris.
Dan itu tidak berarti bahwa pelanggan akhirnya akan membayar lebih mahal untuk menikmati kudapan manis itu. Inkota memperkirakan bahwa harga sebatang coklat 100 gram akan naik kurang dari US$0,20 (senilai Rp2.992) jika petani kakao dibayar dengan upah layak untuk produksi mereka.
"Itu bukan peningkatan yang besar tapi itu akan membuat perbedaan besar bagi kehidupan petani kakao," ujar Bahn.